Saturday, July 23, 2011

Syahadah Cinta

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info
Senja ini, di antara syahdu
angin laut yang bernyanyi.
Seirama dengan tarian ombak
yang menggulung-gulung
memecah pantai. Menyusuri
buti-butir pasir yang kemilau
oleh mentari yang mengintip
malu dibalik tirai senja. Diiringi
panorama burung-burung yang
meliuk-liuk indah di angkasa.
Tenang, damai, mendengar
alam bernyanyi layaknya vokal
grup yang saling melengkapi.
Subhanallah. Maha Suci Allah
yang menciptakan alam
sedemikian indah ini. Dan aku
seakan-akan mendengar
mereka semua melantunkan
Surat Ar-Rahman berbisik
ditelingaku
“Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu
dustakan? Tuhan yang
memelihara kedua tempat
terbit matahari dan Tuhan yang
memelihara kedua tempat
terbenamnya. Maka nikmat
Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan? Dia
membiarkan dua lautan
mengalir yang keduanya
Kemudian bertemu, Antara
keduanya ada batas yang tidak
dilampaui masing-masing. Maka
nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?
Dari keduanya keluar mutiara
dan marjan. Maka nikmat
Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan? Dan
kepunyaanNya lah bahtera-
bahtera yang Tinggi layarnya di
lautan laksana gunung-gunung.
Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu
dustakan?” (QS. Ar-Rahman
[55] : 16-25)
Aku berdiri di tepian pantai.
Mataku tajam menatap lautan
yang membentang luas. Jiwaku
jadi kerdil. Betapa kecilnya diri
ini jika dibandingkan
makhlukNya yang lain. Apa lagi
jika dibanding dengan Dia yang
menciptakan ini semua.
Allahuakbar! Maha Besar Allah
dengan semua ciptaanNya.
Kilau mentari yang menghiasi
langit senja ini semakin indah
dan semakin meninggalkan
hari. Rasanya ingin berlama-
lama di bibir pantai ini.
Mentafakuri dan menikmati
ciptaanNya yang jarang sekali
aku lihat kecuali ketika aku
pulang ke Lampung.
“Gie...!!!” Teriak seseorang dari
arah belakangku yang sangat
aku kenal.
Endi namanya. Dia sahabat
dekatku. Dia yang pertama kali
mengajakku ke pantai ini ketika
aku pulang setahun yang lalu.
“Ya...!”
“Sudah jam 5 lewat ¼, balik
yu!”
Aku hanya tersenyum
menatapnya. Dia datang
menghampiriku dan merangkul
pundakku dengan akrab.
“Sudahlah! Allah pasti punya
rencana indah buatmu.”
“Aku percaya itu. Tapi...”
“Tapi apa? Aku nggak
mengenal Gie sahabatku yang
mudah lemah seperti ini. Aku
kenal Gie seperti dia menatap
setitik perahu yang jauh di
lautan luas sana.” Sambil
tangannya menunjuk kearah
perahu di tengah lautan. “Gie
yang fokus pada mimpi dan
tujuan-tujuan besarnya. Kamu
bukan Gie yang runtuh
semangatnya hanya karena satu
benturan. Perkara jodoh, Allah
berjanji akan memberikan yang
baik buat hamba-hambaNya
yang baik. Jadi ikhtiarmu dalam
mencari bidadarimu itu,
hanyalah dengan terus
berupaya memperbaiki diri
kawan.” Jawabnya tegas
berupaya mengingatkanku.
“Hemm... benar Ndi. Mungkin
memang belum saatnya aku
untuk menikah dalam waktu
dekat ini.”
“Kamu harus tahu apa yang
diinginkan bapak dan ibumu.
Dia ingin anaknya bisa selesai
S1-nya. Bisa mengejar mimpi
dan cita-citanya. Betapa
bangganya ibumu ketika ia
cerita padaku, kalau anak
pertamanya bisa melanjutkan
sekolahnya di perguruan tinggi
dengan biaya sendiri tanpa
harus membebani orang tua.
Pendidikan tinggi di kampung
kita itu barang langka Gie. Ibu
dan bapakmu bangga kamu
bisa menjadi harapan keluarga.
Lihat adikmu yang masih
sekolah. Kamu masih harus
membantu biaya sekolahnya.”
Cerita Endi padaku. Aku pun
tak sanggup menahan airmata
mendengarnya.
Tiba-tiba teringat wajah ibuku
yang terlihat lelah
membesarkan anaknya.
Teringat setiap kali aku pulang
ke rumah ia selalu mencium
kening dan pipiku. Teringat
wajah bapak yang mulai menua
dan berkurang produktifnya.
Aku tak sanggup lagi menahan
tangisku disaksikan laut,
mentari dan langit senja. Endi
mendekapku kencang. Ia
sangat tahu seperti apa
perasaanku.
“Maaf sobat! Aku hanya ingin
kamu menjadi setegar karang
yang diterpa ombak. Aku ingin
kamu seperti elang yang
terbang di angkasa sana yang
tak pernah surut untuk turun
meski angin kencang
menerpanya. Kamu pahlawan
buat keluargamu. Aku bangga
punya sahabat sepertimu.”
Lanjutnya membesarkan hatiku.
Aku sela air mataku, aku tatap
matanya, lalu kukatakan, “aku
juga bangga punya sahabat
sepertimu, yang sangat peduli
dan mengerti perasaan
sahabatnya”. Jawabku sambil
aku balas dekapannya.
“Kalau kamu bisa penuhi apa
yang orangtuamu inginkan dan
membuat mereka bangga,
jangankan satu. Empat
sekaliguspun mereka pasti akan
mengiyakan!”
“Ah.. bisa aja.” Sela ku. Aku
hanya tersenyum. “Ibu
sebenarnya sih mengizinkan
aku menikah. Tapi ya itu tadi,
betul katamu. Ibu khawatir
kuliahku berhenti ditengah
jalan. Dia ingin aku selesai
kuliah dulu.”
“Tapi kamu belum sampai jauh
dengan gadis itu kan?” Tanya
Endi.
“Maksudmu?”
“Eee... ee.. Nggak pacaran
kan?”
“Astagfirullah! Ya nggak Ndi!
Kamu kayak baru kenal aku
aja!” Tegasku sambil melotot.
“Maaf, maaf! Aku hanya
khawatir aja! Tapi dia tahu
perasaanmu?”
“Enggak!” jawabku sambil
menggelengkan kepala. “Cuma
kamu, Ibu dan Bapak yang tahu
tentang perasaanku ini! Dan
aku gak akan mengungkapkan
perasaanku ini kecuali dengan
wanita yang sah menjadi
istriku.” Tegasku.
“Dia akhwat teman satu
fakultas.” Lanjutku bercerita.
“Setiap kali kuliah aku pasti
ketemu dia. Entah dia duduk di
depan. Entah dia duduk di
belakang. Itu yang menyiksa
perasaanku. Aku coba fokus
pada pelajaran. Tapi tetap saja
aku gak bisa menghilangkan
perasaan ini. Aku coba untuk
rajin puasa. Bahkan puasa
daud. Bahkan aku sering
bangun malam. Menangis.
Mengadukan semuanya pada
Allah. Tetapi belum tampak
Allah memberikan jawabannya
padaku. Aku semakin disiksa
dengan perasaanku karena
setiap hari harus bertemu
dengan dia di kampus.”
“Ck.. ck.. ck..,” gerutu Endi
sambil menggelengkan kepala.
“Itu manusiawi Gie. Bukan
hanya kamu. Pemuda di
seluruh dunia juga pernah
merasakan apa yang kamu
rasakan. Allah sedang
mengujimu. Apakah kamu
sanggup menjaga kehormatan
dan kesucian dirimu, sampai
kamu sabar dan Allah
memberikan pertolonganNya.
Coba kamu sibukkan dirimu
dengan hal-hal yang positif dan
berusahalah pelan-pelan untuk
melupakannya.”
“Aku sudah coba dengan
memadatkan agenda dakwahku
di luar jam kerja dan jam
kuliahku. Tapi kalau setiap kali
kuliah ketemu dia gimana aku
bisa melupakannya? Apa aku
berhenti kuliah saja?”
“Gie...! Gie...! Baru aku bilang.
Ingat ibumu yang sangat ingin
kamu selesai S1. Coba setiap
kali kamu ingat dia, hadirkan
wajah ibumu. Perasaan itu
adalah fitrah manusia. Allah
sedang mengujimu. Kalau kamu
sabar untuk tetap menjaga
kesucian dirimu untuk tidak
terjerumus kepada hal-hal yang
Allah tidak ridhai, Allah pasti
akan memberikan
pertolonganNya padamu. Kamu
ingat firman Allah di surat Al-
Baqarah 153,
Hai orang-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu,
Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.
Astagfirullahaladzim, gumamku
dalam hati. Ya Allah ampuni
aku yang tidak bisa sabar
menghadapi ujianMu ini.
Aku peluk erat Endi, dan aku
katakan lirih ditelinganya.
“Benar Ndi! Terimakasih
nasehatmu. Kamu selalu
menguatkanku saat aku
lemah.”
“Aku sahabatmu Gie. Aku bisa
pahami itu.”
“Oya Gie,” endi melepaskan
pelukannya. “kalau seandainya
Ibu dan bapak merestuimu
untuk menikah. Apa gadis itu
juga suka sama kamu? Dan apa
dia mau sama kamu?”
Glek!
Aku terdiam beberapa detik.
“Iya juga. Apa dia mau sama
aku ya?”
“Nah, kalau dia mau sama
kamu, belum tentu juga siap
untuk nikah. Masalah lagi!”
Tambahnya lagi.
Aku diam terbengong.
Sepertinya ada burung gagak
yang menyambar kepalaku.
“Hehehe.. koq bengong! Nah
itu artinya kamu gak usah
terlalu dibawa perasaan. Kalau
itu juga gak jelas! Ya sudah!
“Sebentar lagi magrib, ke masjid
yuk!”
“Ayo” jawabku pendek.
Sepanjang perjalanan ke masjid
aku coba merenungi kata-kata
terakhirnya. Benar juga, kenapa
harus aku merasa tersiksa
dengan perasaanku. Aku juga
tidak tahu apa akhwat itu
bersedia menikah denganku.
***
Ba’da Magrib kami putuskan
untuk pulang. Kami membawa
kendaraan motor dari rumah.
Karena memang jarak pantai
beberapa kilo dari rumah. Aku
yang berada di depan
membawa motornya dan Endi
berada di belakang aku
bonceng.
Setelah selesai shalat magrib
dan sepanjang perjalanan aku
merasakan sesuatu yang aneh.
Seperti ada orang yang
membuntuti kami setelah
keluar dari masjid. Aku merasa
seperti punya janji terhadap
seseorang. Tetapi aku lupa janji
apa itu.
“Gie, kapan balik lagi ke
Tangerang?” tanya Endi coba
memecahkan keheningan di
perjalanan.
“Besok pagi. Insya Allah.”
“Berarti ini kebersamaan kita
yang terakhir?” Mimiknya
sedikit kecewa
“Insya Allah pasti kita ketemu
lagi.” Jawabku mencoba
mengobati kecewanya.
“Ndi, kamu liat orang yang naik
motor dibelakang kita nggak?
Kayaknya buntutin kita dari
tadi.”
“Yang mana? Nggak ada siapa-
siapa koq!” Tegas Endi sambil
memperhatikan kebelakang
“Liat di kaca spion. Pakaiannya
serba hitam.”
Sssiiittt...
Aku hentikan kendaraan dan
coba menoleh kebalakang. Dia,
pria berpakaian hitam itu juga
ikut berhenti dengan
kendaraannya. Hatiku menjadi
gelisah. Ada perasaan takut
yang tiba-tiba menghantuiku
begitu dahsyat.
“Gie, kamu lihat apa sih?”
“Lihat dibelakang kita.
Kendaraan itu juga ikut
berhenti. Sepertinya memang
ada sesuatu yang ia inginkan
dari kita.”
“Apa? Aku nggak lihat apa-apa
Gie?”
Aku tidak peduli apa tanggapan
Endi. Tapi aku merasa sangat
takut sekali. Aku tancap gas
dengan kecepatan yang tinggi!
Aku ucapkan kalimat tauhid
sepanjang perjalanan.
“Laa ilaha ilallah... Laa ilaha
ilallah”
“Gie.. Pelan-pelan!” Teriak Endi.
Aku tidak peduli dengan
teriakan Endi. Aku perhatikan
kaca spion, sepertinya dia
mengimbangi kecepatanku. Aku
tambah kecepatanku. Dia
semakin mendekat dibelakang.
Aku semakin takut tidak
karuan. Aku ambil kanan
mendahului beberapa
kendaraan. Sesampai
ditikungan, tiba-tiba muncul
truk Fuso dari arah
berlawanan. Dan aku tak dapat
menghindari truk-fuso itu
dengan kecepatan
kendaraanku yang tinggi.
Endi berteriak, “GIEE...!
AWAS...!”
Dan... DAR...!
Kendaraan kami menabrak truk
Fuso itu. Endi terlempar jauh,
dan aku terjatuh masuk
kedalam kolong Fuso itu.
SSS...!
Tubuhku terasa panas seperti
terbakar. Remuk seperti ada
yang meremas.
“Gie... gie..” samar-samar
terdengar suara Endi
memanggilku
HE... AH...! HE... AH...! HE...
AH...! Nafasku tersengal-sengal.
Tiba-tiba aku melihat sosok pria
yang membuntuti kami tadi. Dia
turun dari kendaraan dan
berjalan kearahku. Semakin
dekat. Semakin besar. Semakin
seram. Aku tak dapat melihat
wajahnya secara jelas. Aku
semakin takut. Aku tersadar
ternyata dia adalah Izrail.
Malaikat Maut. Dia
mendekatiku dan menggapai
tubuhku yang remuk.
Dan tiba-tiba, semuanya
menjadi gelap!
Kisah ini hanya fiktif semoga
ada hikmahnya.
Wallahu alam bi shawab.
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.