Oleh: Ferry riyandika
“……cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana. Sadatang ka Pamijahan…..” Terjemahan: “.......tiba ke Sagara Dalem, berjalan lewat Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, dijel
...ajahi arah selatannya. Setiba ke Pamijahan……” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).
Nama Sagara Dalem dalam urain kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak diantara Gunung Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada disebelah barat Gunung Semeru. Nama Dukuh Sagara Dalem merupakan nama lama untuk sebuah Dukuh Segaran yang terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303). Di dukuh ini pernah terdapat temuan-temuan arkeologi yang berupa sejumlah batu bata kuno di Punden “Mbah Cengkaruk”, selain itu juga di tetangga Dukuh Segaran kurang lebih 400 m keselatan yaitu di Dukuh Watudakon terdapat sekumpulan batu candi yang mirip seperti permainan dakon, yang kemungkinan pada masa lampau digunakan sebagai sarana ritual keagamaan tertentu (Sidomulyo, 2007: 103), kemungkinan juga sebagai alt untuk menghitung hari (pertanggalan).
Setelah itu perjalanannya menuju Kagenengan. Nama Kagenengan pada masa sekarang merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Malang yaitu Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak Kecamatan Pakisaji atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat dimana terdapat suatu kelompok komunitas keagamaan (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 513). Dalam uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa Kagenengan merupakan sebuah pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok). Dari Kitab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. “…..Krama subhakala sah nira ri singhasari mangidul mare kagenengan, humaturaken kabhaktini bhatara dharmma sawatekwatek nira tumut…” (pada hari baik Baginda berangkat dari Singhasari ke selatan menuju Kagenengan, melakukan sembah bakti sujud pada Bhatara Dharma (leluhur) bersama seluruh pengiringnya…”). Selanjutnya disebutkan bahwa putra sri Girindra (Ken Angrok/ Rajasa) pada tahun 1149 Saka (1227 Masehi) meninggal dan diabadikan di Kagenengan berwujud Siwa Buddha (“….ring saka syabdhi rudra krama kalahanira mantukang swargga loka, kyating rat sang dhidharmma dwaya ring kagenengan sewa boddhengusana). Selain itu dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Kagenengan merupakan tempat pendharmaan yang harus dijaga dan dicatat agar tidak timbul perselisihan pada keturunan Hayam Wuruk. “….Keh nikanang sudharma haji kaprakasita makadi ring Kagenengan ….”. (“…..jumlah candi-candi makam raja tersebut yang pertama di Kagenengan…..”) (Riana, 2009: 185, 207, 356). Selain itu pada Prasasti Mula-Malurung lempeng IIb disebutkan tentang pendharmaan kakek Wisnuwardhana yang terletak di Kagenengan (…makaswa rupan wisnwarccha nankane sang hyan dharmme kagnenan….”) (Kartakusuma, 2002: 5). Di Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji pernah ditemukan tinggalan arkeologi berupa lingga dari batu andesit. Sedangkan di Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo. Kecamatan Wagir di tanah sebelah selatan terdapat sebidang tanah tinggi yang diapit oleh dua sungai/ jurang (Sokan) terdapat pecahan batu bata berukuran besar, fragmen batu, dan lingga kecil. Selain itu di Sokan juga ditemukan arca, guci dan sebuah prasasti batu, namun keberadaanya sekarang tidak diketahui lagi. Menurut informasi warga setempat meyakini bahwa makam Ken Angrok berada di puncak Gunung Katu yang berada tidak jauh di sebelah barat dusun ini (Sidomulyo, 2007: 79-80).
Setelah dari Kagenengan Bujangga Manik menuju ke Gunung Kawi. Jadi arah perjalanannya ke barat. Berdasarkan keterangan dalam Kitab Tantu Pagelaran, Agastya mendapatkan pertapaan di Gunung Kawi. Semenjak itu Gunung Kawi menjadi miliknya, yakni sebagai tanda penugasan bagi Batara Guru (Ciwa). Berikut kutipan dari teks Tantu Panggelaran: ”Ucapen ta laksana bhatara Jagatwicesa, anggasta yinuganira hinasti, siniramning tatwamrtha ciwamba, yinuganira matmahana dewata purusangkara. Inararan bhagawan Agasti, inanugrahan kawikun de bhatara, kinwan matyapaha ring gunung kawi. Tinher makadrwya kang gunung kawi pinakapacihna pawkas bhatara Guru” (Pigeaud (1924: 92). Artinya: ”Untuk bicara tentang cara-cara Batara Jagadwicesa; dia mengarahkan yoganya pada ibu jarinya, dan menjadikannya abu, yang kemudian disiramnya dengan air suci Tattwamrta dan melakukan yoga, sehingga menjadi dewata bertubuh manusia. Dia mendapatkan nama Agasti yang terhormat; sebagai tanda kehormatan dia menerima kedudukan wiku dari Bhatara, dan menerima perintah melakukan pertapaan di Gunung Kawi. Sejak itu gunung Kawi menjadi miliknya, sebagai tanda penugasan Bhatara Guru” (Poerbatjaraka, 1992: 40). Adapun nama “Kawi” berasal dari kata “Kavya (Kawi)”, yang berarti syair yang dilagukan. Ada pula yang menghubungkan istilah ini dengan “awi” yang berarti golongan orang-orang di antara “watek i jro” (manilala drwya haji) (Zoedmulder, 1995: 475 ; 86). Oleh karenanya, Gunung Kawi adalah sebuah gunung yang pada masa lampau banyak dikenal oleh para pertapa, rsi atau bujangga sebagai tempat pertapaan dan tempat pembuatan syair (Kawi).
Dari toponimi daerah yang dilaluinya, Bujangga Manik melakukan perjalanan menjurus langsung kebarat. Jadi yang ditempuh bukan Gunung Kawi melainkan adalah Gunung Butak yang terletak di selatan Gunung Kawi. Selanjutnya Bujangga Manik menjelajahi tempat yang terletak di arah selatan yaitu di Pamijahan. Nama Pamijahan keberadaanya tidak terlancak. Apabila melihat rute yang dilalui Bujangga Manik ke selatan, maka boleh jadi menuju Candi Sirahkencong yang terletak di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar. Di situs ini memiliki tinggalan dan temuan berupa Prasasti Ukir Negara bertarikh Saka 1120 (1198 Masehi) dan 1304 Saka (1382 Masehi) (Issatriadi 1975: 1), Jaladwara yang memuat relief cerita Samodramanthana atau Amerthamanthana yang sekarang disimpan di Museum Pusat Jakarta (Soekmono, 1985: 43-48), kronogram bertarikh Saka 1389 (Knebel, 1908: 174), umpak, dan arca dwarapala. (Sukamto, tanpa tahun: 8). Di Situs ini terdapat bangunan altar candi. Pada altar candi ini terdapat relief cerita Bubuksah- Ganggangaking, yang terletak di bangunan I, bangunan II terdapat relief cerita Samodramanthana atau Amertamanthana, dan pada bangunan III terdapat relief cerita Bima mencari Tirthamanthana, yang merujuk pada Kitab Nawaruci (Riyandika, 2010: 78-84). Selain itu juga ditemukan lampu perunggu berujung lingga (Hariyono, 2001: 136),

Di barat Situs Candi Sirahkencong terdapat sebuah Dukuh bernama Pijiombo. Jarak antara perkebunan Pijiombo dan Sirahkencong ± 4 km. Pada Dukuh Pijiombo terdapat tinggalan arkeologi masa Hindhu- Buddha, yang berupa arca singa (?). Warga setempat menyebutnya dengan Anoman berukuran 0,65 m, arca Emban (?) berukuran tinggi 0,78 m, arca Trijata dalam posisi duduk (?) dengan tinggi 0,56 m, bak air yang pada dindingnya berhiaskan bunga padma dengan panjang 0,57 m, kepala gajah dengan tinggi 0,60 dan diameter 0,40 m, serta tiga buah fragmen miniatur candi dengan tinggi 0,49 m, panjang dan lebar 0,25 m. Selain itu terdapat tiga buah arca dwarapala (Knebel, 1908: 166-167 ; Arnawa, 1991: 41-44). Apakah nama Pamijahan ini merupakan nama lain dari Pijiombo. Apabila pendapat ini benar maka Pamijihan nama arkhais dari Pijiombo (Pa-biji/ miji-an menjadi Pamijahan atau Pamijen) Namun hal ini perlu dilakukan penelitian ulang agar keberadaan rute perjalanan Bujangga Manik di kawasan ini memperoleh kebenaran.
Selanjutnya Bujangga Manik melakukan perjalanan menuju Gunung Kampud. Dalam uraian kisah perjalanannya diuraikan sebagai berikut. “…..leu(m)pang aing ka baratkeun, ngalalar ka Gunung Anyar, cu(n)duk aing ka Daliring. Sadatang ka Gunung Ka(m)pud……” (“……aku berjalan ke arah barat, melewati Gunung Anyar, tibalah aku di Daliring. Setibanya ke Gunung Kampud…”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).
Setelah dari Pamijahan (Pijiombo) perjalanan Bujangga Manik mengarah kebarat yaitu di Gunung Anyar dan sampailah ke Daliring. Nama Gunung ini juga termuat dalam Kitab Pararaton yang mengatakan bahwa pada tahun 1376 Masehi, “…hana gunung anar…” (ada atau muncul sebuah gunung baru) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 514).
Nama Gunung Anyar dan Daliring sebelum menuju Gunung Kampud (Kelud) belum terlacak keberadaanya. Boleh jadi Daliring sekarang bernama Wringinbranjang karena memiliki kemiripan nama. Situs ini terletak di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Candi Wringinbranjang memiliki bentuk seperti rumah dan kesemuanya terbuat dari batu andesit dari atas sampai bagian kaki candi. Arah hadap candi Wringin Branjang menghadap ke utara. Candi Wringin Branjang memiliki keunikan tersendiri dari candi-candi lainnya, selain bentuknya menyerupai rumah, bangunan ini pun terletak di Bukit Gedang. Sedangkan gapura di Situs Wringinbranjang terletak 200 meter ke utara dari Candi Wringinbranjang. Gapura menghadap ke selatan dan berorientasi ke utara, sisi timur dan baratnya diperlengkapi dengan pagar atau sayap terbuat dari batu yang sama yaitu batu andesit. Menurut Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur (1995: 4-9), di reruntuhan sisa struktur gapura juga terdapat batu ambang (kemungkinan atas) dalam keadaan patah yang dilengkapi dengan ceruk polos daun pintu. Di sebelah utara gapura terdapat struktur susunan batu andesit berjenjang , setinggi 12 jenjang. Dari gapura ke utara terdapat sisa susunan batu andesit I, setinggi dua lapis. Pada lapis batu pertama dan kedua dihiasi oleh pelipit, sebuah lapik arca berukuran berhiaskan ornamen naga pada sisi kanan-kirinya yang menyatu dengan dinding utara (belakang) bangunan. Pada bagian tengah permukaan lapik diperlengkapi ceruk yang dikelilingi lingkaran yang berdiameter 55 cm. Bagian depan lapik terdapat undakkan setinggi 20 cm dan lebar 19 cm. Diatas dinding terdapat batu-batu yang ditumpuk. Di sebelah barat bangunan ini kira-kira 22 meter terdapat tumpukan batu yang memanjang ke utara-selatan, diantara batu tersebut terdapat sebiji batu ambang dengan ceruk poros daun pintu dalam keadaan terpotong. Selain itu terdapat empat buah batu berbentuk limas terpancung (umpak) di sekeliling sisa struktur gapura, sehingga dapat diperkirakan merupakan penyangga tiang yang berbahan yang mudah aus. Dilihat dari bangunannya Situs Wringinbranjang merupakan situs masa Majapahit yang setidaknya memiliki tiga teras. Teras pertama adalah Candi Wringinbranjang sendiri, teras kedua berupa gapura, struktur susunan batu andesit berjenjang dan ditemukan empat buah umpak, kemungkinan gapura Situs Wringin berbentuk gapura paduraksa yang kemungkinan pagarnya berbentuk sayap, sedangkan teras ketiga berupa sisa susunan batu andesit I dan sisa susunan batu andesit II yang berbentuk persegi, dimana pada susunan batu andesit II berbentuk persegi ditemukan lapik arca yang berhiaskan ornamen naga dan lapisan pada dua lapisan paling atas dihiasi pelipit. Dilihat dari fungsinya Situs Wringinbranjang merupakan tempat krsyan pada masa Kerajaan Majapahit. Apakah Gunung Hanyar nama lain untuk Gunung Gedang pada masa sekarang dan puncaknya bernama Daliring (Wringinbranjang)?. Hal ini perlu diadakan penelitian ulang guna mengetahui secara tepat akan keletakan daerah yang di lalui Buyangga Manik di wilayah ini.

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.