sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
kelainan kaki pada balita
Ads orthoshop
Yen sira kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, aja sira malah rumangsa pinter, jalaran menawa Gusti mundhut bali ngelmu kang marakake sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah bisa aji godhong jati aking.(Bila anda mendapat anugrah ilmu yang membuat banyak orang senang, janganlah kamu merasa pintar, sebab apabila Tuhan mengambil lagi ilmu yang menyebabkan anda terkenal itu, anda akan menjadi orang biasa lagi, malah lebih bermanfaat daun yang kering)
Tuesday, August 24, 2010
membongkar rahasia kubur para leluhur tanah dhawa NKRI
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
kelainan kaki pada balita
Ads orthoshop
Membongkar Rahasia Kubur Para Leluhur Penguasa Tanah Dhawa NKRI
yang Nyaris Hilang dari Sejarah
Oleh Sayyid R. Ravie Ananda
Kebumen, Slasa Wage 23 Agustus 2010
Peninggalan para Leluhur Tanah Dhawa NKRI selain candi, pusaka, dan harta adalah karya sastra. Karya sastra Masa Lalu yang beraneka ragam selalu mempunyai maksud tersembunyi yang jarang sekali bisa ditangkap jika para pembaca saat ini hanya melihat dan mempelajari dari bentuk fisiknya saja, tanpa mempelajari pola kehidupan dan spiritual masa lalu Tanah Dhawa. Hal ini menimbulkan kesalahan tafsir dan bahkan hilangnya sejarah asli Tanah Dhawa. Belum lagi adanya bangsa pendatang yang sengaja mengubah babad asli demi kepentingan kekuasaannya di Tanah Dhawa yang sebelumnya telah misuwur ini. Mengapa para Leluhur kita selalu menaruh maksud tersembunyi dalam setiap karya sastra baik babad maupun kidung – kidungnya? Jawabnya adalah “ Karena Kesantunan Masa Lalu dimana sudah menjadi budaya bahwa mengungkapkan sesuatu secara langsung merupakan suatu hal yang tidak sopan “. Inilah faktor utama yang sebenarnya harus diperhatikan oleh para peneliti Sastra Jawa, sehingga mereka tidak hanya dituntut untuk ahli dalam hal baca tulis Jawa dan sastra Jawa Kuno saja, melainkan diperlukan juga kejelian dan pengetahuan yang luas serta nglakoni Jawane ( baik tradisinya, ilmunya, tirakatnya, maupun keyakinannya terhadap Tuhan dan kehidupan ).
Penulis akan berusaha mengupas sedikit Sejarah Tokoh Luhur kita yang nyaris hilang, bahkan ada di antaranya yang telah hilang sama sekali dari catatan sejarah Tanah Dhawa. Tokoh sejarah tersebut terdapat dalam Kidhungan Padanghyangan yang kini benar – benar hanya diketahui oleh mayoritas masyarakat Jawa dan para ahli sastranya sebagai suatu cerita nyata ( sesungguhnya tanpa memuat maksud yang sangat lain di dalamnya ) atau bahkan kemudian dijadikan suatu mantra tak berdasar untuk mengusir mahluk halus ( suatu hal yang klenik dan sangat menyedihkan ).
Semoga Yang Kuasa segera mengembalikan keluhuran bangsa ini
Semoga Para Leluhur berkenan penulis buka kesejatiannya
KIDHUNGAN PADANGHYANGAN
Kidhungan Padanghyangan berarti nyanyian yang menceritakan para leluhur ( penguasa ; Padang berarti terang / menerangkan, Hyang ( an ) berarti Luhur / Keluhuran, menerangkan keluhuran ) , kidung ini sebenarnya memberitahukan dan menerangkan nama – nama penguasa di Jawa pada masa lampau beserta keluhurannya secara tersirat. Akan tetapi karena kehalusan sastra penulisnya yang menggunakan sandi / bahasa kiasan maka tokoh – tokoh yang disebutkan dalam kidung tersebut sampai saat ini hanya dianggap sebagai mahluk halus ( bukan tokoh manusia ). Sesungguhnya pada awal judul, oleh si penulis kidung telah disertakan kunci pemahaman akan tetapi karena sifatnya yang sangat halus yakni dengan menyebutkan mereka semua sebagai ratunya lelembut di berbagai daerah, akhirnya terciptalah pencitraan luar bahwa mereka juga termasuk lelembut. Tokoh – tokoh yang tercitra sebagi lelembut dalam kidung ini memang akhirnya tergolong sebagai Gaib ( Bangsa Halus ) dikarenakan mereka memilih jalan Moksha / Rijalulghaib / Nyiluman pada akhir hidupnya ( bukan mati meninggalkan raganya ), akan tetapi yang perlu diingat bahwa pada awalnya mereka adalah manusia linuwih, tokoh linuwih di daerah masing – masing yang tentunya tidak bisa terlepas dari balutan sejarah yang akhirnya kini pun hilang. Sejarah – sejarah yang telah hilang inilah yang mayoritas menyimpan bukti keagungan Tanah Dhawa NKRI masalalu dimana akhirnya ketika bagian – bagian dari kebudayaan yang hilang tersebut muncul, kemudian menjadi korban penyelewengan sejarah oleh para ahli yang berkuasa ( sebab kurangnya pemahaman mereka terhadap sisi non materi ). Maka terciptalah kejayaan sebuah wangsa Mataram Kuno ( sebab selalu dan selalu setiap ada penemuan situs, candi, dan yang lainnya yang sangat dimungkinkan semua itu berasal dari masa jauh sebelum masehi, semua dikebiri menjadi benda – benda Mataram Kuno ). Sangat tragis sekali tentunya. Sejarah Asli Tanah ini semakin terkubur.
KIDHUNGAN PADANGHYANGAN
Para ratuning lelembut ing nungsa Jawa
Kinidungake sinom
1. Apuranen sun angetang, lelembut sanungsa Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dedemit, agung sawabe ugi, yen apal sadayanipun, apan dadya tetulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Maafkan aku menghitung lelembut ( sesuatu yang bersifat lembut / halus / rahasia / samar ) seluruh pulau Jawa yang berkuasa di Negara, para ratunya dedemit, besar dayanya juga, jika hafal semuanya, bisa dijadikan penolak, bisa juga untuk menunggu orang sakit, kayu angker tanah mengerikan jadi tawar ( Ravie Ananda )
2. Kang rumiyin ing bang wetan, Durganeluh Maospahit aran raja Bahureksa, iku ratuning dedemit, Balambangan winarni, awasta pun Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, pun Sikorep lelembut ing Panaraga.
Yang pertama di sebelah timur, Durganeluh Majapait bernama Raja Bahureksa, itu ratunya dedemit, Balambangan bermacam – macam, yang dikenal yaitu Balabatu yang menguasai Blambangan, Buta Locaya di Kediri, sedangkan Sikorep lelembut di Panaraga ( Ponorogo ) ( Ravie Ananda )
Buta Locaya adalah Patih dari Prabu Jayabaya yang pada masa hidupnya bernama Kyai Daha ( cikal bakal pendiri daerah Kediri ). Setelah mokshanya Prabu Jayabaya, Kyai Daha pun ikut moksha dan memilih menjadi semara bumi ( tidak sampuna jati ) dengan tujuan untuk menjaga tanah Kediri ( Ravie Ananda )
3. Sidakari ing Pacitan, Kaduwang si Klentingmungil, Endrayeksa ing Magetan, Jenggala si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, Pananggungan Abur- abur, Sapujagad ing Jipang, Madiun si Kalaseksa, ingkang Prabuyekti aneng pasuruhan,
Sidakari di Pacita, Kaduwang si Klentingmungil, Endrayeksa di Magetan, Jenggala si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi ( Surabaya ), Pananggungan Abur – abur, Sapujagad di Jipang, Madiun si Kalaseksa, si Prabu sesungguhnya di Pasuruhan, ( Ravie Ananda )
4. Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggilingwesi, Macan Guguh Garobogan, Kalajonggo, Singasari, Sarengat Barukuping, Balitar Sang Kalakatung, Butakuda ing Rama, Kalangbretsi Sekargambir, Carub amor ingkang ana ing Lamongan,
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggilingwesi, Macan Guguh Garobogan ( Grobogan ), Kalajonggo Singasari, Sarengat Barukuping, Balitar ( Blitar ) Sang Kalakatung (Betara Katong ), Butakuda di Rama, Kalangbretsi Sekargambir, Carub menyatu dengan yang ada di Lamongan,( Ravie Ananda )
5. Gurnita ing Puspalaya, si Lampuran Pilangputih, Kacokan aneng Balora, Gambiran Sang Kaladurgi, Kedunggede Nyi Jenggi, ing Babad Si Klewer, Lasem Kalaprahara, Sedayu Si Dindingmurti, Sidalangkap ing Candi kahyanganira,
Gurnita di Puspalaya, si Lampuran Pilangputih, Kacokan di Balora ( Blora ), Gambiran Sang Kaladurgi, Kedunggede Nyi Jenggi, di Babad Si Klewer, Lasem Kalaprahara, Sedayu Si Dindingmurti, Sidalangkap di Candi kratonnya, ( Ravie Ananda )
6. Magelang Ki Samahita, Gegeseng Si Dadungawuk, ing Pajang Buta Salewah, manda – manda ing Matawis, Paleret Bojogdesi, Kutagedhe Nyai Panggung, ing Dabu Butakarta, ing Jombor Setan Kubarsi, Jurutaman kang rumeksa ing Tunjungbang,
Magelang Ki Samahita, Gegeseng Si Dadungawuk, di Pajang Buta Salewah, manda – manda di Matawis, Paleret ( Pleret ) Bojogdesi, Kutagedhe ( Kotagedhe ) Nyai Panggung, di Dabu Butakarta, di Jombor ( perbatasan Magelang – Jogja ) Setan Kubarsi, Jurutaman yang berkuasa di Tunjungbang, ( Ravie Ananda )
Dadung Awuk adalah nama tokoh manusia yang pernah hidup dan masih terukir sejarahnya di Purworejo ( kemungkinan tokoh ini juga mengambil pilihan moksha pada akhir hidupnya ) ( Ravie Ananda )
Setan Kubarsi juga merupakan seorang tokoh yang kemudian pusakanya terkenal dengan sebutan Keris Setan Kober ( Ravie Ananda )
7. Semarang Baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pacalang Ki Sembungyuda, Suwanda ing Sukawati, ing Jadem Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Giling ing Canggal, ing Kendal si Guntinggeni, Kaliwungu Kutuk Api kang rumeksa,
Semarang Baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pacalang Ki Sembungyuda, Suwanda di Sukawati, di Jadem Nyai Ragil, Jayalelana di Suruh, Buta Giling di Canggal, di Kendal si Guntinggeni, Kaliwungu Kutuk Api yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
8. Raradenok aneng Demak, si Batiti aneng Tubin, Juwal Payal ing Talsinga, Sukrama Guyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, Tunjungseta Cemarasewu, Kaladadung Kantungan, si Asmara aneng Taji, Bagus Anom ing Kudus kahyanganira,
Raradenok di Demak, si Batiti di Tubin ( Tuban ), Juwal Payal di Talsinga, Sukrama Guyang yang menunggu, Trenggalek Ni Daruni, Tunjungseta Cemarasewu, Kaladadung Kantungan, si Asmara di Taji, Bagus Anom di Kudus Kahyanganira ( istananya ), ( Ravie Ananda )
Bagus Anom dimungkinkan sebagai nama salah satu tokoh yang berkuasa di Kudus pada masa lampau yakni saat Kudus masih menjadi kerajaan besar dimana kerajaan / kraton tersebut kemudian beralih fungsi menjadi Masjid dan Menara Kudus setelah diubah oleh Sunan Kudus.
9. Logenjeng aneng Juwana, Ngarambang si Bajulbali, si Lontar ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih Jaran Panoleh aranipun. Si Lontir Pacangakan, Dalepih si Jatisari, Ondar – andir ing Jatimalang,
Logenjeng di Juwana, Ngarambang si Bajulbali, si Lontar di Wirasaba, Madura Buta Garigis, yang ada di Matesih Jaran Panoleh namanya. Si Lontir Pacangakan, Dalepih si Jatisari, Ondar – andir di Jatimalang ( Klirong Kebumen ), ( Ravie Ananda )
10. Sunan Lawu ing Arga Dilah, Tembayat si Malanggati, ing Taji si Cucukdandang, Gigirtasik aneng Wedi, Kali Opak winarni, Sanggabuwana aranipun, si Megek Pajagalan, Cengkorek ing Kalibening, Sendahrama Karangwelang kang rumeksa,
Sunan Lawu di Arga Dilah ( Agra Dumilah ), Tembayat si Malanggati, di Taji si Cucukdandang, Gigirtasik di Wedi, Kali Opak bermacam - macam, Sanggabuwana namanya, si Megek Pajagalan, Cengkorek di Kalibening ( Wonosobo ), Sendahrama Karangwelang yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
Sunan Lawu adalah Brawijaya terakhir ( Ayah Raden Patah ) yang kemudian Moksha di Gunung Lawu, dan dikenal dengan sebutan Sunan Lawu. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Pamoksan Brawijaya tersebut bukan di Arga Dumilah melainkan di Arga Dalem, akan tetapi sesungguhnya pamokshan Beliau ada di sebuah gua yang letaknya di balik sebuah air terjun yang terdapat di gunung Lawu ( Ravie Ananda )
11. Setan Karetek ing Kendal, Baleberan Sapuangin, Singapada ing Ngrangkudan, Pandansari ing Sarisig, kang ana Wanapeti Malangkarsa wastanipun, si Sanding ing Sawangan, Winasuhan Dudukwarih, Butatakang ingkang aneng Tegallayang,
Setan Karetek di Kendal, Baleberan Sapuangin, Singapada di Ngrangkudan, Pandansari di Sarisig, yang ada di Wanapeti ( Hutan Cemeti, atas Kawah Candradimuka Banjarnegara ) Malangkarsa julukannya, si Sanding di Sawangan ( Wonosobo ), Winasuhan Dudukwarih, Butatakang yang ada di Tegallayang ( Tegal ), ( Ravie Ananda )
Hutan Cemeti terkenal keangkerannya. Di hutan inilah sekitar tahun 2009 ditemukan Sembilan jenazah kering dan masih utuh ( sepertinya merupakan sebuah keluarga sebab salah satu diantaranya adalah jenazah anak kecil ) yang terbungkus kain kafan dimana setelah diteliti ternyata umurnya diperkirakan lebih dari 1000 tahun ( sayangnya ke Sembilan jenazah tersebut kini telah dimakamkan dan dibuat nisan dari baru serta dinamai tanpa dasar. Peringatan Khaul wali tersebut pun ( semua jenazah tersebut kemudian dianggap wali ) telah diadakan setelah penemuan itu. Berdasarkan sasmita yang penulis dapat, dilokasi ini masih banyak terdapat situs kuno yang terpendam antara lain bangunan bekas kolam, candi kecil dan beberapa perkakas gerabah dan senjata. ( Ravie Ananda )
12. Rara Segaluh ing Jenar, Wewasi Banjaransari, si Talengkung Watupura, si Pura ana ing Rukmi, Sapujengges Pujenggi ingkang aneng ing Lowano, Kala Ngadang ing Tuntang, Kalabancur Ni Bancuring, kang rumeksa sukune ardi Baita,
Rara Segaluh di Jenar, Wewasi Banjaransari, si Talengkung Watupura, si Pura ada di Rukmi, Sapujengges Pujenggi yang ada di Lowano ( Purworejo ), Kala Ngadang di Tuntang, Kalabancur Ni Bancuring, yang berkuasa di kaki gunung Prahu ( Dieng Wonosobo ), ( Ravie Ananda )
13. Gnawati Wana Siluman, Ragawati Ringinputih, Sapuranta ing Jakarta, Pureges Jajaran Singgih, Parusa awor angin, Palenti neng gunung Agung, Ki pulo ngawang – ngawang, Pralapa ardi Merapi, Ni Daluki kang aneng ardi Ungaran,
Gnawati Wana Siluman ( Alas Roban ), Ragawati Ringinputih, Sapuranta di Jakarta, Pureges Jajaran Singgih ( Pajajaran ), Parusa awor ( campur ) angin, Palenti di gunung Agung, Ki pulo ngawang – ngawang, Pralapa gunung Merapi, Ni Daluki yang ada di gunung Ungaran, ( Ravie Ananda )
14. Kang aneng Kayulandeyan Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Kasujayan Widamamrih, Widanangga Dalepah, Bakilung Kedungdarusung, kang ana Kabareyan, Citranaya kang neggani, gunung Kendeng kang aran Aji Dipa.
Yang ada di Kayulandeyan Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang di Roban, Kasujayan Widamamrih, Widanangga Dalepah, Bakilung Kedungdarusung, yang ada di Kabareyan, Citranaya yang menunggu, gunung Kendeng yang disebut Aji Dipa ( Aji Saka ),
Bagus Karang ( Bagus Banteng ) dahulunya adalah seorang pemuda yang terkenal nakal, hingga akhirnya dia menjadi seorang siluman yang menguasai daerah Roban yang terkadang suka menggangu orang – orang dan kereta api ( jaman Belanda ) yang lewat di sekitar daerah tersebut ( tepatnya di wilayah perkebunan kopi / Randu / Coklat milik Pabrik Siluwok Sawangan Gringsing Pekalongan ) (Ravie Ananda )
15. Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Ni Margi ing Butawiyah, Buta Gigil aneng Tegil, Barebes Capingwarih, Winasuhan Dudukwatu, Pemalang Udan Gelap, Wiradesa Gunting Geni, Kaliwungu kang aran Setan Gorekan,
Arya Tiron di Lodaya, Sarpabangsa di Pening, Ni Margi di Butawiyah, Buta Gigil di Tegil (Tegal ), Barebes (Brebes ) Capingwarih, Winasuhan Dudukwatu, Pemalang Udan Gelap, Wiradesa Gunting Geni, Kaliwungu yang bernama Setan Gorekan, ( Ravie Ananda )
16. Ingkang aneng Surakarta / Salakerta, Rahaden Banjaransari ngalangkungan winarsita, awasta sang Kalasekti, Kartasura winarni, aran Raden Gunungsantun, Pengging Ki Kalamuka, Pratamanan Raja Putri, ing Kalaten awasta Sang Kaladremba,
Yang ada di Surakarta / Salakerta, Rahaden ( Raden ) Banjaransari yang lebih dikenal dengan nama Sang Kalasekti, Kartasura bermacam - macam, bernama Raden Gunungsantun, Pengging Ki Kalamuka, Pratamanan Raja Putri, di Kalaten (Klaten ) bernama Sang Kaladremba, ( Ravie Ananda )
17. Si Sendul aneng Gambiran, Pacabakan Dodolsawit, ing Atasangin punika R. Jengkala wastaneki, Tangsulrema Gandasuli, Widapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambiranom aneng Taji, Kadilangu si Kecubung kang rumeksa,
Si Sendul di Gambiran, Pacabakan Dodolsawit, di Atasangin yaitu R. Jengkala namanya, Tangsulrema Gandasuli, Widapeksa di Delanggu, si Kluntung di Jepara, Gambiranom di Taji, Kadilangu si Kecubung yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
18. Teluk Braja ing Talacap, Jerambah Ni Buratwangi, ing Celong Ki Nayadipa, Praduli Ki Udan Geni, Demit ing Kandang Wesi Ki Panatas wastanipun, Tetela aneng Ngayah, Durgabahu Jeruk legi, Nusa brambang kang aran Ki Mangsadurga,
Teluk Braja di Talacap ( Cilacap ), Jerambah Ni Buratwangi, di Celong Ki Nayadipa, Praduli Ki Udan Geni, Demit di Kandang Wesi Ki Panatas namanya, Tetela di Ngayah ( Ayah Kebumen ), Durgabahu Jeruk Legi ( Klirong Kebumen ), Nusa Brambang ( Nusakambangan ) yang bernama Ki Mangsadurga, ( Ravie Ananda )
Di Nusakambangan tepatnya di gua Ratu / Putri hingga kini masih ada situs kuno bahkan di pintu masuknya pun terdapat relief kepala seorang laki – laki tua yang kemungkinan adalah seorang pemimpin. Hal ini dikuatkan dengan adanya ruangan di dalam gua yang sepertinya pada masa lampau digunakan untuk berkumpul, dimana ada satu bagian yang posisinya lebih tinggi ( singgasana ) dibandingkan yang lain, yang mengelilinginya. Ada juga bagian pada dinding – dinding kamar gua yang sepertinya dibuat sebagai tempat tidur batu. Di gua lain, tepatnya di Gua Masjid Sela, dimana sejak jaman dahulu kala hingga zaman Mataram Islam digunakan sebagai penjara bagi lawan politik sang Raja Penguasa terdapat juga situs kuno yang sangat lengkap, baik dari kamar tidur batu, singgasana batu, lumbung batu, dll. Gua itulah yang sejak jaman dahulu kala jauh sebelum masa Islam datang diyakini sebagai tempat Nabi Ayub. Hal ini tentunya akan semakin mendukung tulisan Kholid Mawardi ( berdasar hasil riset peneliti asing ) yang berjudul “ Jawa Negerinya para Nabi “( Ravie Ananda )
19. Sela Warna Kali Krawang, Carebon Sang Kala Srenggi, ardi Lawet Kyai Baka, Gunung Sumbing Wirakreti, demit Telagapasir ingkang aran Ki Jalikung, si Klengset ing Pasundan, ing Pancer Sang Bagaspati, pan ing Kedu kang aran Ki Mamanmurka,
Sela Warna Kali Krawang, Carebon ( Cirebon ) Sang Kala Srenggi, ardi Lawet ( Banjarnegara ) Kyai Baka, Gunung Sumbing Wirakreti, demit Telagapasir yang bernama Ki Jalikung, si Klengset di Pasundan, di Pancer Sang Bagaspati, sedangkan di Kedu yang bernama Ki Mamanmurka, ( Ravie Ananda )
Ardi Lawet pada masa sebelum Islam bernama Sapta Arga / Martawuj, tempat bertapanya hingga sapurnajatinya Pangeran Palasara dan Begawan Abiyasa ( nama Tua dari Prabu Kresna Dipayana ). Setelah kedatangan Islam, oleh para wali tempat tersebut diubah nama menjadi Ardi Lawet, dan karena keramatnya Sang Abiyasalah, para wali kemudian menjadikan tempat tersebut untuk bermusyawarah. Situs masa lalu tersebut hingga kini masih terawat dengan baik. Nama Tokoh Pewayangan sendiri hingga saat ini dianggap sebagai sebuah fiksi belaka, padahal sesungguhnya Tokoh – tokoh tersebut nyata adanya, akan tetapi sejarah peradabannya telah hilang ( jaman Kejayaan Tanah Dhawa Kuno ), kemudian nama – nama tersebut beserta nama – nama tempat yang ada diambil sebagai nama tokoh dan tempat dalam pewayangan. Yang merupakan fiksi sesungguhnya adalah kisah pewayangan itu sendiri. Kisah pewayangan adalah kisah fiksi yang mengandung arti, makna dan pesan Filosofis hidup Masyarakat Tanah Dhawa Kuno yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Demi menjaga sebuah peradaban agar tidak hilang sepenuhnya dari sejarah keluhuran bangsa ini, maka Tokoh – tokoh dan tempat – tempat yang nyata dan pernah hidup serta mengukir sejarah peradaban Kuno Tanah Dhawa NKRI tersebut diambil sebagai pelaku kisah pewayangan yang sebenarnya fiktif, sehingga akhirnya muncullah dua pencitraan yakni :
1. Wayang sepenuhnya adalah kisah fiktif ( baik tokoh maupun tempatnya )
2. Wayang sepenuhnya adalah kisah non fiktif ( baik tokoh maupun tempatnya )
Kedua pencitraan itu adalah pencitraan yang keliru. Pencitraan yang sebenarnya adalah nama Tokoh dan tempat dalam pewayangan adalah nyata, akan tetapi sejarahnya telah hilang, dan kisah pewayangan itulah yang fiktif akan tetapi mengambil nama tokoh dan tempat yang nyata dan pernah ada di Tanah Dhawa yang dahulunya memang bertujuan untuk menjaga agar sejarah Tanah Dhawa Kuno tidak hilang sepenuhnya ( minimal masih terpatri nama – nama tokoh dan tempatnya ). Hingga sekarang pun situs berupa Candi – candi ( tempat perabuan / ditanamnya sesuatu yang berharga dari tokoh – tokoh tersebut ), gua, mata air, nama tempat serta desa di daerah Dieng Wonosobo hingga Banjarnegara masih ada seperti yang tersebut dalam cerita pewayangan sedangkan di India sendiri nama – nama tokoh, situs dan tempat yang sesuai dengan kisah pewayangan tersebut tidak pernah ada ( harusnya lebih lengkap sebab India mengklaim bahwa Mahabarata adalah karya aslinya ). Menurut sasmita yang penulis dapat saat bermalam dan bersemadhi di candi Bima dan Semar pada beberapa waktu yang lalu, bahwa peradaban Dieng lebih tua dibandingkan dengan peradaban Gunung Lawu, bahkan dahulu kala sudah menjadi tradisi peradaban Lawu berziarah ke Candi – candi Dieng. Hal ini kiranya tidak berlawanan dengan apa yang disebutkan dalam kitab Darmagandhul bahwa dikarenakan babad – babad asli ( kitab – kitab asli ) Tanah Dhawa Kuno telah hilang dibakar oleh para pendatang yang silih berganti, akhirnya Sunan Kalijaga pun berusaha melestarikan yang masih bisa diketahui dari sisa – sisa sejarah masa lampau itu dengan wayang. Begitu juga para Penguasa Mataram yang kemudian memerintahkan para pujangganya untuk menulis riwayat Babad Tanah Dhawa, akan tetapi karena babad yang asli benar – benar telah hilang, maka kitab – kitab baru dari pujangga – pujangga tersebut pun mau tidak mau berpedoman pada kitab lama yang masih ada ( tentunya bukan kitab Babad Asli Tanah Dhawa, melainkan kitab gubahan yang telah disesuaikan dengan penguasa / faham penguasa yang terakhir masuk di Jawa. Dengan paparan – paparan ini maka bisa kita ketahui dengan gamblang bahwa memang telah terjadi penjajahan Sejarah Asli Tanah dhawa NKRI oleh para pendatang yang berkuasa dengan cara mengubah babad asli dan menyesuaikannya dengan faham mereka. Fakta yang menguatkan mengenai hal ini juga terdapat dalam Pustaka Raja Purwa dan Babad Syekh Subakir. Pustaka Raja Purrwa mengatakan bahwa Tanah Dhawa belum ada manusianya saat Ajisaka datang ke Jawa ( Hangejawi ). Dialah yan berjasa mengisi Tanah Dhawa ini dengan manusia setelah sebelumnya dilakukan penumbalan terlebih dahulu karena tanah ini sangat angker dan penuh dengan lelembut. Babad Syekh Subakir berkata lain. Dalam babad ini diceritakan bahwa Syekh Subakirlah yang pertama kali masuk ke Jawa dan menumbal tanah ini ( tepatnya di gunung Tidar Magelang hingga bertemu dengan ratu lelembut yang bernama Semar. Setelah terjadi kesepakatan, barulah Syekh Subakir ini mengisi pulau Jawa dengan manusia dari Negara lain. Terlihat dalam dua babad tersebut betapa dua kepentingan kekuasaan dengan paham yang berlainan saling memperebutkan sebagai cikal bakal pengisi Tanah Dhawa. ( Ravie Ananda ).
20. Magiri si Manglarmanga, ing Gading si Puspasari, Katanggungan Kluntungwelah, Barengkelan Banaspati kang wasta Raden Dewi, ing Tengah pun Sabuk alu. Nagri Kedungerika awasta Sang Raja Putri, ing Bahrawa Baruklinting kang rumeksa,
Magiri ( Imogiri Yogyakarta ) si Manglarmanga, di Gading si Puspasari, Katanggungan Kluntungwelah, Barengkelan ( Brengkelan Porworejo ) Banaspati yang bernama Raden Dewi, di Tengah (Pangenjurutengah Purworejo ) ialah Sabuk alu. Nagri Kedungerika bernama Sang Raja Putri, di Bahrawa ( Ambarawa ) Baruklinting yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
21. Si deleng ing Pamancingan, Guwa Langse Raden Dewi, ana dene Parangwedang Raden Ayu Jayengwesi, ngulon turut pasisir kulawarga Nyai Kidul sampun pepak sedaya, para ratuning dedemit sampun nglempak kang aneng ing tanah Jawa.
Si deleng di Pamancingan, Guwa Langse Raden Dewi, sedangkan Parangwedang Raden Ayu Jayengwesi, ke barat sepanjang pesisir keluarga Nyai Kidul sudah lengkap semua, para ratunya dedemit sudah terkumpul yang ada di tanah Jawa ( Ravie Ananda ).
Pelurusan Sejarah mengenai Nyai Roro Kidul
Masyarakat pada umumnya telah terbiasa dan terkondisi oleh pencitraan masa Islam bahwa Ratu Kidul adalah Nyai Roro Kidul. Pemahaman ini sangatlah keliru. Penulis akan menjelaskan sedikit riwayat mengenai dua tokoh tersebut.
Nyai Roro Kidul
Jaman dahulu kala, jauh sebelum adanya kerajaan Kediri, lelembut / mahluk halus di seluruh Nusantara dirajai oleh ratu yang juga asli lelembut yang bernama Nyai Ageng Rara Kidul yang singgasananya di tengah samudra pantai selatan.
Eyang Ratu Kidul
Pada masa kerajaan Kediri, seorang adik dari prabu Jayabaya ( putri ) yang menyandang cacad fisik diasingkan dari kerajaan di pantai selatan, tujuannya tidak lain agar mempercepat kematiannya. Akan tetapi, karena ia mempunyai darah luhur, di pantai selatan tersebut ia bertapa mati raga dalam waktu yang lama, hingga sampai pada suatu saat yang telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya dia moksha ( Rijalul Ghaib ) dan menjadi Manusia Bangsa Halus / Rijalulghaib / Siluman. Karena dayanya yang luar biasa ( dari badan kasar menjadi badan halus ) akhirnya ratu lelembut yang bernama Nyai Ageng Rara Kidul tersebut kalah daya dan kemudian jabatan ratu lelembut Nusantara beralih pada Eyang Ratu Kidul. Adapun Nyai Ageng Rara Kidul ( yang asli bangsa halus tadi ) kemudian menjadi patih dari Eyang Ratu Kidul.
Eyang Ratu Kidul sendiri diizinkan oleh Yang Maha Kuasa menjadi bangsa Halus, dimana dia ditugaskan untuk mengayomi seluruh manusia Tanah Dhawa yang masih menggunakan Jawanya ( Njawani ) agar tidak diganggu oleh bangsa halus dalam bentuk apapun. Adapun mengenai Eyang Ratu Kidul yang konon memiliki kamar khusus seperti di salah satu hotel di Bali dan beberapa tempat lain, sesungguhnya bukanlah Eyang Ratu Kidul, melainkan patihnya yang bernama Nyai Ageng Rara Kidul. ( Ravie Ananda ).
Dari beberapa pemaparan penulis, mengenai jati diri beberapa nama tokoh / Ratu lelembut yang disebutkan dalam kidung di atas, bisa disimpulkan bahwa Ratu – ratu Lelembut tersebut adalah nama tokoh manusia yang sebenarnya berkaitan erat dengan sejarah Tanah Dhawa RI, bukan sebagai sosok Ratu Bangsa Halus yang tidak memiliki kaitan apapun dengan sejarah dan cenderung bermakna negatif. Sayang sekali sejarah – sejarah keluhuran Tanah Dhawa NKRI yang melekat dalam tokoh – tokoh yang telah moksha tersebut kini ikut hilang ditelan bumi, seperti juga sejarah mengenai sosok Gajah Mada yang jatidiri dan keturunannya hingga kini masih terselubung misteri. Semoga sejarah yang hilang tersebut segera muncul kembali bersamaan dengan bangkitnya keluhuran Tanah Dhawa NKRI. Rahayu.
Salam Pancasila
Ravie Ananda
yang Nyaris Hilang dari Sejarah
Oleh Sayyid R. Ravie Ananda
Kebumen, Slasa Wage 23 Agustus 2010
Peninggalan para Leluhur Tanah Dhawa NKRI selain candi, pusaka, dan harta adalah karya sastra. Karya sastra Masa Lalu yang beraneka ragam selalu mempunyai maksud tersembunyi yang jarang sekali bisa ditangkap jika para pembaca saat ini hanya melihat dan mempelajari dari bentuk fisiknya saja, tanpa mempelajari pola kehidupan dan spiritual masa lalu Tanah Dhawa. Hal ini menimbulkan kesalahan tafsir dan bahkan hilangnya sejarah asli Tanah Dhawa. Belum lagi adanya bangsa pendatang yang sengaja mengubah babad asli demi kepentingan kekuasaannya di Tanah Dhawa yang sebelumnya telah misuwur ini. Mengapa para Leluhur kita selalu menaruh maksud tersembunyi dalam setiap karya sastra baik babad maupun kidung – kidungnya? Jawabnya adalah “ Karena Kesantunan Masa Lalu dimana sudah menjadi budaya bahwa mengungkapkan sesuatu secara langsung merupakan suatu hal yang tidak sopan “. Inilah faktor utama yang sebenarnya harus diperhatikan oleh para peneliti Sastra Jawa, sehingga mereka tidak hanya dituntut untuk ahli dalam hal baca tulis Jawa dan sastra Jawa Kuno saja, melainkan diperlukan juga kejelian dan pengetahuan yang luas serta nglakoni Jawane ( baik tradisinya, ilmunya, tirakatnya, maupun keyakinannya terhadap Tuhan dan kehidupan ).
Penulis akan berusaha mengupas sedikit Sejarah Tokoh Luhur kita yang nyaris hilang, bahkan ada di antaranya yang telah hilang sama sekali dari catatan sejarah Tanah Dhawa. Tokoh sejarah tersebut terdapat dalam Kidhungan Padanghyangan yang kini benar – benar hanya diketahui oleh mayoritas masyarakat Jawa dan para ahli sastranya sebagai suatu cerita nyata ( sesungguhnya tanpa memuat maksud yang sangat lain di dalamnya ) atau bahkan kemudian dijadikan suatu mantra tak berdasar untuk mengusir mahluk halus ( suatu hal yang klenik dan sangat menyedihkan ).
Semoga Yang Kuasa segera mengembalikan keluhuran bangsa ini
Semoga Para Leluhur berkenan penulis buka kesejatiannya
KIDHUNGAN PADANGHYANGAN
Kidhungan Padanghyangan berarti nyanyian yang menceritakan para leluhur ( penguasa ; Padang berarti terang / menerangkan, Hyang ( an ) berarti Luhur / Keluhuran, menerangkan keluhuran ) , kidung ini sebenarnya memberitahukan dan menerangkan nama – nama penguasa di Jawa pada masa lampau beserta keluhurannya secara tersirat. Akan tetapi karena kehalusan sastra penulisnya yang menggunakan sandi / bahasa kiasan maka tokoh – tokoh yang disebutkan dalam kidung tersebut sampai saat ini hanya dianggap sebagai mahluk halus ( bukan tokoh manusia ). Sesungguhnya pada awal judul, oleh si penulis kidung telah disertakan kunci pemahaman akan tetapi karena sifatnya yang sangat halus yakni dengan menyebutkan mereka semua sebagai ratunya lelembut di berbagai daerah, akhirnya terciptalah pencitraan luar bahwa mereka juga termasuk lelembut. Tokoh – tokoh yang tercitra sebagi lelembut dalam kidung ini memang akhirnya tergolong sebagai Gaib ( Bangsa Halus ) dikarenakan mereka memilih jalan Moksha / Rijalulghaib / Nyiluman pada akhir hidupnya ( bukan mati meninggalkan raganya ), akan tetapi yang perlu diingat bahwa pada awalnya mereka adalah manusia linuwih, tokoh linuwih di daerah masing – masing yang tentunya tidak bisa terlepas dari balutan sejarah yang akhirnya kini pun hilang. Sejarah – sejarah yang telah hilang inilah yang mayoritas menyimpan bukti keagungan Tanah Dhawa NKRI masalalu dimana akhirnya ketika bagian – bagian dari kebudayaan yang hilang tersebut muncul, kemudian menjadi korban penyelewengan sejarah oleh para ahli yang berkuasa ( sebab kurangnya pemahaman mereka terhadap sisi non materi ). Maka terciptalah kejayaan sebuah wangsa Mataram Kuno ( sebab selalu dan selalu setiap ada penemuan situs, candi, dan yang lainnya yang sangat dimungkinkan semua itu berasal dari masa jauh sebelum masehi, semua dikebiri menjadi benda – benda Mataram Kuno ). Sangat tragis sekali tentunya. Sejarah Asli Tanah ini semakin terkubur.
KIDHUNGAN PADANGHYANGAN
Para ratuning lelembut ing nungsa Jawa
Kinidungake sinom
1. Apuranen sun angetang, lelembut sanungsa Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dedemit, agung sawabe ugi, yen apal sadayanipun, apan dadya tetulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Maafkan aku menghitung lelembut ( sesuatu yang bersifat lembut / halus / rahasia / samar ) seluruh pulau Jawa yang berkuasa di Negara, para ratunya dedemit, besar dayanya juga, jika hafal semuanya, bisa dijadikan penolak, bisa juga untuk menunggu orang sakit, kayu angker tanah mengerikan jadi tawar ( Ravie Ananda )
2. Kang rumiyin ing bang wetan, Durganeluh Maospahit aran raja Bahureksa, iku ratuning dedemit, Balambangan winarni, awasta pun Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, pun Sikorep lelembut ing Panaraga.
Yang pertama di sebelah timur, Durganeluh Majapait bernama Raja Bahureksa, itu ratunya dedemit, Balambangan bermacam – macam, yang dikenal yaitu Balabatu yang menguasai Blambangan, Buta Locaya di Kediri, sedangkan Sikorep lelembut di Panaraga ( Ponorogo ) ( Ravie Ananda )
Buta Locaya adalah Patih dari Prabu Jayabaya yang pada masa hidupnya bernama Kyai Daha ( cikal bakal pendiri daerah Kediri ). Setelah mokshanya Prabu Jayabaya, Kyai Daha pun ikut moksha dan memilih menjadi semara bumi ( tidak sampuna jati ) dengan tujuan untuk menjaga tanah Kediri ( Ravie Ananda )
3. Sidakari ing Pacitan, Kaduwang si Klentingmungil, Endrayeksa ing Magetan, Jenggala si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, Pananggungan Abur- abur, Sapujagad ing Jipang, Madiun si Kalaseksa, ingkang Prabuyekti aneng pasuruhan,
Sidakari di Pacita, Kaduwang si Klentingmungil, Endrayeksa di Magetan, Jenggala si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi ( Surabaya ), Pananggungan Abur – abur, Sapujagad di Jipang, Madiun si Kalaseksa, si Prabu sesungguhnya di Pasuruhan, ( Ravie Ananda )
4. Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggilingwesi, Macan Guguh Garobogan, Kalajonggo, Singasari, Sarengat Barukuping, Balitar Sang Kalakatung, Butakuda ing Rama, Kalangbretsi Sekargambir, Carub amor ingkang ana ing Lamongan,
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggilingwesi, Macan Guguh Garobogan ( Grobogan ), Kalajonggo Singasari, Sarengat Barukuping, Balitar ( Blitar ) Sang Kalakatung (Betara Katong ), Butakuda di Rama, Kalangbretsi Sekargambir, Carub menyatu dengan yang ada di Lamongan,( Ravie Ananda )
5. Gurnita ing Puspalaya, si Lampuran Pilangputih, Kacokan aneng Balora, Gambiran Sang Kaladurgi, Kedunggede Nyi Jenggi, ing Babad Si Klewer, Lasem Kalaprahara, Sedayu Si Dindingmurti, Sidalangkap ing Candi kahyanganira,
Gurnita di Puspalaya, si Lampuran Pilangputih, Kacokan di Balora ( Blora ), Gambiran Sang Kaladurgi, Kedunggede Nyi Jenggi, di Babad Si Klewer, Lasem Kalaprahara, Sedayu Si Dindingmurti, Sidalangkap di Candi kratonnya, ( Ravie Ananda )
6. Magelang Ki Samahita, Gegeseng Si Dadungawuk, ing Pajang Buta Salewah, manda – manda ing Matawis, Paleret Bojogdesi, Kutagedhe Nyai Panggung, ing Dabu Butakarta, ing Jombor Setan Kubarsi, Jurutaman kang rumeksa ing Tunjungbang,
Magelang Ki Samahita, Gegeseng Si Dadungawuk, di Pajang Buta Salewah, manda – manda di Matawis, Paleret ( Pleret ) Bojogdesi, Kutagedhe ( Kotagedhe ) Nyai Panggung, di Dabu Butakarta, di Jombor ( perbatasan Magelang – Jogja ) Setan Kubarsi, Jurutaman yang berkuasa di Tunjungbang, ( Ravie Ananda )
Dadung Awuk adalah nama tokoh manusia yang pernah hidup dan masih terukir sejarahnya di Purworejo ( kemungkinan tokoh ini juga mengambil pilihan moksha pada akhir hidupnya ) ( Ravie Ananda )
Setan Kubarsi juga merupakan seorang tokoh yang kemudian pusakanya terkenal dengan sebutan Keris Setan Kober ( Ravie Ananda )
7. Semarang Baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pacalang Ki Sembungyuda, Suwanda ing Sukawati, ing Jadem Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Giling ing Canggal, ing Kendal si Guntinggeni, Kaliwungu Kutuk Api kang rumeksa,
Semarang Baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pacalang Ki Sembungyuda, Suwanda di Sukawati, di Jadem Nyai Ragil, Jayalelana di Suruh, Buta Giling di Canggal, di Kendal si Guntinggeni, Kaliwungu Kutuk Api yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
8. Raradenok aneng Demak, si Batiti aneng Tubin, Juwal Payal ing Talsinga, Sukrama Guyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, Tunjungseta Cemarasewu, Kaladadung Kantungan, si Asmara aneng Taji, Bagus Anom ing Kudus kahyanganira,
Raradenok di Demak, si Batiti di Tubin ( Tuban ), Juwal Payal di Talsinga, Sukrama Guyang yang menunggu, Trenggalek Ni Daruni, Tunjungseta Cemarasewu, Kaladadung Kantungan, si Asmara di Taji, Bagus Anom di Kudus Kahyanganira ( istananya ), ( Ravie Ananda )
Bagus Anom dimungkinkan sebagai nama salah satu tokoh yang berkuasa di Kudus pada masa lampau yakni saat Kudus masih menjadi kerajaan besar dimana kerajaan / kraton tersebut kemudian beralih fungsi menjadi Masjid dan Menara Kudus setelah diubah oleh Sunan Kudus.
9. Logenjeng aneng Juwana, Ngarambang si Bajulbali, si Lontar ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih Jaran Panoleh aranipun. Si Lontir Pacangakan, Dalepih si Jatisari, Ondar – andir ing Jatimalang,
Logenjeng di Juwana, Ngarambang si Bajulbali, si Lontar di Wirasaba, Madura Buta Garigis, yang ada di Matesih Jaran Panoleh namanya. Si Lontir Pacangakan, Dalepih si Jatisari, Ondar – andir di Jatimalang ( Klirong Kebumen ), ( Ravie Ananda )
10. Sunan Lawu ing Arga Dilah, Tembayat si Malanggati, ing Taji si Cucukdandang, Gigirtasik aneng Wedi, Kali Opak winarni, Sanggabuwana aranipun, si Megek Pajagalan, Cengkorek ing Kalibening, Sendahrama Karangwelang kang rumeksa,
Sunan Lawu di Arga Dilah ( Agra Dumilah ), Tembayat si Malanggati, di Taji si Cucukdandang, Gigirtasik di Wedi, Kali Opak bermacam - macam, Sanggabuwana namanya, si Megek Pajagalan, Cengkorek di Kalibening ( Wonosobo ), Sendahrama Karangwelang yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
Sunan Lawu adalah Brawijaya terakhir ( Ayah Raden Patah ) yang kemudian Moksha di Gunung Lawu, dan dikenal dengan sebutan Sunan Lawu. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Pamoksan Brawijaya tersebut bukan di Arga Dumilah melainkan di Arga Dalem, akan tetapi sesungguhnya pamokshan Beliau ada di sebuah gua yang letaknya di balik sebuah air terjun yang terdapat di gunung Lawu ( Ravie Ananda )
11. Setan Karetek ing Kendal, Baleberan Sapuangin, Singapada ing Ngrangkudan, Pandansari ing Sarisig, kang ana Wanapeti Malangkarsa wastanipun, si Sanding ing Sawangan, Winasuhan Dudukwarih, Butatakang ingkang aneng Tegallayang,
Setan Karetek di Kendal, Baleberan Sapuangin, Singapada di Ngrangkudan, Pandansari di Sarisig, yang ada di Wanapeti ( Hutan Cemeti, atas Kawah Candradimuka Banjarnegara ) Malangkarsa julukannya, si Sanding di Sawangan ( Wonosobo ), Winasuhan Dudukwarih, Butatakang yang ada di Tegallayang ( Tegal ), ( Ravie Ananda )
Hutan Cemeti terkenal keangkerannya. Di hutan inilah sekitar tahun 2009 ditemukan Sembilan jenazah kering dan masih utuh ( sepertinya merupakan sebuah keluarga sebab salah satu diantaranya adalah jenazah anak kecil ) yang terbungkus kain kafan dimana setelah diteliti ternyata umurnya diperkirakan lebih dari 1000 tahun ( sayangnya ke Sembilan jenazah tersebut kini telah dimakamkan dan dibuat nisan dari baru serta dinamai tanpa dasar. Peringatan Khaul wali tersebut pun ( semua jenazah tersebut kemudian dianggap wali ) telah diadakan setelah penemuan itu. Berdasarkan sasmita yang penulis dapat, dilokasi ini masih banyak terdapat situs kuno yang terpendam antara lain bangunan bekas kolam, candi kecil dan beberapa perkakas gerabah dan senjata. ( Ravie Ananda )
12. Rara Segaluh ing Jenar, Wewasi Banjaransari, si Talengkung Watupura, si Pura ana ing Rukmi, Sapujengges Pujenggi ingkang aneng ing Lowano, Kala Ngadang ing Tuntang, Kalabancur Ni Bancuring, kang rumeksa sukune ardi Baita,
Rara Segaluh di Jenar, Wewasi Banjaransari, si Talengkung Watupura, si Pura ada di Rukmi, Sapujengges Pujenggi yang ada di Lowano ( Purworejo ), Kala Ngadang di Tuntang, Kalabancur Ni Bancuring, yang berkuasa di kaki gunung Prahu ( Dieng Wonosobo ), ( Ravie Ananda )
13. Gnawati Wana Siluman, Ragawati Ringinputih, Sapuranta ing Jakarta, Pureges Jajaran Singgih, Parusa awor angin, Palenti neng gunung Agung, Ki pulo ngawang – ngawang, Pralapa ardi Merapi, Ni Daluki kang aneng ardi Ungaran,
Gnawati Wana Siluman ( Alas Roban ), Ragawati Ringinputih, Sapuranta di Jakarta, Pureges Jajaran Singgih ( Pajajaran ), Parusa awor ( campur ) angin, Palenti di gunung Agung, Ki pulo ngawang – ngawang, Pralapa gunung Merapi, Ni Daluki yang ada di gunung Ungaran, ( Ravie Ananda )
14. Kang aneng Kayulandeyan Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Kasujayan Widamamrih, Widanangga Dalepah, Bakilung Kedungdarusung, kang ana Kabareyan, Citranaya kang neggani, gunung Kendeng kang aran Aji Dipa.
Yang ada di Kayulandeyan Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang di Roban, Kasujayan Widamamrih, Widanangga Dalepah, Bakilung Kedungdarusung, yang ada di Kabareyan, Citranaya yang menunggu, gunung Kendeng yang disebut Aji Dipa ( Aji Saka ),
Bagus Karang ( Bagus Banteng ) dahulunya adalah seorang pemuda yang terkenal nakal, hingga akhirnya dia menjadi seorang siluman yang menguasai daerah Roban yang terkadang suka menggangu orang – orang dan kereta api ( jaman Belanda ) yang lewat di sekitar daerah tersebut ( tepatnya di wilayah perkebunan kopi / Randu / Coklat milik Pabrik Siluwok Sawangan Gringsing Pekalongan ) (Ravie Ananda )
15. Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Ni Margi ing Butawiyah, Buta Gigil aneng Tegil, Barebes Capingwarih, Winasuhan Dudukwatu, Pemalang Udan Gelap, Wiradesa Gunting Geni, Kaliwungu kang aran Setan Gorekan,
Arya Tiron di Lodaya, Sarpabangsa di Pening, Ni Margi di Butawiyah, Buta Gigil di Tegil (Tegal ), Barebes (Brebes ) Capingwarih, Winasuhan Dudukwatu, Pemalang Udan Gelap, Wiradesa Gunting Geni, Kaliwungu yang bernama Setan Gorekan, ( Ravie Ananda )
16. Ingkang aneng Surakarta / Salakerta, Rahaden Banjaransari ngalangkungan winarsita, awasta sang Kalasekti, Kartasura winarni, aran Raden Gunungsantun, Pengging Ki Kalamuka, Pratamanan Raja Putri, ing Kalaten awasta Sang Kaladremba,
Yang ada di Surakarta / Salakerta, Rahaden ( Raden ) Banjaransari yang lebih dikenal dengan nama Sang Kalasekti, Kartasura bermacam - macam, bernama Raden Gunungsantun, Pengging Ki Kalamuka, Pratamanan Raja Putri, di Kalaten (Klaten ) bernama Sang Kaladremba, ( Ravie Ananda )
17. Si Sendul aneng Gambiran, Pacabakan Dodolsawit, ing Atasangin punika R. Jengkala wastaneki, Tangsulrema Gandasuli, Widapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambiranom aneng Taji, Kadilangu si Kecubung kang rumeksa,
Si Sendul di Gambiran, Pacabakan Dodolsawit, di Atasangin yaitu R. Jengkala namanya, Tangsulrema Gandasuli, Widapeksa di Delanggu, si Kluntung di Jepara, Gambiranom di Taji, Kadilangu si Kecubung yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
18. Teluk Braja ing Talacap, Jerambah Ni Buratwangi, ing Celong Ki Nayadipa, Praduli Ki Udan Geni, Demit ing Kandang Wesi Ki Panatas wastanipun, Tetela aneng Ngayah, Durgabahu Jeruk legi, Nusa brambang kang aran Ki Mangsadurga,
Teluk Braja di Talacap ( Cilacap ), Jerambah Ni Buratwangi, di Celong Ki Nayadipa, Praduli Ki Udan Geni, Demit di Kandang Wesi Ki Panatas namanya, Tetela di Ngayah ( Ayah Kebumen ), Durgabahu Jeruk Legi ( Klirong Kebumen ), Nusa Brambang ( Nusakambangan ) yang bernama Ki Mangsadurga, ( Ravie Ananda )
Di Nusakambangan tepatnya di gua Ratu / Putri hingga kini masih ada situs kuno bahkan di pintu masuknya pun terdapat relief kepala seorang laki – laki tua yang kemungkinan adalah seorang pemimpin. Hal ini dikuatkan dengan adanya ruangan di dalam gua yang sepertinya pada masa lampau digunakan untuk berkumpul, dimana ada satu bagian yang posisinya lebih tinggi ( singgasana ) dibandingkan yang lain, yang mengelilinginya. Ada juga bagian pada dinding – dinding kamar gua yang sepertinya dibuat sebagai tempat tidur batu. Di gua lain, tepatnya di Gua Masjid Sela, dimana sejak jaman dahulu kala hingga zaman Mataram Islam digunakan sebagai penjara bagi lawan politik sang Raja Penguasa terdapat juga situs kuno yang sangat lengkap, baik dari kamar tidur batu, singgasana batu, lumbung batu, dll. Gua itulah yang sejak jaman dahulu kala jauh sebelum masa Islam datang diyakini sebagai tempat Nabi Ayub. Hal ini tentunya akan semakin mendukung tulisan Kholid Mawardi ( berdasar hasil riset peneliti asing ) yang berjudul “ Jawa Negerinya para Nabi “( Ravie Ananda )
19. Sela Warna Kali Krawang, Carebon Sang Kala Srenggi, ardi Lawet Kyai Baka, Gunung Sumbing Wirakreti, demit Telagapasir ingkang aran Ki Jalikung, si Klengset ing Pasundan, ing Pancer Sang Bagaspati, pan ing Kedu kang aran Ki Mamanmurka,
Sela Warna Kali Krawang, Carebon ( Cirebon ) Sang Kala Srenggi, ardi Lawet ( Banjarnegara ) Kyai Baka, Gunung Sumbing Wirakreti, demit Telagapasir yang bernama Ki Jalikung, si Klengset di Pasundan, di Pancer Sang Bagaspati, sedangkan di Kedu yang bernama Ki Mamanmurka, ( Ravie Ananda )
Ardi Lawet pada masa sebelum Islam bernama Sapta Arga / Martawuj, tempat bertapanya hingga sapurnajatinya Pangeran Palasara dan Begawan Abiyasa ( nama Tua dari Prabu Kresna Dipayana ). Setelah kedatangan Islam, oleh para wali tempat tersebut diubah nama menjadi Ardi Lawet, dan karena keramatnya Sang Abiyasalah, para wali kemudian menjadikan tempat tersebut untuk bermusyawarah. Situs masa lalu tersebut hingga kini masih terawat dengan baik. Nama Tokoh Pewayangan sendiri hingga saat ini dianggap sebagai sebuah fiksi belaka, padahal sesungguhnya Tokoh – tokoh tersebut nyata adanya, akan tetapi sejarah peradabannya telah hilang ( jaman Kejayaan Tanah Dhawa Kuno ), kemudian nama – nama tersebut beserta nama – nama tempat yang ada diambil sebagai nama tokoh dan tempat dalam pewayangan. Yang merupakan fiksi sesungguhnya adalah kisah pewayangan itu sendiri. Kisah pewayangan adalah kisah fiksi yang mengandung arti, makna dan pesan Filosofis hidup Masyarakat Tanah Dhawa Kuno yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Demi menjaga sebuah peradaban agar tidak hilang sepenuhnya dari sejarah keluhuran bangsa ini, maka Tokoh – tokoh dan tempat – tempat yang nyata dan pernah hidup serta mengukir sejarah peradaban Kuno Tanah Dhawa NKRI tersebut diambil sebagai pelaku kisah pewayangan yang sebenarnya fiktif, sehingga akhirnya muncullah dua pencitraan yakni :
1. Wayang sepenuhnya adalah kisah fiktif ( baik tokoh maupun tempatnya )
2. Wayang sepenuhnya adalah kisah non fiktif ( baik tokoh maupun tempatnya )
Kedua pencitraan itu adalah pencitraan yang keliru. Pencitraan yang sebenarnya adalah nama Tokoh dan tempat dalam pewayangan adalah nyata, akan tetapi sejarahnya telah hilang, dan kisah pewayangan itulah yang fiktif akan tetapi mengambil nama tokoh dan tempat yang nyata dan pernah ada di Tanah Dhawa yang dahulunya memang bertujuan untuk menjaga agar sejarah Tanah Dhawa Kuno tidak hilang sepenuhnya ( minimal masih terpatri nama – nama tokoh dan tempatnya ). Hingga sekarang pun situs berupa Candi – candi ( tempat perabuan / ditanamnya sesuatu yang berharga dari tokoh – tokoh tersebut ), gua, mata air, nama tempat serta desa di daerah Dieng Wonosobo hingga Banjarnegara masih ada seperti yang tersebut dalam cerita pewayangan sedangkan di India sendiri nama – nama tokoh, situs dan tempat yang sesuai dengan kisah pewayangan tersebut tidak pernah ada ( harusnya lebih lengkap sebab India mengklaim bahwa Mahabarata adalah karya aslinya ). Menurut sasmita yang penulis dapat saat bermalam dan bersemadhi di candi Bima dan Semar pada beberapa waktu yang lalu, bahwa peradaban Dieng lebih tua dibandingkan dengan peradaban Gunung Lawu, bahkan dahulu kala sudah menjadi tradisi peradaban Lawu berziarah ke Candi – candi Dieng. Hal ini kiranya tidak berlawanan dengan apa yang disebutkan dalam kitab Darmagandhul bahwa dikarenakan babad – babad asli ( kitab – kitab asli ) Tanah Dhawa Kuno telah hilang dibakar oleh para pendatang yang silih berganti, akhirnya Sunan Kalijaga pun berusaha melestarikan yang masih bisa diketahui dari sisa – sisa sejarah masa lampau itu dengan wayang. Begitu juga para Penguasa Mataram yang kemudian memerintahkan para pujangganya untuk menulis riwayat Babad Tanah Dhawa, akan tetapi karena babad yang asli benar – benar telah hilang, maka kitab – kitab baru dari pujangga – pujangga tersebut pun mau tidak mau berpedoman pada kitab lama yang masih ada ( tentunya bukan kitab Babad Asli Tanah Dhawa, melainkan kitab gubahan yang telah disesuaikan dengan penguasa / faham penguasa yang terakhir masuk di Jawa. Dengan paparan – paparan ini maka bisa kita ketahui dengan gamblang bahwa memang telah terjadi penjajahan Sejarah Asli Tanah dhawa NKRI oleh para pendatang yang berkuasa dengan cara mengubah babad asli dan menyesuaikannya dengan faham mereka. Fakta yang menguatkan mengenai hal ini juga terdapat dalam Pustaka Raja Purwa dan Babad Syekh Subakir. Pustaka Raja Purrwa mengatakan bahwa Tanah Dhawa belum ada manusianya saat Ajisaka datang ke Jawa ( Hangejawi ). Dialah yan berjasa mengisi Tanah Dhawa ini dengan manusia setelah sebelumnya dilakukan penumbalan terlebih dahulu karena tanah ini sangat angker dan penuh dengan lelembut. Babad Syekh Subakir berkata lain. Dalam babad ini diceritakan bahwa Syekh Subakirlah yang pertama kali masuk ke Jawa dan menumbal tanah ini ( tepatnya di gunung Tidar Magelang hingga bertemu dengan ratu lelembut yang bernama Semar. Setelah terjadi kesepakatan, barulah Syekh Subakir ini mengisi pulau Jawa dengan manusia dari Negara lain. Terlihat dalam dua babad tersebut betapa dua kepentingan kekuasaan dengan paham yang berlainan saling memperebutkan sebagai cikal bakal pengisi Tanah Dhawa. ( Ravie Ananda ).
20. Magiri si Manglarmanga, ing Gading si Puspasari, Katanggungan Kluntungwelah, Barengkelan Banaspati kang wasta Raden Dewi, ing Tengah pun Sabuk alu. Nagri Kedungerika awasta Sang Raja Putri, ing Bahrawa Baruklinting kang rumeksa,
Magiri ( Imogiri Yogyakarta ) si Manglarmanga, di Gading si Puspasari, Katanggungan Kluntungwelah, Barengkelan ( Brengkelan Porworejo ) Banaspati yang bernama Raden Dewi, di Tengah (Pangenjurutengah Purworejo ) ialah Sabuk alu. Nagri Kedungerika bernama Sang Raja Putri, di Bahrawa ( Ambarawa ) Baruklinting yang berkuasa, ( Ravie Ananda )
21. Si deleng ing Pamancingan, Guwa Langse Raden Dewi, ana dene Parangwedang Raden Ayu Jayengwesi, ngulon turut pasisir kulawarga Nyai Kidul sampun pepak sedaya, para ratuning dedemit sampun nglempak kang aneng ing tanah Jawa.
Si deleng di Pamancingan, Guwa Langse Raden Dewi, sedangkan Parangwedang Raden Ayu Jayengwesi, ke barat sepanjang pesisir keluarga Nyai Kidul sudah lengkap semua, para ratunya dedemit sudah terkumpul yang ada di tanah Jawa ( Ravie Ananda ).
Pelurusan Sejarah mengenai Nyai Roro Kidul
Masyarakat pada umumnya telah terbiasa dan terkondisi oleh pencitraan masa Islam bahwa Ratu Kidul adalah Nyai Roro Kidul. Pemahaman ini sangatlah keliru. Penulis akan menjelaskan sedikit riwayat mengenai dua tokoh tersebut.
Nyai Roro Kidul
Jaman dahulu kala, jauh sebelum adanya kerajaan Kediri, lelembut / mahluk halus di seluruh Nusantara dirajai oleh ratu yang juga asli lelembut yang bernama Nyai Ageng Rara Kidul yang singgasananya di tengah samudra pantai selatan.
Eyang Ratu Kidul
Pada masa kerajaan Kediri, seorang adik dari prabu Jayabaya ( putri ) yang menyandang cacad fisik diasingkan dari kerajaan di pantai selatan, tujuannya tidak lain agar mempercepat kematiannya. Akan tetapi, karena ia mempunyai darah luhur, di pantai selatan tersebut ia bertapa mati raga dalam waktu yang lama, hingga sampai pada suatu saat yang telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya dia moksha ( Rijalul Ghaib ) dan menjadi Manusia Bangsa Halus / Rijalulghaib / Siluman. Karena dayanya yang luar biasa ( dari badan kasar menjadi badan halus ) akhirnya ratu lelembut yang bernama Nyai Ageng Rara Kidul tersebut kalah daya dan kemudian jabatan ratu lelembut Nusantara beralih pada Eyang Ratu Kidul. Adapun Nyai Ageng Rara Kidul ( yang asli bangsa halus tadi ) kemudian menjadi patih dari Eyang Ratu Kidul.
Eyang Ratu Kidul sendiri diizinkan oleh Yang Maha Kuasa menjadi bangsa Halus, dimana dia ditugaskan untuk mengayomi seluruh manusia Tanah Dhawa yang masih menggunakan Jawanya ( Njawani ) agar tidak diganggu oleh bangsa halus dalam bentuk apapun. Adapun mengenai Eyang Ratu Kidul yang konon memiliki kamar khusus seperti di salah satu hotel di Bali dan beberapa tempat lain, sesungguhnya bukanlah Eyang Ratu Kidul, melainkan patihnya yang bernama Nyai Ageng Rara Kidul. ( Ravie Ananda ).
Dari beberapa pemaparan penulis, mengenai jati diri beberapa nama tokoh / Ratu lelembut yang disebutkan dalam kidung di atas, bisa disimpulkan bahwa Ratu – ratu Lelembut tersebut adalah nama tokoh manusia yang sebenarnya berkaitan erat dengan sejarah Tanah Dhawa RI, bukan sebagai sosok Ratu Bangsa Halus yang tidak memiliki kaitan apapun dengan sejarah dan cenderung bermakna negatif. Sayang sekali sejarah – sejarah keluhuran Tanah Dhawa NKRI yang melekat dalam tokoh – tokoh yang telah moksha tersebut kini ikut hilang ditelan bumi, seperti juga sejarah mengenai sosok Gajah Mada yang jatidiri dan keturunannya hingga kini masih terselubung misteri. Semoga sejarah yang hilang tersebut segera muncul kembali bersamaan dengan bangkitnya keluhuran Tanah Dhawa NKRI. Rahayu.
Salam Pancasila
Ravie Ananda
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
kelainan kaki pada balita
Ads orthoshop
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.