Bagi si penelurus cerita rakyat, cerita kuno Kebokicak yang
telah berkembang menjadi cerita tutur di wilayah Jombang bukanlah
perkara gampang untuk dibabar-tuliskan. Satu sisi “sang cerita” telah
menempat terutama pada ingatan orang-orang sepuh, dan hal itu sangat
memungkinkan untuk terceritakan kembali pada orang lain, pada generasi
selanjutnya. Satu kesulitan lain adalah cerita tersebut hingga saat ini
tak tertuliskan, atau seandainya sudah ada yang menuliskannya, kita
belum mengetahuinya. Artinya dalam konteks filologis adakah manuskrip
ihwal cerita Kebokicak nyata-nyata tertemukan dan memiliki jarak masa
tertentu sebagaimana yang secara akademis memenuhi persyaratan sebagai
sumber keilmuan yang otentik dan akurat, misalnya naskah tersebut telah
diserat oleh seorang pujangga di masa lampau, mungkin masanya bisa
seratusan tahun silam, dan karenanya jika memang itu ada dapatlah
dijadikan rujukan.
Maka yang fiksi dan yang fakta atas nama sebuah cerita, untuk
sementara, kita posisikan dulu cerita Kebokicak itu di tengah-tengahnya.
Boleh jadi cerita ini adalah dongeng, dan dongeng merupakan jalinan
pengisahan dari masa ke masa yang berfungsi sebagai klangenan atau
penandaan dari ritus sosial dan muasal lokus yang melatarinya.
Terkait itu, satu gerakan literasi dalam bentuk pelacakan cerita
Kebokicak yang dilakukan mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2007,
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, patut diapresiasi. Mereka melakukan
penelusuran ke berbagai narasumber di Jombang, untuk selanjutnya
dibukukan dengan judul Kebokicak Karang Kejambon (Saduran Cerita Rakyat Jombang).
Ada 13 versi cerita Kebokicak di sini yang tidak mengisahkan secara keseluruhan, namun dalam bentuk fragmen atau petilan:
1. Kebokicak Karang Kejambon
(Versi Ketoprak). Narasumber: Ki Waras, usia 56 tahun, pimpinan
ketoprak dan campursari dari Kedung Doro, Kecamatan Tembelang.
2. Hitam Tidak Menutup Putih
(Kemenangan Surontanu), narasumber: Mohammad Kosim, 80 tahun, pemain
ketoprak dari Dusun Tengaran RT 1/RW 1, Desa Tengaran, Kecamatan
Peterongan.
3. Desa Randu Watang. Narasumber: Ponari, 58 tahun, tokoh masyarakat dari Dusun Dero, Desa Kedung Betik, Kecamatan Kesamben.
4. Mati Satu, Harus Mati Semua
(Mukti Siji Mukti Kabeh). Narasumber: Ki Harya Yahmad Hadi Pranoto, 58
tahun, seorang dukun dari Desa Brangkal, Kecamatan Bandar Kedung Mulyo.
5. Relikui Kebokicak Mosaik Jombang. Narasumber: Pariyadi, 64
tahun, seniman ludruk dari Gudo, dan Mbah Nur, 66 tahun, seorang guru
spiritual dan pemuka agama Hindu dari Jl. Kandangan 24, Dusun Ngepeh,
Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro.
6. Telatah Surontanu. Narasumber: Purwito, 57 tahun, ia mengaku sebagai keturunan ke-4 Surontanu yang tinggal di Dusun Sumonyono, Desa Cukir.
7. Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon). Narasumber: Sukono, 58 tahun, Jl. Mojoanyar Gang 7, Bareng.
8. Banteng Tracak Kencana. Narasumber: Jamadi, 80 tahun, Desa Sumber Nangka, Kecamatan Tunggorono.
9. Legenda Jombang
(Pertarungan Kebokicak Surontanu). Narasumber: Ngaidi Wibowo, 63 tahun,
lahir 10 Oktober 1947, Desa Dukuh Klopo, Kecamatan Peterongan.
10. Kebokicak Karang Kejambon.
11. Napak Tilas Joko Tulus. Narasumber: Abdul Hafidz, 80 tahun, tokoh masyarakat Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang.
12. Perebutan Kidang Tracak Kencana.
Narasumber: Katijan, 70 tahun, ia adalah seorang dalang, guru karawitan
dan guru sinden, tinggal di Jombatan Blok O No. 19, Kecamatan Jombang.
13. Dewi Mangurin dan Joko Tulus. Narasumber: Saleh, 81 tahun, di Desa Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang.
Dari semua petilan cerita Kebokicak di dalam buku tersebut
menghadirkan corak yang berbeda-beda. Ada beberapa yang singkron. Ada
juga yang untuk sementara perlu diperjelas manakah pakem atau cerita
baku dari keseluruhan cerita Kebokicak. Sebab tak ada otoritas yang bisa
dikatakan ini yang sah atau pun itu yang pakem dari kisah Kebokicak
ini. Kiranya perlu pula upaya penulisan cerita ini terus dieksplorasi
lebih dalam, konprehensif, dan bagaimana memilih informan yang
benar-benar tepat yang selanjutnya data-data wawancara tersebut paling
tidak mendekati pada semacam keselarasan dan “satu arus” yang merujuk
pada kisahan Kebokicak yang akurat dan yang sebenarnya. Ini menjadi
penting untuk pengembangan penelitian ke depan.
Jika merujuk pada penelitian skripsi yang dilakukan oleh Puspita Indriani, mahasiwa Unesa, dengan judul Pengaruh Cerita Rakyat Kebokicak Karang Kejambon Terhadap Masyarakat Pendukungnya
(2003), menyebutkan bahwa versi cerita Kebokicak dibagi menjadi dua.
Pertama versi abangan, dan yang kedua versi santri. Versi pertama
menitik-beratkan pada masa kerajaan Majapahit saat rajanya adalah
Brawijaya V. Yang kedua, versi santri yang menyiratkan masa Brawijaya V
juga, namun anasir pesantren di daerah yang kini disebut Tebuireng itu
dimunculkan dan menjadi lokus sentral.
Selain kita bisa membaca dan menilai dari 13 cerita tersebut, saya
ingin melongok sisi lain dalam versi santri serta selubung silsilahnya
dan cerita Kebokicak yang sudah pernah ditulis dalam bahasa Jombangan
(ludrukan) oleh tokoh ludruk Jombang, Ngaidi Wibowo.
Pada kisaran akhir 2008, saya melakukan wawancara
perihal cerita Kebokicak dengan Kiai Hafidz dari Dapur Kejambon. Tuturan
kiai ini saya susun demikian:
Tersebutlah sosok yang bernama Ki Nur Khotib, ia adalah menantu
Kebokicak yang kala itu menjadi demang Karang Kejambon, yang ditunjuk
oleh kerajaan Majapahit. Istri Ki Nur Khotib adalah putri Kebokicak,
namanya Wandan Manguri. Wandan Manguri ini merupakan cucu dari Brawijaya
V dari istri Wandan Kuning. Wandan Kuning memiliki 2 anak. Yang pertama
yakni Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng. Yang kedua adalah Wandan
Wangi. Semenjak Wandan Kuning mengandung jabang bayi berupa Wandan
Wangi, Brawijaya V sebagai suaminya menyerahkan istrinya tersebut kepada
Mbah Pranggan di daerah Karang Kejambon. Ketika Wandan Wangi dewasa
dikawinkanlah ia dengan Demang Kebokicak. Maka, Kebokicak merupakan
menantu dari Brawijaya V. Mbah Pranggan adalah bapak tiri Wandan Wangi,
dan Kebokicak adalah mantu tirinya (silsilah ini atas anjuran Kiai
Hafidz perlu ditaskhihkan kepada Kiai Jamal di Ponpes Al-Mihibbin Tambak
Beras Jombang, di mana beliau dianggap memiliki rekam-jejak yang baik
terkait itu).
Kiai Muchtar konon berasal dari Banyuarang, Ngoro. Ia memiliki
putra bernama Kiai Nur Khotib. Kiai Nur Khotib kemudian berhijrah ke
Gembong Lekok, Pasuruan, dan dimakamkan di sana. Ia memiliki 2 putra:
pertama Mbah Suropati atau Mbah Angklung. Yang kedua adalah Mbah Ali.
Mbah Ali memiliki putri bernama Rubaniyah yang diperistri oleh santri
pondok pesantren Mimbar dari Sambong yang bernama Nuruddin asal Sendang
Duwur, Lamongan. Nuruddin dimakamkan di Desa Banggle, dan nama makamnya
dikenal dengan sebutan Makam Mbah Surgi. Putra kedua Mbah Ali adalah
Kiai Umar di Kapos. Mbah Ali wafat di Mekah sewaktu menjalankan ibadah
haji bersama 4 putranya. Pulang dari Mekah tinggal 3 orang anak: Mbah
Kiai Zen, Mbah Kiai Idris, dan Mbah Kiai Abdullah. Kiai Ali konon
merupakan syekh pertama dari Jawa Timur. Menurut cerita tersebar, putra
Kiai Umar adalah Kiai Farhan, dan Kiai Farhan adalah kakek Kiai Hafidz.
Baiklah, sekarang, saya coba memasuki cerita Kebokicak
dari versi ludruk yang pernah dipentaskan dan disutradarai oleh Kiai
Farhan, Pak Ngaidi Wibowo, dan beberapa sutradara ludruk lainnya pada
tahun 1970-an. Pada pengujung 2008, saya melakukan wawancara untuk
penulisan Sejarah Ludruk Jombang, saya menyambangi Carik Karsono di
Dusun Jalinan. Ia adalah tokoh gaek Ludruk Kopasgat yang pernah jaya di
tahun 1980-an. Sudah lama ia meludruk bahkan sebelum Gestok 1965. Ketika
itu ia sempat bercerita sekelumit tentang lakon Kebokicak yang pernah
diludrukkan. Pada dan dari orang lain, adalah Agus Gundul, ia tak lain
adalah putra Carik Karsono. Pada malam yang sama, setelah saya tak bisa
secara lengkap mewawancarai Carik Karsono karena sesuatu hal, maka saya
teruskan ngobrol “saut manuk” (tentang apa saja) dengan Agus Gundul. Ia
menceritakan bahwa bapaknya memiliki manuskrip Kebokicak atau sebut saja
serat Kebokicak. Nama penyeratnya tidak diketahui. Carik Karsono tidak
pernah menunjukkan padanya, hanya menceritakannya. “Serat” itu
dianggapnya gaib, karena kadang muncul, kadang menghilang sendiri. Jadi,
ada kesan klenik dari potongan cerita ini. Tapi abaikan saja untuk
sementara.
Mari kita tengok apa yang ditulis Ngaidi Wibowo sebagai sutradara
ludruk yang menurutnya pernah sampai 2 atau 3 kali mementaskan lakon
Kebokicak dan ternyata berhasil. Mitos membuktikan, bahwa ada beberapa
grup ludruk yang tidak mencukupi syarat-syarat sesajen saat
memanggungkan lakon Kebokicak, maka terkenalah mereka bala atau bencana.
Jelas tanggapan ludrukannya bubrah, karena ada 1 atau 2 penonton atau
pemainnya yang kerasukan entah oleh dedemit atau arwah Kebokicak.
Nah, Pak Ngaidi ini kira-kira mulai menulis sekitar tahun 2000-an.
Terbilang sangat jarang orang ludruk mampu meluangkan waktu untuk
menulis, selain rendahnya tingkat pendidikan mereka. Cerita Kebokicak
yang ditulisnya tersebut terdiri dari 31 adegan. Adegan di sini
dimaksudkan sebagai tulisan lakon ludruk yang dinarasikan, bukan yang
telah dihafal terutama maupun oleh para pemainnya, yang kemudian antar
pemain ini sudah tahu spelan (urutan dialog apa dan dengan siapa)-nya. Saya cuplikkan 2 adegan dari naskah Pak Ngaidi:
Adegan I
Amiluhur Lembu Peteng nrimo wisik soko Hang Murbeng Dumadi. Sak
gugure Tumenggung Surono ilang ono Brantas Mojopait perbatasan Kediri.
Koyo-koyo Mojopait sisih kulon kocak lan goncang. Akeh poro penduduk
sing podo wedi lan ngungsi. Lan wisik sing ditrimo Lembu Peteng iku
nyoto tur bener, ning nyatane sak wetane Brantas Mojopait ono sorot
utowo ndaru rutuh kang warnane ijo lan abang tumibo ono alas Mojopait
kang sisih kulon. Mulo Gusti Lembu Peteng nugasno lan mertopo ono nggone
ndaru kang tumibo ono ing kunu.
Adegan 19
Ladang. Surontanu bebedak bawa Banteng Tracak Kencono ono
alas kidul wilayah Mojopait ing kunu ketemu Kebokicak sing dikawal poro
prajurit Mojopait. Terus Kebokicak ndangu adine Surontanu Adiku Di
Surontanu suweh anggonku ngupadi marang kuwe Di sak metune soko dempokan
aku kaprentah Bopo Guru Sopoyono toleki kuwe Di mung butue aku diutus
nyuwun utowo njaluk ameng-amengmu yo Banteng Tracak Kencono minongko
kanggo kekah lan digawe tumbal ono Dempok Cukir yo Tebuireng.
Critane ganti. Surontanu nyambung. Kakangmas Kebokicak
kulo mboten bakal mulungaken Banteng Tracak Kencono ten sinten kemawon
senajan toh Bopo Guru piambak engkang nyuwun. Sebab kulo sampun sumpah
kaliyan Banteng Tracak Kencono mati Surontanu mati Banteng Tracak
Kencono saboyo urip lan saboyo pati. Mulo Kakangmas Kebokicak kulo
mboten saget pisah serambut kalian ameng-ameng kulo.
Kebokicak ndangak, langsung nyambung. Adi Surontanu
berarti kuwe ora mesakake kawulo ing dempokane Bopo Guru Sopoyono. Mulo
Adimas Surontanu, Banteng Tracak Kencono iku kewan wis jamak digawe
lumprah nek kenek digawe kekah ono dempok Tebuireng kunu lan kanggo
tumbale pedempokane kuwe lan aku. Mulo Adi Surontanu oleh tak jaluk ora
oleh tetep tak suwun Banteng Tracak Kencono.
Surontanu ngadek sambil nyandak keluane Banteng Tracak Kencono, baru nyambung. Kakangmas Kebokicak ing ngarep aku wis ngomong sopo wae njaluk banteng ameng-amengku iki ora bakal tak wulungake.
Kebokicak ngadek samujajar marang adine Surontanu sambil ngomong keras sampek dadekno geger.
Hee, adiku Surontanu jelas kuwe ora mesak ake sedulurmu seng ono
padempokan kono. Mulo dino iki Banteng Tracak Kencono oleh tak jaluk ora
oleh bakal tak rebut. Akhirnya geger Surontanu lan Kebokicak. Surontanu
kasoran yudo Banteng Tracak Kencono disaut digowo mlayu lan playune
Surontanu ngalor nyasak tanduran parine wong karang perdesan. Perjalanan
Kebokicak mbujung lakune Surontanu. Kebokicak bengok kanti Bende
Tengoro ing kunu ngrapal Aji Begandan. Kebokicak ngerti playune
Surontanu. Ehladalah, playune Surontanu ndadak nyasak parine wong karang
perdesan. Ngertenono prajurit Mojopait lan wong karang perdesan kene
iki besok keno diarani Deso Parimono kaseksanan bumi lan langit, suket
lan gegodongan. Kebokicak langsung mbujung lakune Surontanu.
Ganti perjalanan Surontanu. Ing alas kunu Surontanu ape
gawe delikan. Ben ora dingerteni marang Kakang Kebokicak. Ing alas kunu
ono uwit mojo sing cacahe songo. Surontanu urung sampek klakon gawe
plindungan tiba-tiba Kebokicak dikawal prajurit Mojopait lan Surontanu
siap mentang panah. Busur panah diluncurno arepe manah Kebokicak. Ning
nyatane keno prajurit Mojopait sing cacahe songo nemoni praloyo pati.
Terus Surontanu mlayu ngulon tolek dedelikan kanggo nylametno Banteng
Tracak Kencono.
Lari. Sak mlayune Surontanu, Kebokicak tambah ngamuk,
eleng-eleng prajurit seng ngawal Kebokicak cacahe songo mati keno panahe
Surontanu. Kebokicak langsung ngomong marang sesah prajurit sing ngawal
pati, hee, prajurit sing ngawal aku kabeh ngertenono kanggo tetenger
besok rejane jaman papan kene kenek diarani Deso Mojo Songo. Mulo
prajurit saksenono. Sabanjure Kebokicak jenengake deso langsung bujung
lakune Surontanu lan Banteng Tracak Kencono.
Dua penggalan adegan di atas selanjutnya dalam tilikan sastra tutur
maupun sastra tulis menjadi rangkain plot dan konflik dari cerita geger
Kebokicak memburu Surontanu. Dari versi santri, diceritakan bahwa
tersebutlah nama Padepokan Pancuran Cukir yang kala itu diserang
pagebluk. Guru sepuh padepokan itu, Ki Ageng Sopoyono, dapat wangsit
berupa bahwa untuk mengatasi wabah itu satu-satunya cara adalah dengan
menumbalinya dengan hewan berbulu putih. Ki Ageng Sopoyono memiliki dua
murid: Ki Ageng Buwono dan Ki Ageng Pranggang. Ki Ageng Buwono memiliki
anak perempuan bernama Wandan Manguri yang dikawin oleh Pamulang Jagad.
Dari keduanya lahirlah Joko Tulus alias Kebokicak. Sementara Ki Ageng
Pranggang punya putri bernama Niluh Padmi yang bersuamikan Tumenggung
Surono. Dari keduanya lahirlah Joko Sendang atau Surontanu. Dari
peristiwa pagebluk itu, kemudian Surontanu atau Joko Sendang ditugaskan
untuk mengatasinya. Namun ia tidak bisa. Ia hanya dapat seekor banteng
yang bisa tata jalma (dapat berbicara). Banteng ini bernama
Banteng Tracak Kencana yang tubuhnya disusupi dua siluman Lirih Boyo
dan Bantang Boyo. Karena Surontanu tidak mau menyerahkan Banteng Tracak
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.