Sakderengipun, Matur Sembah Nuwun Kagem : Dwiyasmono Staff pengajar jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
A. Pendahuluan
Keberadaan pustaka langka atau manuskrip tari jawa sampai
dewasa ini masih dipandang sebelah mata oleh para pelaku budaya
di masyarakat. Para ilmuwan dan penelitipun tidak banyak yang
tertarik pada masalah ini, hanya para peneliti yang mempunyai
dasar budaya Jawa yang mau menggeluti masalah ini. Hal ini
karena ada pemikiran bahwa sumber-sumber tersebut dianggap
telah ketinggalan jaman. Masyarakat pelaku budaya sekarang
cenderung lebih suka mengungkap beberapa masalah yang menjadi
mode/trend di masyarakat. Pustaka langka/manuskrip yang ada
tersebut mengandung nilai-nilai adiluhung. Beberapa pustaka
langka tersebut salah satunya adalah Serat Wedhataya. Pustaka
tersebut banyak mengungkap tentang seni tari Jawa gaya
Surakarta terutama menyoroti tentang konsep-konsep dan makna
filosofinya.
Penyusunan telaah pustaka dan manuskrip langka dalam hal
ini adalah Serat Wedhataya, yang masih berbentuk manuskrip
huruf Jawa kuno. Serat Wedhataya, menurut perkumpulan
Yogyataya, di Surakarta Hadiningrat adalah mencari makna dan
mengira-ira perihal cara membawakan tari Wireng Kuna. Karangan
ini disusun oleh murid-murid yang belum sempurna
pengetahuannya, sekedar untuk membukukan konsep-konsep tari,
jenis-jenis tari atau macam-macam tari yang diajarkan.
B. Analisa Bentuk dan Makna Sebelas Tarian dalam
Serat Wedhataya
Salah satu dari sedikit penjelasan tentang arti tari klasik
menurut orang Jawa, terdapat di dalam manuskrip dari awal abad
kedua puluh, yang berjudul Serat Wedhataya, ‘risalah (suci)
tentang seni tari. Anak judul risalah ini ialah: tegesipun piwulang
joged utawi piwulang mendhet suraosipun beksan wireng kina, ‘ arti
pelajaran tari, atau pelajaran mengambil makna dari tari
keprajuritan kuno’. Risalah ini dimulai dengan kalimat-kalimat
sebagai berikut:
‘Pakempalan Yogyataya, ing Surakarta Hadiningrat,
pangrehipun damel karangan serat dipun namekaken ‘Serat
Wedhataya’, gancaripun anyuraos saha anggrayangi solah
iraganipun beksa wireng kina, kapendhetan sagadukipun larelare
ingkang dereng sampurna pamawasipun, inggih namung
luwung kanggi panyatheting pamanggih, kados ing ngandhap
punika kawontenanipun. (NN.1923)
1.
Wiwit lenggah tumungkul, sila rapet kaliyan papan, punika
pasemon manungsa. Wiwitipun kedah andhap asor,
angengeti asalipun pasiten, lan asor ing alamipun.
2.
Manawi gangsa sampun sami mapan iramamipun, kedah
lajeng dhengek sapemandeng, asta kaleh kapangku, sikut
mengenceng, driji gandamaru; manawi gangsa ngelik lajeng
ngaras sareng gong. Punika pralambang: manawi manungsa
sampun lenggah dumadi, salam taklim, lajeng amawasa
kanthi kapurunan, ingkang ngantos kacepeng guthitanipun.
Dununging kawula gusti yen saged tamat dumugi raos, lajeng
manembaha dhateng ingkang Sipat Esa, mila dipun
namekaken beksa, raosipun ambeg sawiji saha ningga, inggih
punika piwulang yoga’.
‘Pengurus perkumpulan Yogyataya di Surakarta Hadiningrat
menulis sebuah kitab berjudul ‘Serat Wedhataya’, isinya
mencari makna serta mengungkap makna gaya gerak-gerik
tari keprajuritan kuno, diambil sejauh-jauh bagi anak-anak
yang masih belum tajam benar pemandangannya, sekedar
cukup sebagai pendapat, yaitu sebagai berikut:
1. Dimulai dengan
duduk tertunduk, bersila diam di tempat,
sebagai lambang tentang manusia yang harus bermula
dengan sopan santun, ingat tentang tanah asalnya, serta
sifatnya yang hina.
2.
Jika suara gamelan telah siap berirama, lalu angkatlah muka
ke depan, kedua tangan dipangkuan, siku meregang, jarijemari
yang berjalinan; apabila gamelan melengking lalu
bersembah bersamaan dengan bunyi gong. Ini merupakan
tamsil: apabila orang telah tahu tentang kedudukan makhluk,
lalu dengan taklim tataplah dengan berani, sehingga
tertangkap akan seluk-beluknya. Jika kedudukan makhluk
khalik telah tuntas terselami, maka bersembahlah kepada
Yang Bersifat Tunggal; karenanya disebut beksa, yang
maknanya berwatak manuggal serta muksa, demikianlah
ajaran yoga. (Brakel:18)
Seperti tersimpul di dalam judulnya, risalah ini membicarakan
masalah tari sebagai suatu bentuk kesenian yang mengungkapkan
konsep-konsep filsafat (mataya), dan memandang gerak-gerik
tarian sebagai olah yoga. Karena itu risalah ini tidak saja
mengemukakan aturan-aturan dan kaidah-kaidah tentang cara-cara
yang benar dalam memperagakan komposisi tarian (beksan), tetapi
diawali dengan menerangkan tentang simbolisme dan makna
batiniah (rasa) dari gerak-gerik tarian.
Baik sikap guru tari maupun murid-muridnya (siswa) sangat
dipengaruhi oleh pendapat, bahwa penyusun dan pembesutan
gerak-gerik tari Jawa klasik didasarkan kepada ide-ide estetika dan
filsafat, yang diambil dari dan berhubungan dengan peribadatan
keagamaan. Ini merupakan satu penjelasan atas kenyataan, bahwa
tarian merupakan pernyataan artistik dari kebudayaan Jawa yang
sangat diagungkan, yang telah dikembangkan pula menjadi suatu
bentuk kesenian yang paling rumit. Maka leksikon Jawa yang
sangat kaya dan beraneka ragam itupun merupakan petunjuk,
tentang betapa penting kedudukan tari di dalam kebudayaan Jawa.
Menurut Wedhataya (1974.20) gerakan pertama yang harus
dilakukan penari, sesudah berdiri dari sikap duduk di lantai,
dinamakan laras. Adapun peragaan dan maknanya, seperti
diuraikan di dalam bagian awal kitab ini, sebagai berikut:
‘Lajeng jumeneng winastan Laras, mlampah ngiwo nengen
wangsul tengah, pralambang rehning sampun mangertos
dhateng dunungipun Ingkang Sipat Esa, lajeng kalarasa
ingkang waspada ing jawi lebet’.
Lalu berdiri (dan melakukan gerakan) yang disebut ‘laras’,
melangkah ke kiri, kanan, dan kembali ke tengah; sebagai
tamsil, setelah tahu kedudukan Yang Maha Tunggal, lalu
laraslah dengan cermat, lahir dan batin’.
Apabila didalam paragaraf di atas kata laras digunakan untuk
menyebut gerak-gerik, yang dilakukan penari sesudah berdiri,
maka kepentingan konsep laras di dalam toeri dan praktek tari
diterangkan lebih lanjut pada paragraf berikut:
‘Wosipun ngagesang punika, kedah sampurna panglarasipun,
ing badan pribadi, ing jawi lebet, liripun: tumrap larasing
jawi, tiyang badhe njoged Alus, sarira kedah lurus, polatan
tajem, pasemon sumeh; ingkang beksa Branyak sarira repeh
kewes, pasemon wingit; ingkang beksa Bergas sarira antar
pasemon ladak; ingkang beksa Sareng-regu dedeg kepara
ageng inggil, radi balung kawetu, pasemon andik angajrihi.
(Brakel:21)
‘Intisari hidup ialah agar laras sempurna, dalam diri pribadi,
jiwa raga, maksudnya: tentang laras raga, jika orang akan
menarikan tarian alus, harus bertubuh lurus, pandangan
tajam, raut muka manis; jika menarikan branyak, tubuh
bersahaja dan luwes, air muka berwibawa; jika menarikan
tarian bergas, tubuh tenang, raut muka congkak,; jika
menarikan tarian sereng-regu,sosok tubuh agak tinggi besar,
tampak kuat dan raut muka keras menakutkan.
Uraian tentang larasing jawi, keselarasan lahiriah, ini diikuti
dengan uraian tentang kekuatan keselarasan batiniah (larasing
batin), yang memungkinkan orang mempengaruhi nasib, yaitu
dengan jalan mengendalikan pikiran dan perasaan, walaupun
tetang ini dipandang sukar melaksanakan.
Pada paragraf selanjutnya, empat macam ‘keselarasan
lahiriah’ itu sebagaimana terungkap di dalam empat gaya tarian
utama: alus, branyak, bergas, dan sereng-regu – dihubungkan
dengan pembagian masyarakat menurut hindu menjadi empat
golongan yang terkenal itu:
Jalaran manungsa punika, inggih pinerang sekawan pangkat:
satunggal Brahmana, kalih Satria, tiga Waisya, sekawan
Sudra; punika para penggalihan sampun ngantos kalentu
panglarasipun, dhumeh atmajaning pandhita ‘tamtu watak
Brahmana, putraning narendra tamtu ambeg Sinatriya,
sutaning saudagar tamtu watak Waisya, anaking pakathik
tamtu watak Sudra.
Manawi katetepaken makaten, taksih saged lepat, jalaran
sadaya tiyang kadunungan manungsa sejati, sekawan bangsa
punika gadhah kewajiban piyamabak-piyambak, ugi
ginanungan nistha madya utami sowang-sowang, punapa
malih sipating Pangeran Rahman Rohim, murah asih,
kepareng nyenyuwun santuning wateg, sok wategipun
santun-satun bangsanipun inggih ugi santun: Brahmana
saged santun Satria, Satria dados Waisya, Waisya dados
Sudra, Sudra dados Brahmana, makaten umpaminipun.
Ananging manawi sampun minggah, inggih kalayan rekaos,
beda yen maleret, inggih gampil kalaksananipun, awit gesang
punika lahiripun yen mboten upakara, inggih saya suda
ajinipun, sangsinipun Panjenengan Nata, ngawontenaken
putra nata, putra nata lajeng wayah-buyut-canggah, lajeng
limrah tiyang, bebujengan, woh-wohan sesekaran, saya lami
saya suda woh sekaripun, ugi suda ajinipun.
Ananging gesanginpun jiwa ingkang tumimbal dumadi,
panedhanipun sangsaya lami sedyanipun saya minggah, mila
patraping ngagesang punika manawi kalaras sayektos
panedha inggih gawat sanget. (Ibid.22)
Oleh karena umat manusia terbagi menjadi empat bagian:
yang pertama Brahmana, kedua Satria, ketiga Waisya, dan
keempat Sudra; tentang ini para pemerhati jangan sampai
menjadi sumbang: mentang-mentang anak pendeta pasti
berwatak Brahmana, anak raja pasti berpengarai Satria, anak
pedagang pasti berwatak Waisya, dan anak budak sahaya
pasti berwatak Sudra.
Jika dipastikan seperti itu, masih bisa terjadi kesalahan.
Sebab setiap manusia mempunyai jati diri, empat golongan
itu punya kewajiban sendiri-sendiri, juga membawa serta
kehinaan, kegairahan, dan keluhuran masing-masing. Apalagi
sifat Tuhan yang pemurah dan pengasih, dimungkinkanlah
memohon perubahan watak; jika watak berubah golongannya
pun berubah: Brahmana bisa menjadi Satria, Satria menjadi
Waisya, Waisya menjadi Sudra, Sudra menjadi Brahmana,
demikianlah misalnya. Tetapi jika berubah naik tentu dengan
susah payah, beda dengan berubah turun mudah saja
terjadinya. Karena semua makhluk hidup ini kenyataannya,
jika tanpa asuhan akan semakin berkurang nilainya. Contoh
Baginda Raja, yang melahirkan putera raja, putera rajapun
bercucu-cicit-piut, lalu awam biasa, beranak-pinak, berbuah
berkembang-biak, semakin lama semakin berkurang buah
dan bunganya, demikian pula berkurang harkat martabatnya.
Tetapi kehidupan jiwa yang terus menerus bertumbuh,
menuntut semakin lama semakin ke atas; oleh karena itu
tingkah laku hidup ini, jika benar-benar hendak dilaras,
tuntutannya sungguh sangat berat.
Di dalam paragraf ini, dengan agak secara tersirat, empat
gaya tari tersebut digolongkan dengan empat golongan
masyarakat. Arti penting keadaan keselarasan dijelaskan sebagai
suatu prerogatif bagi kesempurnaan jiwa, atau setidak-tidaknya
bagi ‘pendakiannya’ melalui berbagai-bagai eksistensi. Teori ini
sesuai dengan filsafat hidup Hindu-Budha yang meresapi pemikiran
Jawa serta bentuk-bentuk kesenian tradisionalnya. Dengan
demikian seni tari, menurut Wedhataya, memainkan peranan
sebagai olah yoga bagi makhluk hidup di dalam berdaya upaya
menyempurnakan dirinya sendiri.
Menurut pandangan ini raga dianggap tempat kediaman
sementara bagi jiwa, dan di sisi-sisi kanan dan kirinya merupakan
tempat daya kekuatan ‘baik’ dan ‘buruk’ yang berebut kekuasaan
di dalam setiap pribadi seseorang. Sedikit banyak ini merupakan
penjelasan tentang tata-sibuk dalam tari Jawa dengan gerak-gerik
sisi kanan dan kiri berganti-ganti, terutama dengan kedua tangan
dan lengan. Demikian, selagi penari masih duduk di lantai, ia
melakukan beberapa gerak-gerik tangan tertentu ke samping
kanan dan kiri tubuh, yang di dalam Wedhataya diuraikan sebagai
berikut:
‘…lajeng mratingkahaken asta kiwa lan tengen, driji
kagathukaken tengah sami tengah, asta kiwa lan tengen
kapetha silih ungkih, genthos kasor, wekasan ingkang kiwa
kalimputan ingkang tengen, punika pasemonipun, tindak
ngiwo punika ateges awon, nengen sae, dados menawi sae
sampun saged angungkuli awonipun, lajeng kanggea sare
manembah ingkang sawiji, nanging ingkang awon kadu
nungna panggenanipun, ingkang sae dipunkurepana, mila
rampungipun manembah, asta kiwa wangsul mangiwo, asta
tengen mangkureb ing suku tengen, punika sampun leres’.
‘…lalu tangan kiri dan kanan digerakkan, jari-jemari
dipertemukan yang tengah sama tengah, tangan kiri dan
kanan seolah-olah saling dorong, kalah mengalahkan,
akhirnya yang kiri dikuasai yang kanan; ini merupakan tamsil
bahwa jalan kiri berarti buruk, dan kanan baik; hingga, jika
baik telah bisa menguasai buruk, lalu gunakanlah beristirahat
bersembah dengan bulat hati. Tetapi si buruk dudukkanlah
pada tempatnya, dan telungkupkanlah si baik. Maka usai
bersembah, tangan kiri kembali ke kiri, tangan kanan
tertelungkup di kaki kanan, demikianlah cara yang benar’.
‘Perjuangan kekuasaan’ antara kanan dan kiri memasuki seluruh
aspek tari: gerak-gerik cenderung dilakukan oleh anggota badan
kiri dan kanan berganti-ganti, kepala dipalingkan bergantian ke
kanan dan ke kiri, pola-pola spasial para penari cenderung imbang,
atau bergantian antara orientasi-orientasi kiri dan kanan, atau
utara dan selatan/timur dan barat.
Wedhataya, kapanpun menyebut gerak-gerik dan posisi
tarian, tidak sekedar melukiskan tentang bentuk-bentuknya saja,
tetapi sekaligus mengemukakan pasemon atau interpretasi
simbolisnya. Di dalam buku ini simbolisme memberikan alasan, baik
bagi bentuk maupun gerak-gerik tangan dan sikap tubuh. ia
memberikan keterangan tentang cara penggelaran yang telah
diperhalus. Dan setepatnya, yang merupakan ciri khas bagi
koreografi-koreografi klasik yang disebut beksan itu.
Kata ‘klasik’ mungkin memerlukan penjelasan sekedarnya:
saya gunakan kata ‘klasik’, apabila dimaksudkan tari-tarian Jawa
digubah dan dipergelarkan menurut aturan-aturan yang ditetapkan
oleh guru tari dan pemain gamelan. Pathokan atau aturan-aturan
tersebut dengan secermat-cermatnya menentukan, bagaimana
masing-masing bagian tubuh melkukan gerak-gerik, atau dibentuk
menjadi sikap tubuh tertentu; bagaimana pula sesuatu koreografi
harus disusun, serta bagaimana alunan gerak-gerik harus serasi
dengan alunan musik (gemelan). Walaupun didalam situasi praktek
tari yang senyatanya semua ini disampaikan dari guru ke siswa dan
juga dari siswa yang satu ke siswa yang lain terutama sebagai
suatu tradisi lisan, namun tentang penerapannya bisa kita temukan
informasi sekedarnya di dalam beberapa risalah tertulis tentang tari
Jawa.
Di dalam Wedhataya biasanya aturan-aturan koreografi tidak
dinyatakan secara eksplisit, namun sedikit banyak bisa ditemukan
di dalam bagian-bagian deskriptif, seperti di dalam paragraf yang
menjelaskan bagaimana corak watak pokok harus dinyatakan
melalui gerak-gerik tari:
‘ Bakuning jagad sekawan warni: Alus, Branyak, Bergas,
Sereng-regu. Sekaraning jagad ingkang dados pada,
wastanipun tanjak, punika ugi, sekawan: yen beksa Alus
tanjakipun ’gangeng kanyut’, tlapakan semu jengat, dhengkul
katekuk, tandukipun ngantuni gong tengahing sereng; yen
beksa Branyak tanjakipun ‘prenjak tinaji’, dhengkul nekuk
sawetawis, tungkak mancat, tumandukipun nyarengi gong;
yen beksa Bergas tanjakipun ‘banyak silulup’ suku nekuk
semu nggrodha, tlapakan napak leres, lambung jaja
manglung, jangga tumungkul lajeng dhengek, tumandukipun
radi ngrumiyini gong; beksa ingkang Sereng-regu tanjakipun
‘kebo menggah’, patrapipun suku njangkah tlapakan tumapak
leres, lambung, jaja, jangga semu jejeg, tandukipun nyarengi
gong, ananging tandukipun sarira kedah runtut, pramila
lagunipun sesekaran warni-warni wau, inggih katinggal laras
saba turut’.
‘ada empat pokok jenis tari: halus, Branyak, Bergas, dan
Sereng-regu. Maka ada empat macam pula pola-pola tarian
untuk kaki yang dinamakna tanjak itu. Tanjak untuk tarian
halus ialah ’ganggeng kanyut’: telapak kaki agak menjungkat,
lutut berkeluk, gerakannya menyusul gong di saat meninggi;
tanjak tarian Branyak ialah ‘prenjak dipanah’. Lutut agak
berkeluk, tumit menumpu, gerakan bersama gong; tanjak
tarian Bergas, ‘angsa menyelam’: lutut menekuk bagai
garuda, telapak kaki menapak rata, lambung dada
melambung ke depan, leher menunduk kemudian diangkat,
gerakan sedikit mendahului gong; tanjak tarian Sereng-regu,
‘kerbau marah’: kedudukan kaki menjangkah, telapak kaki
menapak datar; lambung, dada, dan leher agak tegak,
gerakan bersamaan dengan gong. Tetapi gerak-gerik tubuh
tentu harus selaras, sehingga berbagai macam pola itupun
menjadi terlihat laras, lagi pula seirama.’
Uraian tersebut di atas mengandung beberapa petunjuk
penting untuk apresiasi tari Jawa, yaitu bahwa: empat jenis tarian
pokok itu (alus, branyak, bergas,dan sereng-regu) ditarikan dengan
empat gaya pokok yang selaras. Keempat-empatnya dinamakan
menurut gejala-gejala alam, yaitu bentuk dan gerak-gerik tumbuhtumbuhan
dan hewan. Dlam hal ini punjuga tampak adanya