R. Soenarto adalah salah satu umat yang terpilih yang menjadi warono turunnya Sabda Ilahi dengan perantaraan Utusan-Nya yang Abadi, yakni Suksma Sejati. Sabda Ilahi yang diterima beliau bukanlah sesuatu yang serta-merta turun begitu saja, melainkan diperoleh setelah R. Soenarto berupaya keras melalui masa pencarian panjang disertai berbagai pengalaman spiritual yang diawali sejak beliau berusia 7 tahun.
R. Soenarto Mertowardojo, yang di kalangan warga Pangestu lebih dikenal dengan Pakde Narto, lahir pada tanggal 21 April 1899 di desa Simo, Kabupaten Boyolali, Surakarta, sebagai putra keenam dari delapan bersaudara dari keluarga Bapak R. Soemowardojo. Hidup pada masa itu, di jaman pendudukan Belanda, dengan delapan putra merupakan cobaan yang berat bagi keluarga Bapak R. Soemowardojo yang sehari-hari bekerja sebagai mantri penjual.
Walaupun dihimpit oleh keadaan yang serba kekurangan dan tidak menguntungkan, beliau berkeinginan kuat untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, Bapak R. Soemowardojo berniat untuk menitipkan R. Soenarto kepada keluarga atau kerabat, bahkan pada orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dengan harapan, orang yang dititipi dapat membantu Pakde mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik.
Itu pulalah yang menjadi titik awal dari masa pencarian yang panjang. Masa ngenger kepada orang lain dengan berpindah-pindah yang dialami Pakde Narto selama 15 tahun merupakan ajang tempaan watak narimo, berkorban perasaan dan sabar yang harus dijalani Pakde dalam usia yang masih sangat muda. Menghadapi keadaan itu, beliau tidak pernah mengeluh kepada ayah-bunda atau kepada orang lain. Pakde juga menunjukkan sikap jiwa yang teguh berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Waktu terus berjalan dan akhirnya masa ngenger pun berlalu. Namun, pengalaman ngenger yang berat inilah yang menjadi tonggak penting dalam hidup Pakde Narto.
Ketika beliau beranjak dewasa, keinginan untuk terus mencari dan memahami keesaan Tuhan berikut semesta alam seisinya makin mengental. Melalui perenungan yang dalam, muncul pertanyaan-pertanyaan besar, seperti di mana Tuhan bertakhta? Bagaimana manusia dapat bertemu dengan Tuhannya? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan surga dan neraka dan jika ada? Dimana letaknya? Pertanyaan-pertanyaan itu semua mendorong Pakde untuk belajar kepada beberapa guru. Akan tetapi jawaban yang diperoleh beliau tidak ada yang memuaskan bahkan mengecewakan. Beliau kemudian berjanji dalam hati untuk tidak berguru lagi dan akan memohon langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pakde menyadari bahwa laku yang benar hanyalah memohon sih pepadang Allah yang senyatanya Mahamurah, Mahaasih, Mahaadil. Beliau yakin akan diberi pepadang asal memohon dengan sungguh-sungguh. Pada suatu hari, tepatnya hari Ahad Pon, 14 Februari 1932, kira-kira pukul setengah enam sore, ketika beliau sedang duduk-duduk seorang diri di serambi Pondok Widuran, Sala, pertanyaan-pertanyaan yang selalu menjadi pemikiran beliau, timbul kembali. Pakde kemudian berniat memohon kepada Tuhan agar diberi sih pepadang-Nya. Setelah memohon dengan khusyuk lalu dilanjutkan dengan sholat daim, dengan tidak terduga-duga, Pakde menerima Sabda Ilahi dalam hati sanubari yan suci seakan-akan menjawab pertanyaan beliau, sebagai berikut “
“Ketahuilah, yang dinamakan Ilmu Sejati ialah petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan benar, jalan yang sampai pada asal mula hidup”.
Ketika Bapak Soenarto menerima Sabda tersebut, beliau merasa bagaikan disiram air dingin dan badan terasa gumriming merinding lalu disusul oleh perasaan takut. Dengan termangu-mangu Bapak Soenarto bertanya dalam hati “Siapakah gerangan yang bersabda itu tadi?”. Kemudian terdengar Sabda berikutnya yang merupakan jawaban atas pertanyaan Pakde Narto sebagai berikut:
“Aku Suksma Sejati, yang menghidupi alam semesta, bertakhta di semua sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pemimpin, Penuntun, Gurumu yang sejati ialah Guru Dunia. Aku datang untuk melimpahkan Sih Anugerah Tuhan kepadamu berupa Pepadang dan Tuntunan. Terimalah dengan menengadah ke atas, menengadah yang berarti tunduk, sujud di hadapan-Ku. Ketahuilah siswa-Ku, bahwa semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan semesta alam, letak sesembahan yang sejati ialah Sumber Hidup, yang akan kembali kepada-Nya. Sejatinya hidup itu Satu, yang abadi keadaannya dan meliputi semua alam seisinya.”
Demikian sabda demi sabda diterima berturut-turut dalam beberapa bulan dan semua Sabda ini dicatat oleh dua orang priagung yang membantu Pakde Narto saat itu, yaitu Bp. R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Bp. R. Trihardono Soemodihardjo. Himpunan Sabda Ilahi inilah yang kemudian menjadi Pustaka Suci Sasangka Jati. Turunnya ajaran Sang Guru Sejati merupakan fenomena wahyu melalui perantara R. Soenarto yang tidak dapat dijangkau oleh daya angen-angen atau pikiran manusia.
Kita tidak dapat hanya menggunakan alam pikiran untuk menerima ajaran Sang Guru Sejati, yang lebih diperlukan adalah hati nurani dan kesadaran yang paling dalam. Ajaran ini dipastikan dapat membantu umat manusia untuk dapat lebih menghayati dan menjalankan ajaran agamanya dengan lebih baik.
Dengan dasar tujuan itulah atas prakarsa Pakde Narto organisasi Pangestu didirikan pada tanggal 20 Mei 1949. Organisasi Pangestu terbentuk ketika kota Sala diduduki tentara Belanda pada clash kedua. Pada masa itu kota Sala diliputi keadaan yang mencekam karena tentara Belanda melarang segala bentuk kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau berkumpul lebih dari lima orang. Pada suatu hari, tepatnya hari Jumat Pon, 20 Mei 1949, pukul 16.30 Pakde Narto kedatangan tujuh orang siswa yang datang secara diam-diam. Para siswa tersebut adalah: Bapak Soeratman, Bapak Goenawan, Bapak Prawirosoeparto, Bapak Soeharto, Bapak Soedjono, Bapak Ngalimin dan Bapak Soetardi. Sore itu Pakde Narto mengajak para siswa tersebut untuk manembah bersama memohon agar perjuangan bangsa Indonesia lekas selesai dan berada di pihak yang jaya. Sang Guru Sejati bersabda dengan perantaraan lisan Pakde Narto, yang salah satu intinya adalah perintah Sang Guru Sejati kepada siswa-Nya untuk menyebarluaskan pepadang-Nya atau ajaran-Nya kepada seluruh umat.
Setelah menerima sabda dari Sang Guru Sejati, para siswa mengadakan perundingan dan menghasilkan terbentuknya pengurus Pangestu yang pertama. Susunan tersebut adalah sebagai berikut: Ketua adalah Bapak Goenawan, Penulis adalah Bapak Soetardi, Bendahara dipercayakan kepada Bapak Soeratman sedangkan pembantu-pembantu adalah Bapak Soedjono, Bapak Soeharto, Bapak Ngalimin dan Bapak Prawirosoeparto. Pakde Narto sendiri bertindak sebagai Paranpara sesuai dengan Sabda Sang Guru Sejati. Inilah susunan pengurus sementara yang pertama sebagai tanda berdirinya organisasi yang semata-mata berorientasi pada kejiwaan dan dikenal sebagai Paguyuban Ngesti Tunggal. Pakde Narto wafat pada tanggal 16 Agustus 1965 dan dimakamkan di Bonoloyo, Sala.
Lambang & Pedoman Pangestu
Pangestu berlambang sepasang bunga, yang terdiri dari setangkai bunga Mawar berwarna merah jambu berduri satu dan setangkai bunga Kamboja berwarna putih dengan garis kuning emas pada tepi kelopaknya. Lambang sepasang bunga tersebut dengan latar belakang berwarna ungu.
Bunga Mawar, melambangkan tugas keluar yaitu melaksanakan tugas hidup bermasyarakat, duri tangkai bunga mawar tersebut melambangkan bahwa bagaimanapun sukses/berhasilnya tugas hidup keluar tersebut dilaksanakan selalu ada cela atau kekurangannya. Bunga Kamboja, melambangkan tugas kedalam, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, harus dengan bekal kesucian lahir dan batin. Latar belakang berwarna ungu, melambangkan bangunnya jiwa dari kondisi tertidur/pasif menjadi sadar dan aktif.
Pangestu memiliki Pedoman Dasar yang disebut Dasa Sila sebagai sikap hidup ke dalam dan keluar (lahir/batin) bagi anggotanya, yaitu: berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Utusan Tuhan, kepada tanah air, kepada orang tua (ayah-ibu), kepada saudara tua, kepada guru, kepada pelajaran keutamaan, setia kepada Khalifatullah (Pembesar Negara) dan Undang-Undang Negara, mengasihani kepada sesama hidup dan menghormati semua agama.
Ajaran Sang Guru Sejati
Ajaran Sang Guru Sejati adalah wahyu Ilahi yang diturunkan secara berturut-turut mulai tanggal 14 Februari 1932 sampai Januari 1933 di Sala melalui Bapak Soenarto Mertowardojo.
Rangkaian wahyu Ilahi tersebut dicatat dan kemudian dihimpun dalam buku Sasangka Jati. Wahyu tersebut diturunkan dan dicatat dalam bahasa Jawa yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Indonesia, bahasa Sunda dan bahasa Inggris.
Wahyu Ilahi tersebut merupakan Sabda Tuhan Yang Maha Esa yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Dalam Sabda tersebut, Tuhan menyebut diri-Nya sebagai Panutan, Penuntun dan Guru yang Sejati bagi seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, maka seluruh Sabda tersebut disebut Ajaran Sang Guru Sejati.
Maksud dan tujuan kehadiran Sang Guru Sejati adalah hanya untuk memperbaiki rusaknya kepercayaan (baca: keimanan) yang benar, namun tidak untuk mengganti tatanan dan aturan Tuhan yang telah ada yang umumnya disebut agama serta juga tidak untuk mendirikan agama baru.
Sang Guru Sejati hanya hendak menunjukkan jalan benar dan jalan simpangan serta mengingatkan kepada mereka yang lupa akan kewajiban suci, juga memberikan petunjuk tentang pengolahan hati dan cipta bagi mereka yang percaya.
Pada intinya ajaran Sang Guru Sejati memberikan pelajaran dan petunjuk untuk:
- Mengingatkan semua umat yang lupa akan kewajiban suci, yaitu mereka yang ingkar (murtad) terhadap perintah Allah.
- Menunjukkan jalan benar, yaitu jalan utama yang berakhir pada kesejahteraan, ketentraman, dan kemuliaan abadi.
- Menunjukkan adanya jalan simpangan yang berakhir pada kegelapan, kerusakan, dan kesengsaraan.
- Menunjukkan larangan Tuhan yang harus dijauhi dan dihindari, jangan sampai dilanggar.
- Menunjukkan adanya Hukum Abadi yang menguasai Alam Semesta dan kehidupan umat manusia, baik di dunia ini maupun di alam baka nantinya.
- Menerangkan tentang dunia besar, yaitu alam semesta di luar diri manusia, dan dunia kecil, yaitu badan jasmani dan rohani di dalam diri masing-masing manusia, dalam satu kesatuan alam semesta seisinya.
Ajaran Sang Guru Sejati, ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, mengandung pelajaran-pelajaran tentang:
- Ilmu ke-Tuhan-an (Tauhid dan Tasawuf) yang mengajarkan dan menerangkan sifat, kebijaksanaan, keadilan dan kekuasaan serta ‘keberadaan’ Tuhan Yang Maha Tunggal.
- Filsafat Hidup yang menerangkan dan menjelaskan akar permasalahan dan kejadian dalam kehidupan setiap diri manusia serta bagaimana harus bersikap agar mampu mengatasi dan menanggulangi segala perkara dengan sempurna.
- Ilmu Jiwa (Psikologi) yang menerangkan dan menjelaskan tentang susunan (struktur) jiwa dan komponen/bagian-bagian jiwa serta fungsi, mekanisme kerja dan saling hubungannya satu dengan lainnya.
- Ilmu Kesehatan, utamanya kesehatan jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jasmani.
- Metafisika yang menerangkan dan menjelaskan tentang keberadaan hal-hal non fisik yang halus dan tidak dapat tertangkap dengan pancaindera dan/atau alat-alat di dalam kehidupan di dunia ini, di samping hal-hal yang fisik (materi) kasar.
- Ilmu Seni Hidup yang memberikan petunjuk praktis tentang cara pengelolaan pikiran, perasaan dan kecenderungan nafsu-nafsu dalam menyikapi terhadap situasi yang dihadapi dan kondisi yang dialami, agar tetap tegar dalam pasang surutnya keadaan serta tidak terombang-ambing oleh segala perubahan situasi dan kondisi kehidupan. Karena yang bersangkutan telah mampu menciptakan ketentraman dan kedamaian serta kemandirian (dari ketergantungan pada perubahan situasi dan kondisi kehidupan) dalam jiwanya sendiri.
Pokok-pokok Ajaran Sang Guru Sejati
A. Kewajiban Delapan Perkara (Hasta Sila).
Tri Sila yaitu ibadah hati dan cipta tiga perkara kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan Kewajiban Besar yang sangat perlu ditunaikan setiap saat, yaitu :
Sadar (1), dalam pengertian selalu ingat, yang berarti Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun keadaan Tuhan Yang Maha Esa disebut Tripurusa, artinya satu keadaan yang bersifat tiga, yaitu :
- Suksma Kawekas (Tuhan Sejati), dalam bahasa Arabnya Allah Ta’ala
- Suksma Sejati (Pemimpin Sejati = Penuntun Sejati = Guru Sejati), Utusan Tuhan Yang Abadi
- Roh Suci Manusia Sejati, yaitu jiwa manusia yang sejati
Kesadaran setiap saat kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut hendaknya diupayakan menjadi suatu kebiasaan. Saat dalam perjalanan, bersantai, bekerja, tidur, dan pada kesempatan apapun hendaknya tetap sadar dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan menyadari dan selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka kita akan dituntun ke dalam watak bijak, yaitu mampu membeda-bedakan hal yang benar dan yang salah, hal yang nyata dan yang tidak nyata.
Percaya (2) dan beriman merupakan ikatan batin yang kuat yang menggandengkan yang percaya dengan yang dipercayai, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Iman itulah yang mengalirkan Tuntunan, Perlindungan, Pertolongan dan Kasih dari Tuhan Yang Maha Esa kepada diri kita. Tanpa Percaya atau Iman, ibarat manusia memutus ikatan batin yang menggandengkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Maka hendaknya diupayakan dengan kepercayaan penuh kepada Penuntun Sejati kita di dalam hati sanubari, agar kita mendapatkan perlindungan selama-lamanya dan memperoleh tuntunan untuk berjalan di jalan benar sampai tiba pada tujuan hidup yang hakiki.
Taat (3) adalah mematuhi seluruh perintah serta tidak melanggar larangan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana telah disampaikan oleh Utusan Tuhan Yang Sejati kepada seluruh umat manusia.
Jika kita benar-benar taat kepada Tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak akan ada hal yang bisa menyimpangkan diri kita dari jalan benar yang kita jalani.
Panca Watak Utama yaitu Watak Utama lima perkara. Agar supaya sempurna dalam menunaikan kewajiban tiga perkara dalam Tri Sila, setiap orang wajib mengupayakan dengan penuh kesungguhan untuk memiliki watak dan perilaku baik lima perkara yaitu :
Rela (4), sesungguhnya yang disebut rela itu hati yang lapang untuk menyerahkan seluruh milik, hak, dan hasil karyanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tulus ikhlas. Karena menyadari bahwa semuanya itu berada dalam Kekuasaan Tuhan, maka tidak ada satu hal pun yang lekat di hatinya. Orang yang telah memiliki watak Rela, tidak pantas jika masih mengharapkan hasil buah karya dan perbuatannya, apalagi sampai merasa susah dan berkeluh kesah saat mengalami semua penderitaan, penghinaan, fitnah, kehilangan harta benda, jabatan, kematian dan sebagainya. Orang yang rela itu sama sekali tidak menghendaki sanjungan dan popularitas. Orang yang rela itu memiliki watak : tidak lekat pada segala hal yang bisa rusak, akan tetapi bukan orang yang mengabaikan kewajiban. Intinya, barangsiapa yang bermaksud memiliki watak rela, belajar dan biasakanlah ringan tangan menolong orang lain untuk kebaikan dengan ikhlas dan sesuai kemampuan yang dimiliki. Dengan cara demikian, secara bertahap akan mencapai tingkatan : tidak dikuasai dan tidak menguasai pesona maya keadaan dunia.
Narimo (5) itu cenderung kepada ketentraman jiwa, jadi bukan orang yang malas dan enggan bekerja, akan tetapi yang bisa menerima apa yang menjadi haknya. Narimo itu bukan menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap keberuntungan orang lain. Oleh karena itu, orang yang narima itu dapat dikatakan sebagai orang yang bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Watak Narimo itu adalah suatu kekayaan yang tidak bisa habis, maka barangsiapa mencari kekayaan usahakan dalam watak narimo.
Hanya watak Narimo yang menuntun kita menuju pencerahan jiwa, karena watak Narimo mengandung ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga kita tidak terpengaruh oleh pasang surutnya gelombang kehidupan yang melanda.
Jujur (6) artinya menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang telah diucapkan atau pun masih dalam bentuk niat (dalam batin). Karena orang yang tidak melaksanakan niatnya, berarti mendustai batinnya sendiri. Apabila niat tersebut telah diucapkan, maka dustanya tersebut disaksikan oleh orang lain. Jujur itu mendatangkan rasa keadilan, sedang rasa keadilan menuntun ke arah kemuliaan abadi. Jujur itu memberikan keberanian dan ketentraman kepada jiwa serta mensucikan jiwa dan menjadikan tulusnya budi pekerti. Sesungguhnya orang yang tidak dapat dipercaya ucapannya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, termasuk golongan orang munafik (pura-pura). Orang yang demikian itu tidak akan mendapatkan Kasih Tuhan.
Sabar (7) adalah budi pekerti yang terbaik yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sabar itu artinya mampu menampung segala perkara, kuat menghadapi segala percobaan, tidak berputus asa, serta sentosa jiwanya, luas wawasannya, tidak picik, pantas jika dikatakan sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang mampu menampung diisi apa saja dan tidak meluap karena dituangi air sungai dari mana saja. Usahakan menghindari watak picik serta temperamental. Orang yang picik itu disebabkan oleh karena pikirannya dibatasi oleh pemahamannya, sehingga menganggap keliru pemahaman orang lain yang tidak sama dengan pemahamannya sendiri.
Berbudiluhur (8) adalah sikap manusia yang mirip dengan Watak dan Sifat Tuhan Yang Maha Luhur, yaitu belas kasih kepada sesama umat, suci, adil, tidak membeda-bedakan tinggi rendahnya derajad seseorang, kaya atau miskin, diperlakukan seperti saudara sendiri tanpa mengabaikan etika dan kesusilaan. Uraian tentang budiluhur baru dapat dipahami, setelah terlebih dahulu memahami uraian tentang : rela, narima, jujur dan sabar.
B. Panca Dharma Bakti (Jalan Rahayu):
- Memahami dan menghayati intisari makna dan rumusan hukum perjanjian Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya yang merupakan landasan kepercayaan dan kebulatan tekad yang diperjuangkan.
- Berbakti kepada Tuhan dan Utusan-Nya yang diteguhkan melalui Panembah yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara teratur sebagai kewajiban umat manusia.
- Budi darma, yaitu mewujudkan belas kasih kepada sesama umat, dengan memberikan kebaikan, untuk menolong kesulitan atau penderitaan orang lain sesuai dengan kebutuhan yang ditolong dan sesuai dengan kemampuan yang menolong untuk menuntun ke arah kesucian jiwanya.
- Mengendalikan nafsu-nafsu yang cenderung kepada kejahatan dan lain sebagainya, agar tidak mengganggu pelaksanaan kewajiban yang dijalankan.
- Berbudiluhur, sebagai bekal untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki.
C. Panca Pantangan (Paliwara)
Pantangan Tuhan dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok besar, sebagai berikut :
1. Jangan Menyembah selain kepada Allah
2. Berhati-hatilah dengan nafsu Sahwat (jangan memanjakan nafsu sahwat)
Larangan yang kedua, diperintahkan oleh Tuhan agar jangan menganggap remeh atau melakukan hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan, yaitu mengumbar nafsu hanya demi kesenangan menuruti sahwat. Kewajiban sejak awal bagi manusia yang diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, atas Kehendak Tuhan Yang Maha Esa, adalah untuk menjadi perantara turunnya Roh Suci yang bakal menjadi terpencarnya keturunan kita.
Mengumbar sahwat itu tidak termasuk golongan budiluhur, tetapi merupakan perbuatan makhluk yang rendah. Oleh karena itu jika merasa sebagai manusia, laksanakan kewajiban tersebut sesuai dengan tatanan yang susila.
3. Jangan makan atau menggunakan makanan/minuman yang memudahkan rusaknya badan jasmani
Jangan menggunakan sumberdaya dunia besar (alam) yang dapat merusakkan dunia kecil (badan manusia). Yang disebut sumberdaya dunia besar tersebut antara lain tumbuh-tumbuhan atau hasil bumi yang beracun, yang bisa membuat rusaknya badan jasmani dan juga jiwa. Termasuk dalam larangan ini, juga berbagai kesenangan penyalah-gunaan narkoba, berjudi dan lain sebagainya yang menyebabkan lupa kepada kewajiban delapan perkara sebagaimana dimaksud dalam Hasta Sila harus juga dihindari. Intinya, segala hal yang memudahkan rusaknya badan jasmani dan bertentangan dengan ajaran Sang Guru Sejati seperti tersebut dalam Hasta Sila jangan dilakukan.
4. Taatilah Undang-undang Negara dan Peraturannya
Kalifatullah, yaitu para Pimpinan Negara adalah wakil Tuhan di bumi yang diperintahkan untuk mengatur kehidupan manusia agar tercipta ketertiban dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Para Kalifatullah tersebut meminjam kekuasaan Tuhan untuk mengadili dan mengatur ketertiban hidup bersama para anggota masyarakat berdasarkan hukum dan peraturan untuk melindungi keselamatan anggota masyarakat. Sehingga oleh karenanya, para anggota masyarakat wajib menaati dan mematuhi pemerintahan Kalifatullah tersebut atas apa yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku agar menguatkan kedaulatan Negara untuk mencapai masyarakat adil-makmur, tenteram dan sejahtera.
5. Jangan Bertengkar
Maka hendaknya rukun dalam kehidupan bersama di dunia, jangan berselisih, saling membenci, bertengkar, bermusuhan dan berperang. Semua sikap dan perbuatan yang mengarah kepada perselisihan atau pecahnya kerukunan (Persaudaraan) hendaknya dihindarkan, a.l. iri hati, usil, adu domba, membicarakan kejelekan orang lain, gemar memfitnah, menutup jalan rejeki orang lain dan lain-lain perbuatan yang membunuh, semua itu adalah bukan watak manusia yang sejati akan tetapi wataknya setan yang akan mendorong ke arah kesengsaraan hidup.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.