Thursday, December 5, 2013

Sastra Jawa Baru (Klasik)

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

Sastra Jawa Baru (Klasik)

Penggunaan Bahasa Jawa Baru (Klasik) kurang lebih muncul pada jaman kerajaan Kediri s/d Kerajaan Islam di Jawa, semakin berkembang saat Kerajaan Demak berkuasa. 
Berbeda dengan Sastra Jawa Kuna dan Sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan sastra lisan, Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra dalam bentuk lisan. Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama folklor setempat. Sastra Lisan ini sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sastra Jawa Baru sering disebut dengan Karya Sastr Klasik karena karya-karya pada era ini memiliki ketahanan eksistensi yang kurang dalam masyarakat, maksutnya karya-karya yang lahir di era ini tidak hilang namun juga tidak terkenal. Selama abad XVIII dan XIX dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar, termasuk di antaranya dua raja Surakarta: PB II dan IV, seorang pangeran, dan dua adipati dari Semarang (Margana, 2004: 133). Beberapa pujangga itu antara lain:
- Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
- Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
- Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara, seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
 
- Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 – 1844)
R.Ng. Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain, yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara. Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat Ramayana.
 
- Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret 1802 – 23 Desember 1873)
R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.

Hasil karya dari Sastra Jawa Baru (Klasik), dibagi seperti berikut:
  1. Serat Piwulang: sastra yang isinya lebih dominan tentang pelajaran/nasihat/pendidikan, munculnya sekitar jaman Mataram-Keraton Surakarta. Para pujangga berasal dari sastrawan keraton. Hasil Karyanya: Serat Cemporet, Serat Wulangreh, Serat Sunasunu, Serat Tripama, Serat Wedaraga, dan Serat Wulangputri.
  2. Serat Babad: sastra yang muncul dengan tujuan untuk menceritakan tentang munculnya suatu daerah/tempat. Hasil karyanya: Babad Mangir, Babad Tanah Jawi, dan Babad Demak.
  3. Sastra Pewayangan: Muncul pada masa Mataram Baru. Hasilnya: Serat Nawaruci, Serat Sudamala, Serat Sri Tanjung, Serat Kandha, Serat Begawan Ciptaning dan Serat Gathutkacawinisuda.
  4. Sastra Suluk: Suluk Linglung dan Suluk Hidayatjadi.
  5. Sastra Roman: memiliki dua bentuk yaitu prosa (Ngulandara, Rijanta dan Kinanthi) dan Syair (Centhini dan Safitri).
Rujukan:Buku Kalangwan Selayang Pandang  
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Baru


sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.