Tuesday, March 1, 2011

Paguyuban Ngesti Tunggal

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

·        Title/Judul :    UMAT AGAMA DALAM PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)
Religious Members Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) 
·        Compoust/Pengarang : Moh Soehadh, Soehardi
·        Journal/Jurnal : Humanika 2004, XVII

Summary: Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) is one of the Javanese mysticism groups that was established as a formal organization in Solo in 1949 inspired by a revelation to Soenarto Mertowardojo (Pakde Narto). Based on the movement doctrine rooted on Kitab Sasangka Jati, Pangestu is not a religion and does not establish a new religion. Pakde Narto and his fellows also refuse Pangestu as an association of mysticism (Himpunan Penganut Kepercayaan (HPK)). They prefer to call Pangestu as Faculty of Psychology, a place for mental spiritual forging. As the consequence of that doctrine, Pangestu is not only followed by them who declare themselves as abangan but also by those who obey their religion (Moslem or Christian). To Pangestu doctrine, its followers can be described as people who have tolerance and vision to other religious followers.
Anthropologically, the participation of the followers of the religions to Pangestu becomes a unique problem. Because of that, they have enclosed two belief systems; they, in one side, believe and undergo Islam or Christianity, and on the other side, they also believe and undergo Pangestu doctrine. Based on the problems above, this research is meant to understand the motivation and the meaning of penyiswaan (being students) of the religious followers to Pangestu. The collected data is done in Kotamadaya and Kabupaten Sleman Yogyakarta, by participant observation, individual life history, and in-depth interview technique.

The result of this research describes that there are two major motives that drive penyiswaan of the followers to Pangestu. The first major motivation is related to their dissatisfaction in understanding their religion, so the Pangestu doctrine can be made as a reference in understanding that religion. The second major motivation is related to the dissatisfaction of the followers in doing panembah (spiritual rites) of their religion teachs. Pangestu mysticism has offered the intensive religious way and improved religious taste of the religious followers. This is different from the various ways offered by the formal religions tending to emphasize the syariat panembah (spiritual rites) and only offering rational sense of religious. Pangestu mysticism has also offered to the religious followers various peaceful and tolerant performances that does not create social problems, for it is more oriented to inner of human. Besides, this research also finds out a fact that by some of the followers, Pangestu Mysticism is not only believed and undergone to feel the power of God, to the path of God, but also understood as a earthly ritual, that is to present the God will in this world, in gaining a successful life or solving of problems. These findings are in accordance with what have been written by Geertz (1983:427) and also by Zoetmulder (2000:136), that is in every mysticism performance, Javanese often do not want to find theoretical experiences but practical experiences useful to their life.

     
Referensi    
  1. A.R.Radcliffe-Brown, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif., 1980
  2. Abu Burhan, Tripurusa Penjelasan Menurut Ajaran Tasawuf(Makrifat)., 1970
  3. Abu Su'ud, Ritus-ritus Kebathinan, 2001
  4. Anonim, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 1983
  5. Anonim, Arsip Sardjana Budi Santosa, 1976
  6. Anonim, Bawa Raos Saklebeting Raos, 1969
  7. Anonim, carilah madu lebah bunga Kamboja-Mawar Mekar sejajar indah di tengah kayu salib dan Ka'bah, 2001
  8. Anonim, Golongan Kesiswaan dan Tuntunan Bagi Para Siswa, 1990
  9. Anonim, Kebudayaan dan Agama, 1993
  10. Anonim, Local Knowledge, 1993
  11. Anonim, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, 2000
  12. Anonim, Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta 2000, 2000
  13. Anonim, Pokok-Pokok Piwulangipun Sang Guru Sejati utawi Suksma Sejati., 1969
  14. Anonim, Riwayat Hidup Bapak paranpara Pangestu R. Soenarto, 1974
  15. Anonim, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, 1982
  16. Anonim, Suatu Dialog Mengenai Ajaran Pangestu, 1971
  17. Anonim, Tafsir Kebudayaan, 1992
  18. Anonim, Tuntunan Panembah dan Pangesti, 1977
  19. Anonim, Ular-ularipun Juru Mengeti.., 1976
  20. Anonim, Wahyu Sasangka Jati., 1977
  21. As'ad El. Hafidy, Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebathinan di Indonesia, 1982
  22. Benedick Anderson, The Idea Of Power In Javanese Culture. In Clarie Holt (ed) Culture and Politics In Indonesia., 1972
  23. Biro Pusat Statistik., Statistik Sosial Budaya Yogyakarta 1993, 1993
  24. Clifford Geertz, Religion as a Cultural System, dalam Michael Banton (ed). Anthropological Approach To The Study Of Religion., 1969
  25. David L. Altheide, Jhn M. Johnson, Criteria Assesing Interpretive Validity Qualitative Research. In Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S (editors). Handbook of Qualitative Research., 1994
  26. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Sistem Kesatuan Hidup Setempat, 1981
  27. Ernest Casirer, Manusia dan Kebudayaan, 1987
  28. Evon Z., Reader In Comparative Religion; An, 1972
  29. Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa:Sebuah Analisa Filsafati tentang Kebijaksanaan, 1999
  30. Haramain Asy Syarifain., Al-Qur'an Dan Terjetnahnya, 1971
  31. Harun Hadiwijono, Kebathinan dan Injil, 1976
  32. Hestu Cipto Handoyo, Kilas Balik Keistimewaan Yogyakarta, 1998
  33. James P. Spradley, Metode Etnografi, 1997
  34. Kamil Kartapradja, Aliran Kebathinan dan Kepercayaan di Indonesia, 1985
  35. Khairuddin, Filsafat Kota Yogyakarta, 1995
  36. Kuper, Adam., Pokok dan Tokoh Antropologi, 1999
  37. M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa., 2000
  38. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, 1983
  39. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, 1999
  40. Mark R. Woodward, Islam Jawa; Kesalehan Normatif versusu Kebathinan, 0000
  41. Mastok Lindu Suparto, Cam Wong Jawa Negesi Haji, 2000
  42. Mircea Eliade, et all., The Enciclopedia Of Religion, 1987
  43. Muhammad R., Dwi Windu Pangestu, 1967
  44. Niels Mulder, Ruang Bathin Masyarakat Indonesia, 2001
  45. Pangestu, Serat Sasangka Jati, 1969
  46. Paul Stange, Politik Pernatian; Rasadalam Kebudayaan Java, 1998
  47. Peter L. Berger, Langit Suci., 1991
  48. PM. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat jawa: Kerajaan dan Pedesaan., 1985
  49. Proyek Penerbitan dan Perpustakaan Pangestu Pusat, Sabda Pratama, 1974
  50. R. Soenarto Mertowardoyo, Toman Kamulyan Langgeng, 1975
  51. R.Soemantri, Tjandradjiwa Soenarto, 1970
  52. Rahmat SUbagyo, Kepercayaan dan Agama, 1976
  53. Robert M. Keesing, Antropologi Budaya PerspektifKontemporer, 1992
  54. Romdhon, Thasawwufdan Aliran Kebatinan, 1995
  55. S. De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, 1984
  56. Simuh, Sufisme Jawa, 1999
  57. Slamet Sutrisno, Sorotan Budaya Jawa dan Yang lainnya, 1985
  58. Suhardi, Makna Pertunjukan Wayang Purwa, suatu Kajian Antropologi Simbol, 1995
  59. Sularso Soeparto, mengenal pokok-pokok ajaran pangestu, 1987
  60. Victor W. Turner, The Forest of Symbols, 1966
  61. Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren, 1984
  62. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, 2000
     

Ratusan Jalan Mencari Tuhan

Dengan lebih dari 100.000 anggota, Paguyuban Ngesti Tunggal, yang disingkat Pangestu, rampaknya merupakan aliran kebatinan terbesar di Indonesia. Jumlah itu terserak di 170 cabang di berbagai daerah, terutama Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.

Dipimpin oleh Menteri Kehutanan Soedjarwo, perkumpulan ini tampak cepat tumbuh, bila diingat pada 1976 anggotanya cuma sekitar 66.000. Sejumlah cendekiawan dan para tokoh turut pula bergabung di sini. Misalnya Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Organisasi ini memang bergaung di kalangan elite. Tapi keliru kalau menyamakan paguyuban ini dengan berbagai aliran kebatinan yang menjamur kini yaitu kelompok-kelompok yang mendaki gunung atau mencari gua untuk menyepi dan bersemadi menunggu turunnya wangsit. Malah sampai sekarang Pangestu belum bergabung ke dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), organisasi yang menghimpun 367 aliran kepercayaan yang ada. Sebab, seperti dikatakan Y. Suharyatno, 46 tahun, Ketua Pangestu Yogyakarta, "Pangestu bukan agama dan bukan kepercayaan." Pokok ajaran Paguyuban Ngesti Tunggal (berarti persatuan untuk bertunggal), seperti diuraikan di dalam Serat Sasangka Jati semacam kitab suci perkumpulan, adalah menunjukkan "jalan benar", yang akan berakhir pada kesejahteraan abadi di hadirat Tuhan sejati. Selain itu, juga menunjukkan "jalan simpangan", yaitu jalan yang berakhir di alam makhluk yang ingkar terhadap Tuhan.

Yang menarik di antara petunjuk menuju jalan benar yang diajarkan Serat Sesasangka Jati disebutkan suatu penegasan bahwa agama Islam dan Kristen adalah benar-benar agama yang berasal dari Tuhan. Bahwa kitab suci Quran dan Injil adalah Wahyu Allah yang wajib dijunjung tinggi dan ditaati semua umatnya. Malah ajaran di dalam serat itu diawali dengan, "Ketahuilah para siswaKu, bahwa kedatanganKu ini tidak hendak merusakkan atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lain disebut agama? Dan Aku juga tidak mendirikan agama baru."Karenanya, Pangestu tak memiliki ritus. Dan urusan-urusan ritual diserahkan kepada anggota masing-masing. Seperti dikatakan Suharyatno, sebenarnya anggota perkumpulan itu masih tetap merupakan umat beragama yang menganggap Pangestu sebagai gedung sekolah: tempat mereka mempelajari ilmu tentang jiwa dan ketuhanan yang efeknya, seperti diyakini para pengikut akan memperdalam pengertian tentang agama dan keimanan.

"Saya sendiri setelah ikut Pangestu baru bisa meresapi arti beribadat. Dulu kalau mendengar khotbah, asal dengar saja, dan terkadang mengantuk. Sekarang saya baru merasakan manfaatnya," ujar Suharyatno, penganut Katolik itu. Prof. Dr. Satjipto Rahardjos Guru Besar Sosiologi Hukum di Undip Semarang, mengatakan bahwa Pangestu semacam fakultas psikologi yang hanya mengolah kesehatan Jiwa. "Kalau HPK itu ada unsur mistik atau kleniknya," ujar Koordinator Pangestu Jawa Tengah II itu. Jelaslah bahwa Pangestu bersimpang dengan aliran kepercayaan yang menghendaki ritus sosial sendiri, perkawinan misalnya, terpisah dari agama.

Pangestu tak pula membutuhkan sanggar atau tempat upacara ritual seperti petilasan-petilasan, padahal belakangan ini banyak kelompok kepercayaan rajin mendirikan atau memugar petilasan. Itu sebabnya Pangestu tak mengirimkan wakil untuk menghadiri peringatan 1 Suro di Trowulan. "Untuk apa? Pangestu sudah jelas bukan aliran kepercayaan, tanpa unsur mistik dan klenik. Kami ini ilmiah," kata Satjipto. Ajaran Pangestu pertama diterima oleh R. Soenarto Mertowerdojo di rumahnya di Widuran, Surakarta, 14 Februari 1932, dalam bentuk suara yang terdengar oleh lubuk hati. Bisikan yang diterima juru tulis kewedanaan itulah yang kemudian dicatat dan dihimpun menjadi Serat Sasangka Jati, yang konon akan mengantarkan manusia menuju kesejahteraan abadi di pangkuan "Sang Suksma Kawekas" (Tuhan). Pangestu resmi menjadi sebuah organisasi sejak 1949, dan merupakan aliran yang pertama, yang berdiri dalam bentuk organisasi setelah kemerdekaan. Selain Pangestu, juga Subud, ajaran Mendiang Pak Subuh dari Jakarta Selatan, yang banyak menarik minat orang asing tak bergabung dalam HPK.

Berbeda dengan Subud, di paguyuban Sumarah warga negara asing malah tidak bisa diterima menjadi anggota. Namun, Sumarah menjadi anggota HPK, bahkan ketua umumnya, Zahid Hussein, saat ini menjadi ketua HPK. Meski Zahid Hussein sebagai ketua HPK hadir di Trowulan, Sumarah tak mengirim wakilnya ke sana. "Sumarah bukan penghayat kepercayaan, tapi paguyuban menuju ketenteraman lahir dan batin. Paguyuban ini adalah wahana olah iman," tutur Sutono, seorang pimpinan Sumarah cabang Yogyakarta. Tuntunan Sumarah pertama kali diterima oleh Raden Ngabehi Soekino Hartono (Pak Kino), di Yogyakarta, pada 8 September 1935. Ajaran Sumarah menuntut agar para pengikutnya harus selalu sujud sumarah (menyerahkan diri) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa dan badan hendaknya selalu tunduk dan takluk kepada Tuhan, harus eling (ingat). Sujud sumarah tercapai jika seseorang berhasil mempersatukan angan-angan, rasa, dan budinya: kepala dan hati kosong, yang ada hanya satu, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada ketentuan yang kaku bila seorang ingin bersujud. Karena hanya paguyuban menuju ketenteraman lahir batin banyak anggota Sumarah yang tetap memeluk agama masing-masing.

Sumarah, yang dalam anggaran dasarnya secara tegas menyebut asasnya adalah Pancasila, kini beranggotakan sekitar 10 ribu orang. Meski jumlah aliran kepercayaan (atau yang digolongkan aliran kepercayaan) ratusan, dalam prinsip-prinsipnya tetap ditemukan persamaan. Itu disimpulkan oleh Direktorat Pembinaar Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen Kebudayaan, Departemen P dan K, dan pemaparan yang dilakukan oleh 20 aliran kepercayaan pada 1985-1987. Proyek itu bertujuan untuk mengetahui lebih jauh ajaran aliran kepercayaan yang sudah didaftar. Untuk itu, para tokoh aliran masing-masing diminta mempresentasikan ajarannya di suatu forum yang antara lain terdiri dari pejabat Direktorat tadi, unsur rohaniawan dari berbagai golongan dan unsur ilmuwan dari berbagai disiplin. Pedoman proyek pemaparan itu dirumuskan oleh sebuah tim yang dipimpin Profesor Soedjito Sosrodihardjo dari UGM. Anggotanya antara lain terdapat cendekiawan Islam seperti Dr. Kuntowidjojo dan Dr. Usman Pelly.

Beberapa persamaan yang ditemukan, misalnya, organisasi itu lahir dari rintisan peri laku seseorang yang akhirnya menjadi sesepuh organisasi. Kemudian paguyuban tumbuh dari bimbingan sesepuh yang menerima wangsit, bisikan, anugerah, atau tuntunan yang mereka yakini, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sesepuh atau pinisepuh itu menciptakan sistem komunikasi spiritual di antara para pengikut, sehingga mereka dapat bersama menghayati penjabaran wangsit dan memetik hikmah ajaran. Pengikut yang semula merupakan kelompok kecil akhirnya menjadi besar. Terbentuklah organisasi penghayat kepercayaan itu. Konsep mereka tentang Tuhan pun punya kesamaan yang mendasar. Pada garis besarnya mengarah pada tiga unsur utama: Tuhan Yang Maha Esa itu ada dalam kenyataan yang satu/tunggal di luar batas perkiraan, memiliki banyak sifat yang mencakup segenap penjabaran Hidup Yang Agung, dan merupakan sumber daya dan kuasa abadi bagi segala sumber kehidupan di alam semesta. Memang ditemukan beraneka sebutan terhadap Tuhan. Organisasi Sangkan Paraning Dumadi Sanggar Kencono, misalnya, menyebut Tuhan dengan Sangkaning Dumadi.

Paguyuban Pangestu dan Subud belum termasuk di antara 20 aliran yang sudah didengar. Di antara yang sudah didengar adalah Tri Sabdo Tunggal Indonesia, Organisasi Perjalanan, Kerokhanian Sapto Darmo, dan Paguyuban Sumarah. Sejak diakuinya aliran kepercayaan dalam GBHN 1973, boleh dikatakan eksistensi mereka tak diutik-utik lagi. Memang, semula banyak yang waswas bahwa mereka akan tumbuh menjadi "agama" baru. Namun, dengan ditegaskannya dalam GBHN 1978 bahwa aliran kepercayaan tidak merupakan agama, dan pembinaannya tidak akan mengarah pada pembentukan agama baru, kekhawatiran itu tampaknya menghilang. Itu tidak berarti tidak ada lagi kecaman dan antipati terhadap aktivitas mereka, terutama kegiatan yang dinilai "aneh" menurut akal sehat. Banyak aliran kepercayaan yang, misalnya, merumuskan secara sederhana tingkah laku dan hubungan antar manusia serta hubungan antara manusia dan Tuhan. Selain itu, tampaknya masih banyak pemimpin agama yang kurang memperhatikan hal yang menyangkut ketenteraman batin penganutnya dan lebih menekankan soal "surga dan neraka". Karena itulah banyak yang memerlukan "olah batin" yang ditawarkan berbagai aliran kepercayaan dan kebatinan sebagai pelengkap agama mereka.

Munculnya aliran kebatinan Jawa, kata Sejarawan Taufik Abdullah, bila dilihat dari sudut historis, "Merupakan tanggapan atas masuknya Islam ke Indonesia." Bila ditelusuri, menurut ahli sejarah LIPI itu, kemunculannya saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit, kira-kira 1478. Menurut Taufik, kebatinan lahir karena adanya tradisi dialogis pada masyarakat Jawa: untuk memperoleh keserasian, keharmonisan, antara berbagai unsur. Di samping itu, didukung pula oleh besarnya penghayatan orang Jawa terhadap kesinambungan budaya, yang tercermin dalam mitos-mitos yang tak masuk akal. Misalnya kepercayaan bahwa raja-raja Mataram masih keturunan Majapahit. bahkan masik keturunan Nabi Muhammad dan juga tokoh Pendawa dalam wayang. Mitos itu diharapkan mampu menambah karisma dan kekeramatan mereka, hingga tidak ada yang berani melawan. Sedang substansi ajaran kebatinan, kata Taufik, adalah pencampuradukan Islam, Hindu, Budha, dan "entah apa lagi". Inilah yang dianut raja-raja Mataram seperti Sultan Agun, Amangkurat, dan Senopati. Meski mereka disebut raja Islam, Islam mereka terbentuk melalui tradisi kebatinan tadi. Mitos itu bersifat fungsional, tapi sekaligus juga bersifat disfungsional. "Artinya, mitos bisa membangkitkan kepatuhan, tapi juga ketidakpatuhan," ujar Taufik. Mitos tentang kebesaran Majapahit, misalnya, boleh jadi bisa dipergunakan untuk mempersatukan suatu kelompok yang mengagumi Majapahit. Tapi bagaimana buat orang Minangkabau dan Pasundan yang punya pengalaman buruk dengan Majapahit? "Ingat, 'kan peristiwa perang Bubat antara Pasundan dan Majapahit serta penaklukan Minangkabau?" katanya. Apakah kebatinan masih relevan dengan zaman sekarang? "Itu 'kan kepercayaan. Jadi, terserah yang percaya," jawab Taufik


PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL

Salah satu saat yang paling saya sukai saat malam hari adalah berkumpul dengan rekan-rekan wong Jowo yang menamakan dirinya Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). Jangan bayangkan paguyuban seperti ini semacam sekte tertutup, eksklusif dan wingit tapi sebaliknya. Mereka adalah sama seperti kita yang terbiasa diskusi ngalor ngidul secara ilmiah maupun batiniah.

Seperti Senin malam kemaren. Saya bergabung dengan komunitas ini untuk membahas satu buku induk Paguyuban Ngesti Tunggal yang bernama Serat Sasongko Jati. Setelah membaca dan mengartikan kata demi kata buku babon berbahasa Jawa itu, kami terlibat dalam diskusi tentang spiritualitas ketuhanan lintas agama dan kepercayaan.

Mulailah kami membahas tentang tingkatan-tingkatan untuk memahami hakikat sholat, mulai dari sembah raga, sembah cipta dan sembah rasa. Sholat diartikan sembah raga, karena di dalam sholat kita melakukan aktivitas fisik tertentu yang sesuai dengan syariat agama. Mulai dari apa arti dari mengangkat tangan saat takbir sampai sujud. Sholat diartikan sembah cipta apabila pikiran kita terfokus pada satu titik yaitu Gusti Allah. Dan yang terakhir adalah sholat sebagai sembah rasa, yaitu sholat adalah sebagai sarana rasa sejati kita untuk bertemu dengan Tuhan Yang Maha Dekat.

Mengartikan sholat semacam ini tentu saja tepat dan mendalam. Sholat tidak hanya aktivitas fisik, melainkan psikis dan juga ruhani kita haruslah madep mantep tanpa mikir ngalor ngidul lagi Semuanya bersatu dalam fokus dalam suasana batiniah yang hening untuk bertemu dan bertamu, menghadap wajah-Nya, berkomunikasi rasa antara aku sejati dengan Engkau Sejati yaitu, Allah.

Intinya, bahwa sholat adalah wahana dan sarana kita untuk manunggaling kawulo Gusti, bersatunya aku dengan aku-nya Tuhan. Persenyawaan ini bisa dipahami karena dalam sholat sesungguhnya kita sedang membuka kulit-kulit perasaan manusiawi kita yang kasar sehingga tinggallah dalam diri kita satu perasaan dasar yang murni atau rasa, yang merupakan jati diri seorang individu (aku). Aku Sejati inilah manifestasi Tuhan dalam individu tersebut. “Rasa adalah aku dan aku adalah Gusti”

Dalam sholat juga terungkap adanya tujuan hidup manusia yaitu untuk tahu dan merasakan. Rasa tertinggi dalam dirinya sendiri. Pengakuan akan rasa tertinggi ini dicapai dengan cara memiliki kehendak yang murni dengan cara memusatkan kehidupan batinnya, mengintensifkan dan memusatkan semua sumber spiritualnya pada satu fokus kecil namun mampu menghasilkan energi terbesar.

Pada tingkat pengalaman sholat yang merupakan kebersatuan dengan eksistensi tertinggi, kita bisa merasakan semua yang ada ini sejatinya satu dan sama, keakuan kita hilang dalam individualitasnya. Ini disebabkan karena rasa aku itu bersumber dari Gusti Allah, sebuah obyek abadi yang dialami semua subyek manusia.

Pengetahuan tentang rasa tertinggi merupakan tujuan pencarian mistik yang luhur dan harusnya menjadi tujuan keagamaan semua kepercayaan dan semua agama. Tindakan pemahaman ini sering dianggap memiliki dua tahap utama: ning harafiah berarti hening, diam yang menunjuk kepada emosi yang setenang-tenangnya dan kemundian ning kejernihan dan pengetahuan yang dalam, gerak hati yang mengikuti keheningan dan yang bisa merupakan sesuatu yang sangat emosional. Biasanya hal ini dilukiskan sebagai suwung atau kosong atau kabeh kui sejatine ora ono, sing ono kui dudu. (Semua itu hakikatnya tidak ada, yang ada itu sesungguhnya tidak ada…)

Untuk mencapai sholat sekhusyuk-khusyuknya, seseorang harus ngesti tunggal. Ngesti artinya menyatakan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung kepada sesuatu tujuan tunggal, pemusatan kemampuan fisik, psikologis dan ruhaniah ke ALLAH SWT saja. Hal ini merupakan penggalian mental yang intens pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tidak tertahankan dan suatu penggabungan ke dalam suatu kesatuan sederhana dari berbagai kekuatan di dalam individu tersebut. Semua indera, emosi, seluruh proses fisik psikis tubuh dibawa ke satu persenyaraan dan dipusatkan kepada satu tujuan tunggal, GUSTI ALLAH SWT.

Akhirnya, tanpa kami sadari diskusi sedemikian gayeng. Malam yang dingin berganti pagi. Adzan subuh bergema dan kami bergegas untuk Ngesti Tunggal.

Wong Alus

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.