sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
kelainan kaki pada balita
Ads orthoshop
Yen sira kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, aja sira malah rumangsa pinter, jalaran menawa Gusti mundhut bali ngelmu kang marakake sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah bisa aji godhong jati aking.(Bila anda mendapat anugrah ilmu yang membuat banyak orang senang, janganlah kamu merasa pintar, sebab apabila Tuhan mengambil lagi ilmu yang menyebabkan anda terkenal itu, anda akan menjadi orang biasa lagi, malah lebih bermanfaat daun yang kering)
Wednesday, May 29, 2013
SEJARAH PAJAJARAN (1482 – 1579)
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
kelainan kaki pada balita
Ads orthoshop
1. Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah.
Bila rasa persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah
dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk
Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh
serempak, melainkan berangsur-angsur.
Telah dikemukakan bahwa
keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 tahta
Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang
beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan
Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan
iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana.
Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat
diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan
sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 – 895) dibunuh oleh
seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu,
tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang
akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat
pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya.
Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan
sewaktu-waktu oleh iring-iringan rom an raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati
berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya
berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan
ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja
ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah,
kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di
Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Proses kepindahan
seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh
positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara
Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas
Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu “orang air”, sedang
orang Sunda “Orang Gunung”. Yang satu memiliki “mitos buaya”, yang lain
“mitos harimau”.
Di daerah Ciamis dan
Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban. Tempat
yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan
(nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus “dilarung”
(dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan
banyak sekali “sisa-sisa” tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah.
Tradisi “nerebkeun” di sebelah timur dan tradisi “ngurebkeun” di sebelah
barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah
meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu “Orang Air” dengan
“Orang Gunung” itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh
dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet).
Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala
lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan
sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di
kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Dalam abad ke-14
sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam
pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka
Paratwan i Bgumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan
oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya,
Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena
Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh
berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
2. Peran bergeser ke timur.
Dalam abad ke-14 di
timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan
Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya
strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan
Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali.
Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa
dengan Kawali).
Sebenarnya gejala
pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa
pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan
ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat
pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan
sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu
Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya
bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan
Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga
3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia
berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera
Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden
Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Karena Jayadarma wafat
dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan.
Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah
Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian
menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian
Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di
Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci,
Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara
Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara.
Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa
wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di
Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303
sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia
dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata,
putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti,
menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di
Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana.
Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah
pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama
Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja
Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu
ditegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan
keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu
hurip” (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau
Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang
gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat,
usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris
kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan
kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu
Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam
Babad Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki
Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung).
Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan di
jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana
dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun.
Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari
perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi
Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah
Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari
perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah
menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Wastu Kancana
wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa
Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah
membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata, putera
Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng
Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini
adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Subanglarang ini
keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita
muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura
di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana.
Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif
Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata
mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal.
Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.
3. Ibukota kembali ke Pakuan.
Kejatuhan Prabu
Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi
jalan sejarah di Jawa Barat. Rom an pengungsi dari kerabat keraton
Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang
diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia
diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan
dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang
isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja
daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah
seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita
Parahiyangan disebutkan “estri larangan ti kaluaran”. Sejak peristiwa
Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton
Majapahit. Selain itu, menurut “perundang-undangan” waktu itu, seorang
wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain
kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa
Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa
besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja
Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan
Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua
raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu
Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya
Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan
Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).
Dengan peristiwa yang
terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali
dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan
sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan
pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi
pusat pemerintahan.
B. Raja-raja Pajajaran.
1. Sri Baduga Maharaja.
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu
Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada masa
inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti
Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang
pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa
Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua
ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal.
Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan
dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi”
selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rom an
raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri
Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi
sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis
tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan.
Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai
kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu
Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama.
orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka
juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia
dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa
Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
“Kawalya ta wwang Sunda
lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta
Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.
Waktu mudanya Sri
Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan
satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu
bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang
beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada
kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di
Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu,
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang
Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih
yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
“Di medan perang Bubat
ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai
ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan
dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi
pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang
jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua
pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa
mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh
bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di
pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang
Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga,
menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh
karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu
Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.
Kesenjangan antara
pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan
di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab
penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah
Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya
(“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga,
yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak
memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai
putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita
Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu”
Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini
disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini
tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut
Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga
(Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan
Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana
sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian,
seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai
“silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran
Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu
Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Adakah diantara
rekan-rekan yang bisa bercerita lebih jauh tentang peritiwa Bubat? Saya
hanya dapat sekilas info dari Suaramerdeka yang menerangkan sbb.:
“Perang antara Kerajaan
Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini
dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan
Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit
sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah
Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rom an Kerajaan Sunda ini di
gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan
Kerajaan Sunda yang ikut rom an punah. Akibat perang Bubat inipula, maka
hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi
renggang”.
Ada sebuah pustaka yang
bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak
sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit
dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara
misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya
ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. Dan bagi yang tinggal di USA, pustaka
ini bisa dipinjam di Ohio University. Di Jerman mah masih gelap — belum
diketahui).
Proses kepindahan
isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama
Kai Raga di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam a
pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan ditulis pada
akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Naskah itu dapat ditemukan pada
Koropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut(terjemahannya saja):
Tersebutlah Ngabetkasih
bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu yang seia
dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman
cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas
permata rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton
penenang hidup.
Bergerak barisan depan
disusul yang kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan
tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan
perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan.
Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran langit berpuncak
permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap singa-singaan di
sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak getas yang
bertiang berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang langkahnya terkedip sambil
menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya tingkahnya seperti semut
beralih.
Bergerak seperti
pematang cahaya melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa gendi
di belakang pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah siapa diusun di singa barong.
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.
Yang dikisahkan dalam
pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri Baduga yang
pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga
dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama
isteri-isteri Sri Baduga yang lain.
Tindakan pertama yang
diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui
ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri
Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini
tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada
Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di
Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di
Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.
Maka diperintahkan
kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah
yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran.
Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini
disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk
kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak
tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang”
(kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630,
urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus
reuma”.
Dalam koropak 406
disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut)
harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1
timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan
tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat
secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
“Pare dondang” disebut
“panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma
tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat
(turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan
karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa
setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur”
persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan
pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai,
waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun).
Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan
atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres
reuma” ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar
hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit
disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus
dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan,
berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di
“serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi
upacara resmi).
Dalam kropak 630
disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado
atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa
dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di
negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk
“rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah
milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi
“Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung)
yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air,
jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan
apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan.
“Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam
paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19
bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa.
Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari
sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda”
(bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa
pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu
bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk
menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi “gotong royong
tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala
desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional,
tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka
Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara
dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri
Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya.
Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas
“kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai
“lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan.
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
“Purbatisi purbajati,
mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul
kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja
loba di sanghiyang siksa”.
(Ajaran dari leluhur
dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan
timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak
yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat
diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang
beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut
“loba” (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu
mencari yang baru.
Naskah ini
menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun
1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya
di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri
Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran
Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa
Barat)
Ketika itu Sri Baduga
baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa).
Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada
di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan
Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya
beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar.
Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu
membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah
oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon
adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki
Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa
(Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga
(sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri
Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih
cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima
oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi
yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi
kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit
pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat,
tetapi lemah di laut.
Menurut sumber
Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut,
Pajajaran hanya memiliki enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan beberaa
lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu
perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang
ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan
putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang
dijodohkan,yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Sabrang Lor
alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati
Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk
sementara berada di Cirebon.
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun
1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Portugis Alfonsi d’Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut
Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan
pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan
Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena
masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara
Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang
melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang
hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan
Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah
seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga
anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja
Sangara — diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak
berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat
mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan).
Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The
Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda
diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan
Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar =
3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk
mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga
Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang
ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih
menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan
(kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang
kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman
Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja
alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut
Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521).
Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena
ia dipusarakan di Rancamaya.
Melihat itu, jelas,
bagaimana Rancamaya — terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota
Bogor – memiliki nilai khusus bagi orang Sunda. Rancamaya
memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya
ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7,5 m
tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah
lingkaran. Dekat makam itu terdapat pohon hampelas, patung badak
setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa ini seluruh
situs sudah “dihancurkan” orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu,
pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya
sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan
bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang
dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini
mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai makam wali. Kejadian ini sama
seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di
Kebun Raya yang “dijual” orang sebagai “makam Raja Galuh”.
Telaga yang ada di
Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan
kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno,
penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena
Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). “Talaga” (Sangsakerta “tadaga”)
mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam
bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan
adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan.
Bila diteliti keadaan
sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang
dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara
jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong.
Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu
bersambung dengan kaki bukit.
Bukit Badigul
memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit
itu hampir “gersang” dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti
“katel” (wajan) terbalik. Bukit-bukit di sekitarnya tampak subur.
Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini
dulu “dikerok” sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu
tanah suburnya habis.
Badigul kemungkinan
waktu itu dijadikan “bukit punden” (bukit pemujaan) yaitu bukit tempat
berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang = tabur bunga).
Kemungkinan yang dimaksud dalam “rajah Waruga Pakuan” dengan Sanghiyang
Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan telaga dengan
bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta
para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di
Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan
Indraprahasta (di Cire irang). Setelah bermandi- mandi suci, raja
melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh.
2. Surawisesa (1521 – 1535)
Pengganti Sri Baduga
Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu
Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan
“kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani).
Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian
penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2
dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya
menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia
pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah
kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh
Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan
utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke
Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara
Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini
dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu)
Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522.
Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber
Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze
overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij
een behield”.
Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa.
Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang
harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak
Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan
menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan
sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran –
Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka,
pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis
yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi
pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka
jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak
terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan
Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
[Fadillah Khan
memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun
menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan
demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu
Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung
keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah
adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu
Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab
buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel
sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut
Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk
Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan
Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2
menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase)
terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya)
dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap
Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru
muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita
Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah
1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda.
Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang
ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan
pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten
beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian
diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526).
Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan
merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para
menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari
Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak
pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang
terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng
diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda
dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan
berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena
armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun
1527.
Ekspedisi ke Sunda
bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten
sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527
dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun
De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho)
yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat
mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai
dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang
berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan
diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk
melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang
menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di
ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga
wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar.
Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya
berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji
Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan
demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di
Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon
sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat
kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon
pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon –
Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke
darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak
hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur
pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh
terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan
Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat
pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi
“panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara
seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah
mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian
jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Dengan kedudukan yang
mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu,
karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa,
maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui
kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara
Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai
negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian,
Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin
(Bupati banten).
Perjanjian damai dengan
Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam
negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia
berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari
ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara
yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000
orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu
mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti
itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan
Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat
terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan
penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah
Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12
tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat
ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan
oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya
di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu
ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak
dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan
tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri
tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu
diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak
menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di
depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang
lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis
itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang
dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma
orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia
materi.
Surawisesa dalam kisah
tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding
Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung
Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang.
Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang
kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Surawisesa memerintah
selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai
sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara
raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan
kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad
Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru
Gantangan) dengan a cerita Panji.
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
Surawisesa digantikan
oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal
sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata
sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat
khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan
dan minum susu. Menurut istilah kiwari vegetarian.
Resminya perjanjian
perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa
bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal
seluk-beluk politik.
Hasanudin dari Banten
sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon,
akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat
ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di
sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan
perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan
Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa
identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten
dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18
dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh
Yusuf.
Menurut Carita
Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan
mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal
asal-usulnya).
Ratu Dewata masih
beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya
dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini
masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan
benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten
(dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan.
[Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan
pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang
diwariskan kepada cucunya.
Penyerang tidak
berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran
gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng
Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi
raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha
membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah
berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan
pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas
pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara
Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
"Sang Maharaja membuat
karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya,
membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri,
memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta
dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi
penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat
isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang,
memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan
menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan
(memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit"
(memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai
arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan
bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan
dalam arti ibukota.
Selain hal di atas,
juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau
lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte").
Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan
berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh
bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah
dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum
masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya
terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane
dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
{Tipe lemah duwur
biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma
(ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan
pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda
ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar
belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal
untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai
dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan
corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua
persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut
idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang
selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang
dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang
yang sekarang.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak
ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang
dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang
dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang
alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat
karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang
dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh
kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu
Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita
Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis
kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena
ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar
pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raja Pajajaran keempat
adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata
yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan
lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak
rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta
benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama
sekali.
Kemudian raja ini
melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini
“estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan).
Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu
bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin
dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan
Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
Nilakendra atau Tohaan
di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat
itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda
segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani
“Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi
serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu).
Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan
kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi
kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja
beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini
mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai
kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di
sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu,
digunakan minuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak.
(Karena terlalu lama
raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal
makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra
malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu
(“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah
keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam
kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang
harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat
sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah
yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya
dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya.
Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih
ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman
dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku
Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan
Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang
tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf.
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih
hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat
itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya
berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata
Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Raja Pajajaran yang
terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam
naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu
Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari,
Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan)
Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes
pada lereng Gunung Palasari.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten
memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan
penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
“Waktu keberangkatan
itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.
Walaupun tahun Alief
baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun
dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan
jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode
itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari
naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan
baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal
benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan
pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan
Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke
dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya
itu.
Kisah itu mungkin benar
mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya
benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja
selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus
untuk menembusnya.
Dan berakhirlah jaman
Pajajaran (1482 – 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke
Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160
x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu
itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua,
dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan
Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
“Sang Susuktunggal
inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
(Sang Susuktunggal
ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja
ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu
Dewata).
Kata Palangka secara
umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam
hal ini adalah tahta penobatanyaitu tempat duduk khusus yang hanya
digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah si (calon)
raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di
kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta
itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti
ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang
(bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu
pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang
di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang
Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang
dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan
Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman
Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu
gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya
dengan kata sriman.
http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/sejarah-pajajaran/
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
kelainan kaki pada balita
Ads orthoshop
Labels:
Sejarah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.