Thursday, June 20, 2019

SEJARAH KERAJAAN BULELENG

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

Gusti Ngurah Jelantik Raja Buleleng yang diasingkan oleh Belanda Ke Padang Sumatera Barat 1872

Semoga tidak ada halangan Pranamyam sira dewam, bhuktimukti itarttaya, prawaksyatwa wijneyah, brahmanam ksatriyadih, patayeswarah. 

Diceritakan setelah Pulau Bali berhasil ditaklukkan kerajaan Majapahit pada tahun 1343 maka Mahapatih Gajah Mada mengangkat Adipati berasal dari Jawa yang diberi gelar Dalem Ketut Kresna Kapakisan sebagai Raja Bali. Istana beliau berada di Samprangan, wilayah Gianyar sekarang, sebagai pusat pemerintahannya. Pada mulanya pemerintahan Dalem Samprangan mendapat reaksi dari masyarakat asli, Bali Aga, membuat Pulau Bali kurang aman.

Untuk menjaga kestabilan dan keamanan pemerintahan, pada tahun 1352 Patih Gajah Mada mengangkat Sri Nararya Kapakisan berasal dari Jawa Timur sebagai Perdana Menteri sekaligus sebagai Penasehat Dalem.

I GUSTI NGURAH JELANTIK VI

PANGLIMA PERANG KERAJAAN GELGEL 

Alkisah setelah beberapa keturunan berlalu, disebutlah seorang dari keturunan Sri Nararya Kapakisan / I Gusti Nyuh Aya, yang bergelar I Gusti Ngurah Jelantik VI, menjabat sebagai Panglima Perang yang dihandalkan oleh raja yang bergelar Dalem Sagening yang istana dan pemerintahannya telah berpindah dari Samprangan ke Gelgel. I Gusti Ngurah Jelantik beristana di puri Jelantik - Swecalinggarsapura, tidak jauh dari istana raja di Gelgel.

Di puri Jelantik, banyak para abdi laki-laki dan perempuan yang berasal dari berbagai tempat. Di antara para abdi ada seorang perempuan pelayan (pariwara) yang sehari-harinya bertugas sebagai penjaga pintu, bernama Ni Pasek Gobleg. Pada suatu hari, I Gusti Ngurah Jelantik pulang dari bepergian. Pada saat beliau melangkahkan kaki masuk halaman puri, waktu itu sang pariwara Ni Pasek Gobleg baru saja selesai membuang air kecil (angunyuh).

I Gusti Ngurah Jelantik terkejut ketika beliau menginjak air yang dirasa hangat di telapak kakinya. Beliau meyakini air itu tidak lain adalah air kencing Ni Pasek Gobleg, pelayan dari desa Panji wilayah Den Bukit itu. Timbul gairah birahi I Gusti Ngurah Jelantik kepada Ni Pasek Gobleg dan serta merta menjamahnya.


Hubungan cinta kasih yang melibatkan I Gusti Ngurah Jelantik dengan pelayannya tidak diketahui oleh isterinya, I Gusti Ayu Brang-Singa. Dari larutnya hubungan itu, tidak berselang lama Ni Pasek Gobleg mengandung dan sampai pada waktunya, lahir seorang bayi laki-laki yang sempurna yang diberi nama I Gusti Gde Pasekan.

Nama itu diambil dari pihak sang ibu yang berasal dari trah Pasek. Beberapa waktu kemudian, sang pramiswari, I Gusti Ayu Brang-Singa, setelah kehamilannya cukup waktunya, juga melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama I Gusti Gde Ngurah.

Prasasti Kerajaan Buleleng

I Gusti Gde Pasekan lebih tua dari I Gusti Gde Ngurah.Disebutkan, bahwa dari ubun-ubun I Gusti Gde Pasekan muncul berkas sinar, tambahan lagi lidahnya berbulu. Melihat keistimewaan I Gusti Gde Pasekan, muncul perasaan was­was I Gusti Ayu Brang-Singa, bilamana di kemudian hari nanti, I Gusti Gde Pasekan akan lebih disayang oleh I Gusti Ngurah Jelantik. Lagi pula akan bisa mengalahkan kedudukan I Gusti Gde Ngurah, putranya sendiri yang lebih berhak atas segala warisan. Ujar Ni Gusti Ayu Brang-singa: 

„Kakanda Gusti Ngurah, dari manakah asal-usul anak bayi ini, kakanda?"Dijawab oleh I Gusti Ngurah Jelantik: „Baiklah adinda, bayi itu asalnya dari kakanda sendiri, dilahirkan dari seorang pariwara bernama Ni Pasek Gobleg, berhubungan hanya sekali".Menyahut Ni Gusti Brang-Singa dengan air muka sedih: „Kalau begitu baiklah. Tetapi bila bayi ini tetap berada disini, maka masalah ini membuat adinda akan menentang. Bilamana anak ini memiliki hak di Purl Jelantik". 

Demikian kata-kata sang isteri kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik yang langsung menjawab: 

„ Jangan merasa gundah, adinda. Anak itu bersama ibunya akan meninggalkan tempat ini dan pergi ke Ler Gunung". 

Mendapat jawaban demikian wajah Ni Gusti Ayu Brang-Singa kembali tampak berseri. Sampailah diceritakan, seseorang bernama I Wayahan Pasek dari desa Panji, dalam perjalanan telah sampai ke puri Jelantik, menjenguk Ni Pasek Gobleg, ibu I Gusti Gde Pasekan. Ki Wayahan Pasek adalah saudara mindon Ni Pasek Gobleg. Di dalam puri, I Gusti Ngurah Jelantik sudah siap menanti. Demikian sabda I Gusti Ngurah Jelantik:

„Wahai engkau Wayahan Pasek. Bawalah olehmu I Gde Pasekan ke Ler Gunung. Perintahku kepadamu, agar engkau memandang dia sebagai gusti-mu di sana. Lagi pula di dalam tata laksana upakara terhadapnya jangan dicemari (carub), karena dia adalah sejatinya berasal dari aku". Sembah atur I Wayahan Pasek: „Baiklah, hamba junjung tinggi wacanan Gusti. Semuanya sudah jelas bagi hamba." 1)1) Sabda Ki Gusti Ngurah: ,,E, kita Wayahan Pasěk, anakta Ki Gĕde Pasĕkan ajakĕn mara marêng Ler-Gunung. Manirâweh i kita,kitânggen gusti ring kana. Sadene sira angupakāra; aywa koruban acamah, apan agawe n manira jāti”.Matur ki Wayahan Pasěk:,,Inggih, kawulânuhun wacana n I gusti. Sampun anangçayêng twas”.

I Gusti Gde Pasekan sudah berumur 12 tahun. Sebelum perjalanan dimulai, beliau dibekali sebuah pusaka oleh sang ayah, I Gusti Ngurah Jelantik, berbentuk sebilah keris. Disamping itu diberikan juga pusaka leluhur berupa tombak-tulup bernama Ki Pangkajatattwa atau Ki Tunjungtutur. Setelah semuanya siap, perjalanan ke Ler Gunung dimulai. Disamping ibunya, Ni Pasek Gobleg dan pamannya, I Wayan Pasek, I Gusti Gde Pasekan diiringi oleh 40 orang pengawal, dipimpin oleh Ki Dumpyung dan Ki Dosot.

Di saat mulai melangkah, I Gusti Gde Pasekan merasa sedih meninggalkan tempat kelahirannya, teringat kembali akan pesan-pesan ayahnya. Teman-teman sepermainannya akan segera ditinggalkan menuju tempat jauh di Ler Gunung. Perasaanya penuh tanya dan keraguan. Terdengar suara seperti berasal dari keris pusaka: 

"Ih, aywa semang" yang artinya “ Ih, jangan ragu”. 

I Gusti Gde Pasekan tersentak heran, namun akhirnya senang karena keris pusaka yang diberikan ayahandanya mampu berbicara.Perjalanan pun dimulai. Pertama mengarah Barat selama sehari. Esoknya perjalanan berbelok mengarah ke Utara. Jalan yang dilintasi mulai menanjak dan berkelok-kelok. Rasa lelah mulai dirasakan oleh anggota rombongan, tetapi karena hawa mulai dirasakan makin sejuk.

Dalam bimbingan ibunya, Ni Pasek Gobleg dan pamannya, I Wayan Pasek, dengan cepat beliau belajar mengenal lingkungan desanya. Disamping itu ada dua pengasuh, Ki Dumpyung dan Ki Dosot. Sebagai seorang pemuda berusia 12 tahun, yang selalu ingin tahu tentang segala hal, I Gusti Gde Pasekan sering berpetualang. Naik bukit dan menjelajanh ke hutan melewati tegalan sampai ke pantai merupakan kegiatan rutin. Keris pemberian ayahnya, I Gusti Ngurah Jelantik, selalu terselip di pinggangnya.

Pada suatu sore yang panas, I Gusti Gde Pasekan merasa badannya gerah dan ingin mandi di sungai di tempat beliau sering mencari ikan. Tetapi di sungai dilihatnya ada buaya yang membuat orang-orang takut untuk mandi dan para perempuan takut mengambil air. Dengan segala pertimbangan yang cukup masak, I Gusti Gde Pasekan turun kesungai seorang diri. Dengan kelincahan dan kaki katangannya yang cekatan, buaya yang menakutkan itu bisa di bunuhnya. Setelah buaya dibunuhnya barulah beliau mandi dengan tenangnya dan menikmati sejuknya air sungai.

Penduduk desa Panji menjadi gempar, karena keberanian dan kewisesan I Gusti Gde Pasekan yang masih muda belia itu. I Gusti Gde Pasekan semakin dekat di hati masyarakat desa Panji, bahkan meluas keluar desa Panji.Di wilayah Den Bukit ada seorang yang sangat berkuasa bernama Ki Pungakan Gendis. Beliau sangat ditakuti oleh rakyak karena perangainya yang semena-mena, hanya mencari kesenangan berjudi dengan mengadu ayam setiap hari. Beliau bebergian dengan menaiki kudanya yang besar dan gagah. Di kanan kirinya berjalan beberapa orang pengawal. Suatu hari, I Gusti Panji sedang dalam perjalanan pulang.

Karena merasa lapar beliau berhenti untuk mencari umbi ketela di tegal. Keris pusaka leluhur yang selalu dibawanya itu lalu dihunusnya dan ditancapkan di tanah mencongkel umbi ketela. Sedang mencongkel- congkel tanah, tiba-tiba I Gusti Panji mendengar suara seperti keluar dari dalam keris 

" ..... tan gaweyaŋ puyut kinarya anŋulati ewi..." yang artinya: "....jangan buyut dipakai untuk mencari umbi ketela...".Selanjutnya terdengar:..."aywa ki buyut semaŋ- semaŋ ri ki puyut... apan anapasupati-astra ring agraniŋ puyut....ana pinakasatrunta maŋaran ki puŋakan Gendis yogya pinatryan denta .." artinya: "Jangan ragu akan kesaktian buyut.....karena di ujumg buyut memiliki kesaktian.....disana ada musuh bernama Ki Pungakan Gendis yang harus dibinasakan....". 

Mendengar sabdantara sedemikian, I Gusti Panji berhenti mencongkel umbi dan keris pusaka segera dimasukkan kesarungnya. I Gusti Panji mulai menyadari, bilamana suatu waktu dkemudian hari timbul keraguan di pikiran beliau, agar selalu ingat akan "Ki Semang", demikian nama kris pusaka tersebut. Mengalahkan Ki Pungakan Gendis. Diceritakan Ki Pungakan Gendis sedang dalam perjalanan pulang sehabis berjudi dan bersenang-senang. Beliau menunggang kuda diiringi oleh para pengawal.

Kebetulan I Gusti Panji juga dalam perjalanan. Ki Pungakan Gendis tiba-tiba terkejut berhadapan dengan seorang pemuda gagah yang berdiri didepannya. Seketika Ki Pungakan Gendis menghardik kudanya. Kudanya menjadi garang dan dengan kaki depannya sang kuda menggores dada I Gusti Panji hingga terjatuh, namun tidak terluka. 

I Gusti Panji segera bangkit dan naik ke pohon lece. Ki Pungakan Gendis menyerang dengan kudanya, namun I Gusti Panji meloncat ke atas kuda dan keris pusaka menembus dada Ki Pungakan Gendis. Ki Pungakan gendis tidak segera menemui ajalnya karena memiliki ilmu kekebalan. Dengan tetap duduk di atas kudanya beliau meneruskan perjalanan pulang. Sampai dirumahnya barulah diketahui oleh para pengwalnya bahwa majikannya telah wafat karena tidak kuasa melawan kesaktian keris I Gusti Panji.

Keadaan penduduk desa Panji dan desa Gendis, sampai pada desa-desa sekitarnya tidak lagi merasa takut karena Ki Pungakan Gendis yang kelakuannya semena-mena terhadap penduduk telah tiada lagi. Sebaliknya, penduduk merasa mendapat perlindungan dan bimbingan dari I Gusti Panji yang dianggap pantas memimpin mereka.Menolong Perahu Terdampar.

Setelah beberapa lama, ada suatu kejadian, sebuah perahu bermuatan penuh barang dagangan terdampar di pantai Penimbangan. Perahu itu milik orang asing bernama Dempu Awang, seorang saudagar Cina. Dengan nada sedih sang saudagar minta tolong kepada Bendesa Gendis agar kapalnya bisa diselamatkan namun Bendesa Gendis tak sanggup menolong.

Kemudian datanglah I Gusti Ngurah Panji dan dengan cara yang penuh perhitungan beliau bisa melepaskan perahu dari jepitan batu karang, sehingga perahu itu kembali bebas. Sang saudagar Dempu Awang memberkan banyak hadiah kepada I Gusti Ngurah Panji berupa barang-barang mewah seperti piring - cangkir, cawan dan permadani, kain beludru yang mahal sampai bahan bangunan rumah. Selain itu juga uang kepeng atau jinah bolong alat pembayaran yang berlaku jaman itu.

Setelah mengucap syukur dan terima kasih kepada I Gusti Ngurah Panji, Dempu Awang pergi melajutkan pelayarannya.Dengan demikian, I Gusti Ngurah Panji mendapat harta yang cukup berlimpah yang diperlukan sebagai modal kelancaran geraknya dalam menjalankan tugas memimpin rakyat, disamping benda yang sudah dimiliki berupa keris pusaka Ki Semang dan tulup Ki Tunjungtutur yang mempunyai kekuatan magis sebagai kelengkapan dalam menjaga kewibawaan seorang pemimpin.

I Gusti Ngurah Panji sudah makin dewasa dalam umur dan juga dalam pengalaman. Setelah berumur melewati 20 tahun, beliau mengambil putri yang berparas ayu yang bernama I Dewayu Juruh. Gadis pilihannya itu tidak lain adalah putri Ki Pungakan Gendis almarhun yang dikalahkan dan gugur dalam perang tanding dahulu. Kemudian adik laki-laki I Dewayu Juruh tetap diberikan kekuasaan di Gendis dibawah asuhan Bendesa Gendis. Lama-kelamaan I Gusti Panji makin dikenal dan disegani di wilayah Den Bukit.Membangun Puri dan Pamerajan di desa Panji.

Setelah itu, I Gusti Ngurah Panji memindahkan pura yang berada di desa Gendis, yang disungsung oleh krama desa Gendis dan sekitarnya, ke pusat desa Panji. Seluruh masyarakat penyungsung pura tersebut menyatakan persetujuannya dan pura itu dijadikan Pura Desa Panji.Tidak berselang lama kemudian, I Gusti Ngurah Panji membangun puri terletak di sebelah timur jalan, bersebrangan dengan Pura Desa yang baru selesai.

Puri tersebut memang tidak dibangun secara mewah, namun sudah dilengkapi dengan merajan. Hal ini sesuai dengan petunjuk ayahnya I Gusti Ngurah Jelantik dahulu semasih di Gelgel sebagaimana ditegaskan kepada I Wayan Pasek agar dibuatkan Puri lengkap dengan Merajan. Semua merasa berbahagia, karena sekarang bisa terlaksana, yaitu I Gusti Ngurah Panji dinobatkan sebagai pemimpin dengan Puri serta Merajan. Namun sang ibu, Luh Pasek Gobleg tidak mau tinggal di dalam puri karena merasa dirinya kurang pantas dan tetap di rumahnya semula di sebelah utara. Semenjak itu penduduk bergembira dan sepakat untuk memberi beliau gelar "Ngurah", maka nama beliau menjadi I Gusti Ngurah Panji.

Membentuk Laskar Perang "Taruna Goak "Demikianlah I Gusti Ngurah Panji menjalankan kepemimpinannya dengan bijaksana dengan cara memberikan pengertian, pengayoman dan kemakmuran kepada rakyat di Den Bukit. Beliau sebagai seorang pemimpin perang, komandan pasukan, sang penakluk. Dengan pusaka keris Ki Semang dan Ki Tunjungtutur, seluruh rakyat Den Bukit tidak ada seorangpun berani menentang.

Dengan demikian beliau menjadi raja Den Bukit atau dengan nama Ler Gunung.Setelah usahanya berhasil menyatukan wilayah Den Bukit beliau membentuk laskar yang dsebut Teruna Gowak dibawah pimpinan Panglima Perang Ki Tamblang Sampun dan I Gusti Made Bahatan sebagai wakil Panglima Perang. Untuk menguatkan latihan perang, I Gusti Ngurah Panji mengangkat orang-orang bayaran, seperti orang Bugis dan orang Ambon sebagai pelatih perang.

Kemudian juga memasok senjata api yang diselundupkan orang-orang pelarian.Untuk menunjang kerajaan dari segi pembeayaan, perdagangan digiatkan.Beliau tidak segan-segan memperkerjakan orang asing seperti beberapa orang bangsa Cina, sebagai syahbandar dan Ambon, Makasar, juga beberapa orangBelanda sebagai untuk meningkatkan perdagangan.Patih I Gusti Agung Maruti mempengaruhi Dalem agar mengambil keris pusaka I Gusti Ngurah Jelantik.

Perlu diceritakan disini, bahwa sewaktu I Gusti Panji sedang memantapkan kedudukan di Den Bukit, terjadi kemelut dalam pemerintahan di istana Gelgel.Ini terjadi setelah Dalem Sagening wafat (tahun + 1650) yang kemudian digantikan oleh Dalem Pemayun yang masih muda. Pada waktu adanya peralihan jabatan itu muncul intrik dan fitnah antara kelompok para pejabatt Tinggi kerajaan untuk saling merebut kekuasaan.

I Gusti Ngurah Jelantik (ayah I Gusti Panji) di puri Jelantik, wafat karena umur lanjut. Beliau digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Gde Ngurah.yang tidak lain adalah adik (tiri) I Gusti Ngurah Panji. Setelah dinobatkan, I Gusti Gde Ngurah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik, sama dengan gelar ayahnya. Karena masih muda beliau dibina oleh I Gusti Gde Pring, pamannya. Pada waktu itu yang menjadi Patih Dalem Gelgel adalah I Gusti Agung Maruti yang sangat ambisius, ingin mengambil kekuasaan kerajaan Gelgel.

Dalam pada itu I Gusti Agung Maruti bermaksud mengambil / memiliki keris sakti pusaka I Gusti Ngurah Jelantik yang bernama Ki Mertyu Jiwa /Pencok Sahang yang dulu dipakai mengalahkan Ki Dalem Dukut di Nusa. I Gusti Ngurah Jelantik menolak untuk menyerahkan keris pusaka warisan leluhurnya yang merupakan anugrah Ida Batara di Pura Besakih. I Gusti Agung Maruti berkali- kali mengerahkan pasukan bersenjata mau membunuh I Gusti Ngurah Jelantik atas nama Dalem, tetapi tidak berhasil.I Gusti Ngurah Jelantik Mengungsi keluar dari wilayah Gelgel.

Untuk menghindari kejadian yang makin meruncing I Gusti Ngurah Jelantik beserta pamannya I Gusti Gde Pring minta pertimbangan I Gusti Ngurah Panji di Den Bukit dengan bersurat-suratan. Dari pertimbangannya timbul keputusan agar I Gusti Ngurah Jelantik menyelamatkan diri, bersama seluruh keluarganya dengan cara mengungsi ke daerah Barat bersama para pendukung yang setia.

Sampailah mereka di tepi sungai Ayung waktu hari mulai gelap. Mereka berjalan beriringan dan berpegangan tangan melalui jembatan “titi gantung” diatas sungai Ayung. Setelah sampai di seberang sungai baru disadari bahwa putra kedua I Gusti Ngurah Jelantik lepas dari rombongan dan menghilang. Para pengiring diperintahkan untuk kembali ke seberang sungai dan mencari putranya yang berumur sekitar 4 tahun itu (Untung Surapati), namun sia-sia belaka tanpa hasil. Dengan rasa sedih perjalanan diteruskan sampai di desa Marga, Mengwi. Setelah I Gusti Ngurah Jelantik melepas tugas sebagai panglima perang kerajaan, malahan pergi mengungsi keluar Gelgel menyebabkan kemelut di Istana Gelgel kian menjadi-jadi. Sehingga banyak petinggi kerajaan ikut mengungsi ke luar wilayah Gelgel, ada yang ke wilayah Timur ada yang ke Barat.

Tetapi masih banyak kerabat dan rakyat yang setia dan tetap berada di wilayah desa Gelgel mendukung I Gusti Agung Maruti. Banyak keluarga warga masyarakat terpecah belah, bahkan para warga Arya juga terpecah karenanya sehingga terjadi konflik di sana-sini. Banyak diantara pecahan berbagai warga mengungsi ke Den Bukit minta perlindungan I Gusti Ngurah Panji.I Gusti Agung Maruti Mengambil Alih Pemerintahan Gelgel.Patih I Gusti Agung Maruti mendapat simpati dan dukungan yang cukup luas di kalangan pejabat istana juga dari para Manca dan Punggawa. Puri Gelgel dikepung, namun Dalem Di Made dengan bantuan Anglurah Singaharsa dapat meloloskan diri diiringi 300 orang rakyat yang setia. Di luar istana terjadi pertempuran sengit di Tukad Bubuh di selatan desa Gelgel. Perjalanan Dalem berhasil sampai di Guliang. Setelah beberapa lama berselang Dalem Di Made wafat di Guliang, meninggalkan 2 putra yaitu:

Dewa Agung Mayun tinggal di Guliang membawa keris Ki Tanda Langlang, dan
Dewa Agung Jambe tinggal di desa Sidemen diasuh oleh Anglurah Singharsa membawa keris samojaya.

I Gusti Agung Maruti mengangkat dirinya sebagai Dalem Gelgel dengan gelar Dalem Maruti Di Made (tahun 1655). Untuk memperkuat kedudukannya Dalem Maruti Di Made minta bantuan persenjataan bedil dan meriam kepada Belanda di Batavia. Namun pihak Belanda bingung adanya pergantian penguasa di Gelgel - Bali juga dengan nama Dalem.

Pertemuan di Puri Singharsa - Sidemen (Tahun 1685).Pemerintahan kerajaan Bali selama kekuasaan I Gusti Agung Maruti dijalankan dengan cara semena-mena. Lama-lama kondisi seperti itu menyebabkan banyak punggawa ataupun Manca di seluruh bagian wilayah Bali ingin melepaskan diri dari pemerintahan yang berpusat di Gelgel dan membentuk kerajaan sendiri-sendiri.

Setelah beberapa kali mengadakan musyawarah di Sidemen, Anglurah Singharsa atas nama Dewa Agung Jambe mengirim Surat Undangan ke pada I Gusti Anglurah Panji di Denbukit dan Anglurah Nambangan di Badung. Juga ke semua Punggawa sampai Manca yang masih setia untuk hadir di Puri Sidemen membicarakan keadaan Bali yang dalam bahaya perpecahan.I Gusti Anglurah Panji yang memang sudah paham isi surat segera memerintahkan Panglima Perang Ki Tamblang Sampun ke Sidemen untuk mewakili beliau.Pertemuan di Puri Sidemen di pimpin oleh Dewa Agung Jambe, Anglurah Singharsa dan Pedanda Wayan Buruan.

Mereka semua sepakat dengan tekad bulat untuk menghancurkan kekuasaan I Gusti Agung Maruti. Dewa Agung Jambe memberikan surat kepada Ki Tamblang Sampun supaya disampaikan kepada I Gusti Anglurah Panji di Den Bukit yang isinya meminta bantuan menggempur I Gusti Agung Maruti yang menguasai Istana Gelgel.

Pasukan "Teruna Gowak" Menyerang Gelgel. Gabungan pasukan koalisi Bali terdiri dari laskar "Taruna Gowak" dari Den Bukit dipimpin oleh Ki Tamblang Sampun dan I Gusti Made Batan bermarkas di desa Panasan, lengkap dengan sarwa senjata keris, tombak, bedil sebagian dengan berkuda. Juga tidak ketinggalan bunyi-bunyian perang, kendang bende, cengceng. Pada waktu yang sudah ditentukan mereka mulai menyerang Istana Gelgel dari arah Barat Laut.

Pasukan dari Badung dibawah pimpinan I Gusti Jambe Pule melalui arah pantai menyerang dari arah Selatan Istana lengkap dengan garangnya. Sedangkan laskar Singaharsa menyerang dari arah Timur Laut dengan terlebih dahulu menundukkan desa-desa sekitar Gelgel. I Gusti Agung Maruti segera memerintahkan pasukan untuk bertahan.

Sulit untuk menceritakan dahsyatnya pertempuran, saling serang, saling serbu sehingga banyak jatuh korban nyawa.Pasukan Gelgel dibawah pimpinan I Gusti Agung Maruti sedang sengitnya menggempur pasukan Badung di sebelah selatan Gelgel mengamuk sehingga pasukan Badung banyak jatuh korban sehingga I Gusti Jambe Pule terpaksa mundur.

Pasukan Gelgel dengan orang-orang Jumpai sangat kuat terus mengepung sehingga I Gusti Jambe Pule dari Badung akhirnya tewas. Setelah itu pasukan Gelgel muncul dibawah pimpinan Ki Padangkerta yang mengejar laskar Taruna Gowak dari Den Bukit yang lari tunggang langgang. Seorang pimpinan regu Teruna Gowak terbunuh sehingga pasukan Den Bukit terus mundur kembali ke desa Panasan. (Rakyat desa itu merasa panas dengan adanya laskar Den Bukit, maka desa dinamakan Panasan) Dengan mundurnya pasukan Badung dan Den Bukit maka Dalem Maruti Di Made tetap menguasai Istana Gelgel.

Rakyat menganggap I Gusti Agung Maruti sudah menang dan rakyat berbondong-bondong kembali ke Istana Gelgel mendukung kedudukan I Gusti Agung Maruti.Mendengar berita bahwa I Gusti Agung Maruti masih tetap bercokol di Istana Gelgel membuat I Gusti Anglurah Panji sangat kecewa dan marah. Segera memerintahkan menyusun kembali pasukannya dan segera melakukan penyerangan kembali langsung dibawah Panglima Perang I Gusti Tamblang dan I Gusti Made Batan dengan tambahan persenjataan bedil.

Penyerangan kembali dilancarkan sesuai perintah I Gusti Anglurah Panji dengan turunnya I Gusti Tamblang Sampun ke medan pertempuran. I Gusti Tamblang langsung berhadapan dengan Panglima Perang Gelgel, Ki Dukut Kerta. Perang tanding orang per orang berkecamuk dengan dahsyat antar jago silat, saling tebas saling tusuk. Keduanya sama berani dan tangguh. Selang berapa lama akhirnya Ki Tamblang mengeluarkan ajiannya dan dapat menipu Ki Dukut Kerta dengan gerakan yang tidak bisa ditangkap oleh penglihatan.

Tiba-tiba Ki Dukut Kerta roboh oleh senjata di tangan Panglima Perang "Teruna Goawak" Ki Tamblang Sampun.Seketika itu pasukan Gelgel lari tunggang langgang tak tentu arah menyelamatkan diri karena merasa ngeri dan ketakutan Setelah itu pasukan Anglurah Singharsa membuat ranjau di sekitar Istana Gelgel. Sedangkan laskar Dewa Agung Jambe menggempur pasukan pengawal I Gusti Agung Maruti yang masih berada di dalam Istana Gelgel dan tidak mau menyerah.

Pasukan Den Bukit juga ikut menggempur Istana Gelgel. Kembali terjadi pertempuran sengit kacau balau tidak jelas kawan dan lawan, sehingga banyak rakyat yang jadi korban terbunuh didalam istana. Orang berlarian cerai berai keluar istana, bahkan keluar kota Gelgel. Dalam keadaan hiruk pikuk, I Gusti Agung Maruti dapat lolos keluar istana dan melarikan diri ke arah Barat ditemani Kyai Kidul dan Ki Pasek karena sudah berjanji sehidup semati. Namun terus dikejar oleh pasukan Dewa Agung Jambe dan pasukan Anglurah Singharsa sampai di Jimbaran. Di Jimbaran disambut oleh pasukan bersenjata yang dipimpin oleh Ida Wayan Petung Gading. Akhirnya melarikan diri ke desa Kuramas.

Mengangkat Pedanda Kemenuh sebagai Purohita.Pada waktu pemerintahan Gelgel dikuasai I Gusti Agung Maruti dengan gelar Dalem Maruti Di Made, sebagaimana telah diceritakan, banyak petinggi kerajaan mengungsi ke luar wilayah Gelgel, ada yang ke wilayah Timur ada yang ke Barat, bahkan ada yang ke Den Bukit.Demikian juga dialami oleh seorang Pendeta Brahmana Kemenuh yang bergelar Pedanda Wiraghasandi ingin kembali ke Jawa karena merasa sudah tidak diperlukan lagi berada di Gelgel yang pemerintahannya tidak seperti dulu lagi.

Beliau dengan keluarga dan pengiring yang setia sudah beberapa lama berada di desa Kayuputih wilayah Den Bukit. Beliau diterima baik oleh Bendesa Ki Pasek Gobleg. Pedanda Wiraghasandi selain ahli dalam Weda juga pandai membuat senjata seperti keris bertuah, sehingga dikenal dengan "keris pakaryan Kayuputih".

Pada suatu hari Ida Pedanda bersiap untuk berangkat meneruskan perjalanannya kembali ke Jawa, karena sudak cukup lama berada di desa Kayuputih. Namun dicegah oleh Bendesa Ki Pasek Gobleg agar beliau jangan pergi dan mohon dengan sangat kesediaannya untuk terus menetap di Kayuputih. Ida Pedanda mengatakan, beliau merasa ragu untuk mengikuti permintaan Ki Bendesa karena belum mendapat ijin I Gusti Ngurah Panji. Seketika Ki Pasek Gobleg tersentak, bahwa benar apa yang dikatakan Ida Pedanda.

Maka segera Ki Pasek Gobleg minta diri dan segera menghadap I Gusti Ngurah Panji di Puri Panji.Setelah Ki Pasek Gobleg memaparkan peristiwa yang menimpa Ida Pedanda Wiraghasandi, segera I Gusti Ngurah Panji menyongsong ke Kayuputih. Singkat cerita, terjadilah pembicaraan yang akrab dan saling menghormati. I Gusti Ngurah Panji mengangkat Ida Pendanda Wiraghasandi sebagai Bagawanta atau Purohita dan dikenal dengan nama Pedanda Sakti Ngurah.

Beliau dipindahkan ke Asram Banjar Ambengan dengan menguasai wilayah sebelah Barat Kalibukbuk dengan penduduk 3000 orang.Dengan didampingi seorang Bagawanta, I Gusti Ngurah Panji setiap waktu bisa mendapat petunjuk mengenai tata cara dan melengkapi persyaratan dalam membentuk kerajaan yang kuat dan mandiri. Atas petunjuk yang diberikan oleh Sang Bagawanta dibangun Prangkat Tatabuhan sebagai salah satu kelengkapan sebuah Kaprabonan atau Kerajaan. Perangkat tatabuhan diberi nama Juruh Satukad, paling depan dan belakang adalah Terompong, karena suaranya sangat menyayat hati dan manis seperti madu mengalir memenuhi sungai. 

Sepasang padahi disebut Bentar Kedaton karena suaranya seperti guruh membelah langit. Sebuah bende dinamai Ki Gagak Ora, suaranya seperti ribuan burung, sebuah petuk kajar dikenal dengan nama KI Tundung Musuh, dengan suara mengerikan membuat musuh lari terbririt-birit. Kemudian ada beri yang namanya Glagah Katunwan dengan suara seperti padi kebakaran yang sangat menakutkan. Kemudian ada sepasang gubar, suaranya seperti guntur bertalu-talu karenanya diberi nama Gelap Kesanga. Demikianlah Tatabuhan yang telah dimiliki oleh I Gusti Ngurah Panji yang telah menyatakan diri sebagai raja Buleleng (Den Bukit)

I Gusti Ngurah Jelantik kembali ke Gelgel.Keberadaan kota Gelgel berangsur pulih setelah I Gusti Agung Maruti dapat dikalahkan. Namun kondisi Puri Gelgel dengan pemerintahannya haruslah ditata kembali. Dewa Agung Jambe memohon agar Dewa Agung Mayun, kakaknya, mau duduk sebagai kepala pemerintahan sebagai penerus Sesuhunan Bali.Namun Dewa Agung Mayun tidak mau karena kemenangan bukan karena perjuangan beliau. Untuk menata kembali pemerintahan, Dewa Agung Jambe memanggil semua keluarga / kerabat keturunan para Arya yang dulu pernah setia untuk kembali bergabung sebagaimana yang dulu pernah dilakukan oleh para leluhur mereka.

Semuanya diingat kembali, terutama I Gusti Ngurah Jelantik yang sudah mengungsi di desa Selantik wilayah Mengwi. Setelah beliau wafat, diganti oleh putranya, I Gusti Ngurah Gde sudah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik sebagaimana gelar ayahandanya. Dewa Agung teringat akan semua jasa I Gusti Ngurah Jelantik waktu pemerintahan dipegang leluhurnya dahulu.Dewa Agung Jambe mengetahui bahwa I Gusti Ngurah Jelantik faham perihal tattwa dan juga sudah “mabisheka”.

Namun beliau berada di desa Selantik tidak lagi di Gelgel. Maka ditugaskan seorang utusan untuk membawa surat ke desa Selantik. Sampailah utusan di Selantik dan masuk ke istana Jelantik yang sedang penuh sesak oleh para tamu dan pelayan istana.I Gusti Ngurah menyapa:

,, Eh, kita anu, tan wruh manira! Wong saking ĕndi sira datĕng mara ngke? Warah manira!”(Ee, engkau siapa, aku belum kenal! Orang dari mana kamu datang kepadaku? Jelaskan kepadaku).Utusan menjawab: ,,Sējnĕ, ki gusti, kawula ingutus denira pĕduka bhattara ring Gelgel, sang apura ring Semarapura, kenendyan angaturakĕn puang cewalapatra” 

(Mohon maaf ki gusti, hamba diutus beliau paduka batara di Gelgel, yang beristana di Semarapura, bertugas menghaturkan sebuah surat”).Surat itu pun diambil oleh I Gusti Ngurah. Isi suratnya:,,

Eh, kita Ngurah Jelantik, mulih po kita maring Gelgel! Ulihana weçmana mwah ana ring Jelantik. Aywa kita alah-aca, anut wyadhi ning bapanta nguni, apan citra ning dewa, mangke manira eling i kita, tan dadi laling citta, apang tan mageng pangayanta lawan manira, sangkaning kuna-kuna”.

(E, Ngurah Jelantik, pulanglah kembali ke Gelgel. Dan kembali tinggal di istana yang ada di Jelantik. Jangan kita salah pengertian, sesuaikan kembali sebagai ayahmu dulu, karena selalu ingat akan leluhur, sekarang aku ingat padamu, tidak boleh kita saling melupakan, karena besar tugas kita bersama-sama, sejak jaman dahulu).

Lantas I Gusti Ngurah Jelantik berkata kepada utusan, agar menyampaikan kepada Dalem, bahwa perintah akan dilaksanakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik, katanya:.

,,Eh, kita potusan, pamatur po kita, aturakĕne manirânuhun wacana Dalĕm".(E, engkau utusan, sampaikanlah olehmu, katakan bahwa aku menuruti perintah Dalem).

I Gusti Ngurah Jelantik segera berkemas-kemas. Tidak diceritakan berapa lama kemudian I Gusti Ngurah Jelantik sudah berada kembali di kediaman dahulu yaitu di puri Jelantik di Gelgel. Beliau lantas menghadap Dewa Agug Jambe di puri Gelgel yang sedang penuh sesak oleh tamu, pada pemuka, para Arya saha wadwa. Tidak lain acara yang dibahas adalah usaha untuk mengembalikan kerajaan Gelgel seperti dahulu, sebelum dinodai oleh I Gusti Agung Maruti.

Masalah ini perlu dibahas untuk mendapat dukungan semua pihak.I Gusti Ngurah Jelantik mendapatkan posisi dirinya dalam keadaan yang dirasakan sangat sulit. Apalagi kalau diingat pengalaman kakeknya di puri Gelgel yang penuh dengan pengorbanan dan penderitaan pada waktu I Gusti Agung Maruti sebagai Perdana Menteri. Yang menjadi pikirannya sekarang hanyalah minta bantuan kepada I Gusti Ngurah Panji di Buleleng (Den Bukit) untuk melepaskan diri dari tekanan perasaan seperti sekarang ini.

Kekacauan di Blambangan.Kerajaan Blambangan masih dalam kekuasaan Mataram dan keadaan ini menjadi perhatian yang serius I Gusti Anglurah Panji. Setelah Sultan Agung wafat (tahun 1645) di ujung Jawa Timur muncul Pangeran Tawangalun dengan membangun kekuatan di desa Bayu yang kemudian menjadi ibu kota Blambangan. Adiknya bernama Mas Wila menyerangnya tetapi dapat ditundukkan dan membuat Pangeran Tawangalun menjadi penguasa seluruh wilayah Blambangan menjadi Adipati dari Macan Putih. Istana Macan Putih menjadi pusat atau Ibu kota Blambangan. Dibawah Pangeran Tawangalun Blambangan ingin lepas dari Mataram. Namun Panji Sakti merasa kawatir karena Tawangalun minta bantuan VOC (Belanda) untuk melawan Untung Surapati yang telah melebar kekuasaannya di Jawa Timur.

I Gusti Ngurah Panji menjadi risau karena pihak Belanda sudah bersedia membantu Blambangan untuk menggempur Surapati. Surapati yang bergelar Raden Tumenggung Wironegoro telah menguasai Pasuruan, Probolinggo, Panarukan, Malang, Lumajang, wilayah Puger / Kedawung, Jember.

Namun belakangan ini komunikasi sulit untuk bisa bergabung dengan laskar Surapati yang selalu berpindah.Permainan "Gowak-gowakan".Ki Tamblang Sampun mendapat perintah dari I Gusti Anglura Panji untuk memanggil seluruh anggota laskar Teruna Gowak untuk berkumpul dihalaman Puri Panji. Dalam waktu yang ditentukan semua hadir tanpa kecuali. Acara dimulai dengan upacara ritual dan disusul pementasan tarian "Baris Gowak" yang ditarikan oleh 20 orang anggota pasukan. Setelah itu dimulailah permainan "Magowak-gowakan", yaitu permainan "Medangdang-dangdangan", yaitu permainan saling isi mengisi keinginan sadrasa antara anggota dalam permainan.

Masing-masing orang bergiliran menjadi "Gowak" yang boleh meminta apa saja yang diinginkan. Seluruh pemain telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, makanan-minuman (boga), pakaian, perabot (upaboga) termasuk perempuan untuk isteri (pariboga). Semua itu diberikan oleh I Gusti Ngurah Panji kepada anggota "Teruna Gowak".

Pada giliran akhir, I Gusti Anglurah Panji menjadi "Gowak". Seluruh pasukan Teruna Gowak serempak bertanya: "Hai Gowak, apa keinginanmu?" Sang Gowak menjawab: 

"Guaak, gwaak, gaak, aku ingin menggempur Blambangan.....!!"(... ri uwusiŋ samaŋkana / gumanti sri bupati dadi gowak / tinaňan deniŋ papatih kabeh / gowak apa karĕpmu / sumawur tikaŋ gowak / gowak guwak / wak / arĕp anjayêŋ Braŋbaŋan / asurak tikaŋ wwaŋ kabeh / apan sĕsĕk syuh pĕnuh punaŋ bala ananonton /..)

Seketika riuh bersorak gemuruh dengan penuh semangat untuk memenuhi keinginan Sang Gowak, tidak lain I Gusti Anglurah Panji sebagai gowak. Para hadirin dan penonton semuanya bersorak riuh memberi dukungan semangat untuk mengempur Blambangan.Penyerangan "Teruna Gowak" ke Blambangan (ke 1).Laskar Den Bukit "Teruna Gowak" harus telah dipersiapkan dengan segala kemampuan karena I Gusti Anglurah Panji menyadari bahwa prajurit Blambangan dengan pasukan berpengalaman yang terkenal kebal senjata dengan ilmu tenung. Oleh karena itu persiapan matang harus dilakukan. Selain keris, tombak dan panah juga dikembangkan senjata sumpit dengan panah beracun. Lagipula letak ibu kota Blambangan berpindah beberapa kali membuat strategi penyerangan sulit.

Laskar dibagi empat bagian, termasuk armada kapal laut, pasukan panah, sumpit, tombak termasuk pasukan senjata api (bedil) dan logistik.Setelah ditentukan hari yang baik oleh Sang Bagawanta mulailah pasukan bertolak ke Blambangan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Panji berbekal senjata keris pusaka Ki Semang dengan tulup Ki Pangkajatattwa. Selain itu ada dua senjata bertuah asli buatan Banjar, Ki Baru Ketug dibawa oleh I Gusti Tamlang dan Ki Baru Sakoti dibawa oleh I Gusti Batan. Armada kapal berlayar melalui Segara Rupek menuju pantai Tirta Arum. Sampai di Candi Gading bergabung dengan pasukan Macan Gading untuk mengempur Adipati Blambangan.

Penduduk sangat terkejut munculnya pasukan Teruna Gowak yang menyerang tiba-tiba. Banyak penduduk yang lari tanpa arah, ada yang ke utara dan ke selatan. Ada yang lari menuju kota. Sampai di Banger mendapat perlawanan sengit dari pasukan Macan Putih Blambangan. Pertempuran berkecamuk secara membabi buta. Mayat bergelimpangan dan darah membasahi medan pertempuran.

Pasukan Bali sangat ahli mempergunakan senjata sumpit sehingga banyak jatuh korban dari pihak laskar Macan Putihakan mampu menandingi pasukan Bali dan memerintahkan agar prajurit akan mampu menandingi pasukan Bali dan memerintahkan agar prajurit Blambangan mengamankan Istana Blambangan dan melindungi keluarga raja. Kenyataannya Adipati Blambangan, Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit sudah meninggalkan istana melarikan diri ke Mataram.sudah meninggalkan istana melarikan diri ke Mataram.Sesampainya laskar Teruna Gowak di depan Istana Blambangan tanpa perlawanan yang berarti, I Gusti Ngurah Panji masuk dan memeriksa istana mendapatkan keadaan istana telah kosong. Beliau duduk dalam balairung yang disebut Kertagosha.

Dengan demikian Kerajaan Blambangan dapat dikuasai oleh I Gusti Ngurah Panji. Ribuan prajurit Blambangan menyerahkan diri kepada Patih I Gusti Tamblang dan bersumpah setia kepada I Gusti Anglurah Panji Raja Den Bukit.Setelah beberapa lama berada di Blambangan, beliau mengangkat putranya tertua I Gusti Ngurah Wayan sebagai Raja Blambangan dengan pasukan prajurit 600 orang. Dalam perjalanan kembali ke Den Bukit, I Gusti Ngurah Panji dengan laskar Teruna Gowak menyerang wilayah Jembrana yang setelah ditaklukkannya menjadi daerah kekuasaannya. Demikianlah wilayah Jembrana menjadi wilayah kerajaan Den Bukit. Sekarang wilayah Ben Bukit yang dikenal dengan Buleleng dan wilayah Jembrana disebut Bali Utara. 

Menantu dari Mengwi.I Gusti Ngurah Panji Sakti mempunyai beberapa isteri. Dari para isteri memberikan beliau keturunan beberapa orang putra dan beberapa orang putri.Setelah keinginannya menguasai wilayah Blambangan tercapa I Gusti Ngurah Panji Sakti merasa lega. Beliau telah mempercayakan kepada putranya berkuasa di Blambangan dan telah bisa menjalankan roda pemerintahannya di ujung Jawa Timur. Harapannya adalah agar bisa menyatukan kekuasaannya dengan Untung Surapati yang sudah mengusai wilayah Pasuruhan dan sekitarnya.Sedang dalam menata rencana, tiba-tiba datang seorang utusan menghadap I Gusti Panji. Utusan itu menyampaikan bahwa seseorang dari wilayah Mengwi ingin bertemu. Setelah I Gusti Panji tahu maksud kedatangan tamu tersebut lalu dengan senang akan menerima kedatangannya.

Tidak berselang waktu lama, datanglah seeorang memperkenalkan diri, bernama I Gusti Agung Anom dari Puri Kapal dengan iringan beberapa orang. Setelah memperkenalkan diri, I Gusti Agung Anom mengutarakan maksudnya yang tidak lain adalah ingin meminang putri I Gusti Ngurah Panji yang bernama I Gusti Ayu Panji.Setelah perpikir sejenak, I Gusti Ngurah Panji bertanya kepada I Gusti Agung Anom, apakah sudah mengenal I Gusti Ayu Panji, siapa dia sebenarnya. Setelah beberapa perbincangan dijelaskan, bahwa I Gusti Ayu Panji adalah putrinya yang berasal dari keturunan wangsa kebanyakan, bukan keturunan wangsa tinggi. Demikianlah penjelelasan I Gusti Ngurah Panji dengan jelas dan jujur tanpa menyembunyikan dari mana asal beliau sebenarnya.

I Gusti Agung Anom menjawab dengan tegas bahwa sudah tahu dengan jelas dan tidak ragu-ragu mencintai dan memperisteri I Gusti Ayu Panji. Mendapat penjelasan demikian, I Gusti Ngurah Panji bertanya sekali lagi kepada I Gusti Agung Anom sebelum menyampaikan putusan akhir :

"Apakah anakku I Gusti Ayu Panji, nantinya dianggap sebagai isteri panawing ataukah selir?"

Pertanyaan tegas calon metuanya itu membuat I Gusti Agung Anom terpaku sejenak namun segera menjawab dengan kata maaf bilamana kedatangannya membuat kesan ragu ketulusan hatinya, bahwa tidak ada maksud lain, hanyalah bermaksud mohon agar I Gusti Ayu Panji bersedia mendampinginya sebagai isteri perami atau permaisuri, tidak ada maksud dan arti lain, demikian kata I Gusti Agung Anom.Suasana hening, hanya terdenganr napas napas panjang. Kemudian wajah-wajah tegang berangsur lembut menjadi cerah.

I Gusti Ngurah Panji berkata, bahwa bukan bermaksud mengusut atau curiga akan tetapi ketegasan perlu agar tidak terjadi kesalah-fahaman dikemudian hari. Akhirnya, setelah menemui saling pengertian, I Gusti Ngurah Panji dengan senang hati merelakan puterinya, I Gusti Ayu Panji dipinang oleh I Gusti Agung Anom dari Puri Kapal, Mengwi. Tidak lama kemudian, setelah dilangsungkah widiwidana di desa Kapal, terjalinlah ikatan keluarga antara mereka yang tambah lama makin erat.

Selanjutnya, para putra I Gusti Ngurah Panji di Den Bukit sudah berkembang sampai cucu. Semuanya saling mencintai dan rukun. Demikian pula I Gusti Ayu Panji yang kawin ke desa Kapal juga suda menurunkan beberapa orang putra dan putri. Pergaulan antara para putra dan para cucu I Gusti Ngurah Panji di Den Bukit sangat akrab. Berselang beberapa lama setelah mereka dewasa, di antara apar cucunya diberikan kekuasaan di bagian Barat yaitu wilayah desa Petemon, wilayah Timur di desa Jagaraga dan dibagian tengah di desa Buleleng.

Entah berselang berapa lama, ada terdengar berita, oleh I Gusti Anglurah Panji,bahwa cucunya I Gusti Ngurah Jelantik, sudah lama berada kembali ke Gelgel karena diperlukan Dalem di Gelgel. Namun I Gusti Ngurah Jelantik mendapatkan posisi dirinya dalam keadaan yang dirasakan sangat sulit, karena mengingat keadaan sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Kalau saja tidak karena dipanggil oleh Dewa Agung Jambe, mungkin beliau masih berada di Selantik, wilayah Mengwi.Untuk mengembalikan wibawa kerajaan Gelgel kembali seperti dulu sangat sulit. Tugas yang diembannya dirasakan sungguh berat terutama beban pikiran.

Apalagi kalau diingat pengalaman kakeknya di Gelgel dahulu, yang penuh pengorbanan dan penderitaan oleh kedengkian I Gusti Agung Maruti masih terngiang. Yang menjadi pikirannya sekarang hanyalah untuk minta bantuan kepada I Gusti Ngurah Panji, kakeknya, di Buleleng (Den Bukit) untuk melepaskan diri dari tekanan perasaan seperti sekarang ini. Oleh karena demikian keadaannya, I Gusti Ngurah Jelantik melayangkan selembar surat ke Den Bukit minta bantuan kakek beliau, tak lain adalah I Gusti Ngurah Panji. I Gusti Ngurah Panji segera pergi ke puri Jelantik diwilayah Gelgel lengkap dengan pasukan inti Teruna Gowak untuk berjaga-jaga.

Didapatkan orang-orang yang berada dalam istana sangat sedih dalam hati, terutama Ki Gusti Ngurah Jelantik, menceriterakan kesusahannya, Setelah selesai daya upayanya, akhirnya atas perintah I Gusti Anglurah Panji, mereka serempak pergi dari daerah Gelgel, mencari tempat menuju ke desa Tojan daerah Blahbatuh.I Gusti Ngurah Panji selanjutnya memandu di perjalanan, lalu beristirahat di daerah utara desa Beng Gianyar, ada tanaman-tanaman penduduk di sana berupa kacang tanah, dimakan oleh gajah tunggangan beliau I Gusti Ngurah Panji, karenanya ada wilayah yang bernama Kacang Bedol, sampai sekarang, oleh karena gajah tunggangan beliau memakan kacang yang ada di sana, tidak diceritakan perjalanan beliau yang mengungsi, lalu tiba di daerah Tojan, dijemput oleh Ki Bendesa Wayan Karang. Sesampai di Tojan, I Gusti Ngurah Panji berkata kepada cucunya, I Gusti Ngurah Jelantik:,

,Singgih, gusti ngurah, ki bendeça puniki prēsiddha mūla pra menak ing Bali: ipun siddha pagamĕlin manira angibukin gūmi n i gusti iriki. Munggw ing mangkin i gusti jumĕnĕng iriki, i gusti andrĕweni sadagingipun ....''

(Artinya: Demikian gusti ngurah, ki bendesa Wayan Karang adalah berasal dari pra menak di Bali yang aku beri memegang wilayah untuk i gusti di sini. Sekarang, i gusti tinggal menetap di sini dan memiliki segala isinya...")I Gusti Ngurah Panji memberikan kekuasaan berpenduduk 14000 orang, meliputi daerah Batur, Tihing Ambwa, Sekar-Mukti, Bon Manuk, Trunyan, Songan, Bayung, Sekar Dadi, Catur dan Batur seisinya.Selanjutnya I Gusti Ngurah Panji membangun puri lengkap dengan pura.Gajah tunggangan beliau, digembalakan di daerah bagian barat laut daerah Tojan, itulah sebabnya bernama daerah Angon Liman, Bangun Liman nama lainnya sampai sekarang, dan di bagian timurnya ada semak belukar, tempat beliau I Gusti Anglurah Panji berburu, dinamakan desa Buruwan sampai sekarang.

I Gusti Ngurah Jelantik membentuk laskar Truna Tojan dengan 200 orang yang berada di Blahbatuh. Kedudukan I Gusti Ngurah Jelantik sudah menetap di Blahbatuh didampingin oleh I Gusti Nyoman Tusan yang membangun puri di Bona, sedangkan I Gusti Pring di wilayah Blahbatuh.

Seorang putranya gugur di BalmbanganPada suatu waktu di ruang balairung puri di desa Panji, I Gusti Ngurah Panji sedang menerima punggawa para bendesa lengkap dengan pasukan Teruna Goak. Tidak terkecuali hadir I Gusti Tamlang Sampun dan I Gusti Made Batan. I Gusti Ngurah Panji mempertanyakan perihal putra beliau yang ada di Blambangan, antara lain beliau berkata:,,E, kita Tamlang, angapa dadi tan prāpta anak manira, sang adiry eng Barangbangan, an wuwus ingundang nguni. Pasobyahannya datĕng rakwânglawad manira ring Weçakhamāsa. Bĕcik lalayar ing palwa. Wus pantaran ing Jyeşthakamāsa, dadi durung prāpta anak manira. Lah, cĕttanĕn ri idĕpta!’’(Wahai engkau Tamlang, mengapa anakku tidak hadir padahal sudah aku undang dulu. Janjinya menghadap aku pada bulan ke 10.

Baiknya , sekarang sudah masuk bulan ke 11 belum juga datang. Wah apa alasan dirinya!)I Gusti Tamlang segera menjawab:,,Inggih Gusti Ngurah, manawamangguh kewuh anak I gusti, siddhânglongi panĕmaya, apan tan ana mātrā ning wrĕttā”.( Benar Gusti Ngurah, barangkali menemukan kesulitan putra Gusti, sampai tidak bisa hadir menepati janji, lagi pula tidak ada kabar berita).Belum selesai berkata-kata, tiba-tiba ada suara riuh di pasar membuat orang semua terkejut 

Delapan orang mengaku dari Blambangan bergegas masuk kepuri. Orang-orang itu berpakaian compang camping dan badannya penuh luka berdarah.. Mukanya pucat karena tidak makan selama dalam perjalanan di laut. Mereka meloloskan diri untuk bisa melaporkan kepada I Gusti Ngurah Panji, bahwa putranya telah gugur, wafat dikerubuti musuh dan terbunuh oleh keris Ki Baru Surya.I Gusti Ngurah Panji sangat kaget dan gusar mendengar gugurnya putranya di Blambangan.

Setelah mendapat petuah dan petunjuk oleh Bagawanta, I Gusti Ngurah Panji dapat menenagkan diri dan merencakan langkah-langkah yang segera perlu diambil.Laskar Teruna Gowak kalah di Blambangan.Waktu itu warsa Içaka 1618 atau tahum 1696 M. Setelah seluruh laskar inti Teruna Gowak serta seluruh balawadwa dan segala perbekalan senjata dan logistik siap, maka segera serentak pasukan laskar berangkat dibawah pimpinan langsung I Gusti Ngurah Panji.

Tidak diceritakan bagaimana perjalanan darat dan di laut, namun dapat begitu sampai di pantai menginjakkan kaki di bumi Blambangan, pasukan dari Bali itu mendapat perlawanan yang sengit. Rupanya pertahanan sudah dipersiapkan oleh Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit secara matang. Namun laskar inti Teruna Gowak di bawah panglima pernag I Gusti Tamlang dan I Gusti Batan dapat menerobos membuat laskar Blambangan kocar kacir. Namun pasukan belakang Blambangan sudah dipersiapkan menghadang laskar Terna Goawak.

Pertempuran sengit luar biasa. Banyak laskar kedua pihak berguguran dan darah membasahi tanah Blambangan. Namun tiba-tiba I Gusti Ngurah Panji memerintahkan I Gusti Tamlang agar pasukan segera mundur. Memang kondisi pasukan Bali sudak terdesak. Waktu sudah mulai gelap sangat berbahaya bagi laskar Bali dalam medan yang asing. Mendengar perintah demikian, pasukan Bali segera menuju pantai menyelamatkan diri. Mereka kecewai menemukan seluruh perahunya sudah porak poranda. Mereka bergelantungan di pecahan perahu sambil berenang sekuatnya menyeberangi Segara Rupek (Selat Bali) untuk mencapai pantai Bali.Sedang bergelayut pada pecahan perahu, I Gusti Ngurah Panji terkejut melihat beberapa ekor ikan lumba-lumba ( ikan julit) berenang mendekat dan kemudian tiba-tiba membelok, sepertinya ingin menunutun rombongan untuk mendapatkan arah yang benar menuju pantai Bali.Sampilah mereka kembali di desa Panji.

Rombongan I Gusi Ngurah Panji dan laskar teruna gowak disambut oleh masyarakat dengan keprihatinan karena mendapatkan kekalahan di Blambangan.Entah berapa lama berlalu, I Gusti Ngurah Panji berusaha menata kembali strategi penyerangan kembali ke Blambangan. Beliau didampingi oleh putra putri, kerabat semua. Ikut hadir bagawanta beliau Ida Pedanda Sakti Ngurah. Disamping itu pula hadir menantu beliau I Gusti Agung Anom dari Kapal Mengwi dan Raja Tabanan. Dengan dukungan dan bala bantuan dari Mengwi dan Tabanan terbentuk pasukan gabungan yang sangat besar dan tangguh untuk dipersapkan menyerang Balmbangan.

Penyerangan kembali ke Blambangan.Içaka warsa 1619 atau tahun 1697, rencana yang besar pun rampung. Tidak lama kemudian penyerangan ke Blambangan di laksanakan. Penyerangan pendahulu dari arah Selatan dilaksanakan oleh laskar Tabanan. Pasukan perang Blambangan segera menyongsong maka terjadi pertempuran sengit. Sedangkan dari arah Timur serangan dilancarkan laskar Teruna Gowak pimpinan I Gusti Tamlang Sampun dan I Gusti Made Batan.

Tidak lama berselang laskar Mengwi menyusul.Pangeran Mas Sedah berseru kepada I Gusti Ngurah Panji:,,Eh, kita Ngurah Paňji, mwa sira Bali, mĕnawângsa wirang; apan kasor nguni, duk aparang eng kikisik. Pisan mangke takĕrana prĕbhāwa! Lah, Tangkĕpakĕn lungid ing sangjatanta!”(E, kau Ngurah Panji, dan semua dari Bali yang menuntut bela, karena kekalahanmu dulu waktu bertempur di pantai. Sekarang datang menuntut balas! Wah, silakan hadapi dengan pertempuran!)I Gusti Ngurah Panji segera menjawab:,,Ih, Ki Dewa Mas Sĕdah, agung kitângucap, tan wruh lawan dosâgĕng, dentâmĕjah anakku! Yan tan olih manirâmalĕs, mari manira mapanĕngĕran ki Ngurah Panji Çakti!”(E, Ki Dewa Mas Sedah, besar omonganmu, seperti tidak tahu hal dosa besar, engkau telah membunuh anakku! Kalau tidak berhasil membalas, janganlah aku diberi gelar Ki Ngurah Panji Sakti!)Suasana sudah memanas.

Pertempuran bersar-besaran sudah tidak bisa dielakkan lagi. Dalam pertempuran itu, Pangeran Mas Pahit, yang lebih muda dari dua bersaudara, gugur terbunuh oleh I Gusti Made Batan dengan keris Ki Bayu Çakti.Yang lebih tua, Pangeran Mas Sedah mengerahkan pasukannya dengan perlawanan sengit terhadap laskar Teruna Gowak.

Pangeran Mas Sepuh langsung menyerang I Gusti Ngurah Panji, namun dihadang oleh Panglima Teruna Gowak, I Gusti Tamlang Sampun sehingga mendapat luka tusukan didadanya oleh Pangeran Mas Sedah dengan keris Ki Baru Surya. I Gusti Tamlang Sampun diusung oleh laskar Bali dan keadaannya selamat. Pangeran Mas Sedah ternyata juga terkena anak panah senjata Tunjung Tutur sehingga langsung gugur.Dengan gugurnya kedua Pangeran Blambangan,Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit, maka secara keseluruhan pasukan Blambangan langsung menyerah.

Wilayah kerajaan Blambangan menjadi kekuasaan I Gusti Ngurah Panji (Çakti).Setelah berhasil menguasai Blambangan, I Gusti Ngurah Panji bersama-sama I Gusti Agung Anom, menantunya, masuk keistana Dalem Blambangan. Kemudian disusul oleh raja Tabanan. Dalam pertemuan itu raja Tabanan mengingatkan, bahwa seluruh hasil kemenangan, termasuk segala harta benda jejarahan, tawanan perang harus dibagi tiga samarata.Tetapi I Gusti Ngurah Panji Çakti tidak membenarkan seperti itu. Yang berhasil menaklukkan Pangeran Mas Sedah dan Pangeran Mas Pahit adalah pihak I Gusti Ngurah Panji Çakti, bukan pihak raja Tabanan. I Gusti Agung Anom membenarkan hal tersebut. Raja Tabanan marah, merasakan tidak adil dan karena itu beliau dengan seluruh pasukan segera kembali ke Tabanan.
Lama kelamaan wafatlah beliau Sri Dalem Kapakisan, beliau meninggalkan tiga orang putra laki-laki, satu orang perempuan, yang pertama bernama Dalem Samprangan, beliau suka bersolek, yang kedua bernama Dalem Tarukan, beliau kurang waras, mengawinkan saudara perempuannya dengan kuda, selanjutnya yang bungsu beliau bernama Dalem Ketut, beliau yang menggantikan kedudukan ayahnya, selanjutnya beralih istana ke Swecalinggarsapura. 

Setelah beliau kembali ke alam baka, beliau digantikan oleh putranya, yang bernama Dalem Watu Renggong. Setelah beliau wafat, beliau juga diganti oleh putranya, yang bergelar Dalem Sagening, yang selanjutnya banyak menurunkan anak cucu, itulah sebabnya ada jenjang martabat kebangsawanan keluarga kesatria ( nista, madya, dan utama). Semuanya adalah para putra awalnya, oleh beliau Sri Aji Dalem Sagening.

Diceritakan beliau Arya Kapakisan, sebagai mahapatih daerah Bali, putra beliau yang tertua bernama Nyuh Aya, adik beliau Arya Asak, beliaulah sebagai leluhur keluarga raja Mengwi. Adapun Beliau Arya Nyuh Aya, beliau berputra tujuh orang, yang tertua beliau Ki Arya Patandakan, adik beliau Ki Arya Kasatrya, Ki Arya Pelangan, Arya Akah, beliau Arya Kaloping, Arya Cacaran, serta beliau Arya Anggan.



Kembali diceritakan putra beliau Ki Arya Cacaran, Ki Arya Pananggungan, berputra Ki Arya Pasimpangan, berputra Ki Gusti Ngurah Jarantik, beliau pemberani dalam pertempuran, beliau meninggal dalam pertempuran di Pasuruhan, beliau meninggal masih muda, adalah putra beliau, yang bernama Ki Gusti Ngurah Jarantik Bogol, sebab ayah beliau meninggal dalam keadaan tanpa senjata.

Kembali diceritakan, adalah seorang wanita bernama Si Luh Pasek Panji, ia memang berasal dari desa Panji daerah wilayah Den Bukit, ia menjadi abdinya Sri Aji Dalem Sagening, ia sudah gadis dewasa, pada saat hari yang baik, kebetulan saja Si Luh Pasek sedang buang air kecil (kencing), air kencing Si Luh Pasek terpijak oleh beliau Dalem, terasa panas tanah bekas air kencingnya, terhenyak beliau Dalem, selanjutnya beliau menanyai abdinya, siapa yang mempunyai bekas air kencing itu, yang ditanya menjelaskan dengan sesungguhnya, bahwa Si Luh Pasek yang mempunyai bekas air kencing itu, saat itulah beliau Sri Aji Dalem Sagening memikir-mikirkan keutamaan Si Luh Pasek Panji, bagaikan tersentak timbul birahinya, oleh karena dimabuk asmara, akhirnya Si Luh Pasek digauli, akhirnya ia berhasil diperistri oleh Sri Aji Dalem Sagening, disertai dengan kelengkapan upacara seorang istri, entah berapa lama, akhirnya Si Luh Pasek kelihatan hamil. 

Akhirnya ingatlah beliau Sri Aji Dalem Bali, oleh karena sudah tiba saatnya, beliau wafat ke alam baka, akan tetapi belum ada balas jasa beliau terhadap Arya Jarantik, sebagai orang kepercayaan beliau, oleh karena banyak pengabdian yang sudah dilakukan dengan taat dan hormat selama beliau mengabdi, dari leluhur beliau dahulu, dengan kesetiaan dan ketaatan yang kuat, menyebabkan tumbuh rasa kasih sayang beliau Sri Aji Dalem. Itulah sebabnya Si Luh Pasek Panji yang sudah hamil diberikan kepada Ki Gusti Ngurah Jarantik, akan tetapi ada pesan Dalem, kepada Ki Gusti Ngurah Jarantik, supaya tidak menggauli mencampuri sanggama, serta ada lagi janji Dalem, kemudian apabila lahir anak itu, supaya Ki Gusti Ngurah Jarantik bersedia mengangkat sebagai anak angkat, supaya bersaudara dengan anak beliau, yang bernama Ki Ngurah Jarantik, yang sudah dewasa, tidak menolak mereka yang diperintah. 

Entah sudah berapa lama, setelah waktunya akan melahirkan, lahirlah anak beliau Si Luh Pasek Panji laki-laki sangat tampan tanpa cacat cela, juga dari ubun-ubun anak itu keluar sinar, sebagai tanda seorang calon pemimpin, sakti dan berani kemudian unggul dalam peperangan, hati beliau Ki Gusti Ngurah Jarantik sangat girang, setelah Dalem diberitahu, selanjutnya anak itu diupacarai, sesuai dengan upacara Arya Ngurah Jarantik, selanjutnya anak itu diberi nama Ki Barak Panji.

Adapun istri Ki Ngurah Jarantik, ternyata tidak setuju hatinya, sangat murung dan duka hatinya, melihat anak itu demikian, sehingga timbul iri hati beliau, oleh karena tidak lahir dari dirinya sendiri, diduga akan menyebabkan anak beliau tersisih nantinya, sebab anak beliau sendiri, tidak demikian perbawanya, kejengkelannya ditelan saja, terpendam di hati terus-menerus. 

Setelah Ki Barak Panji dewasa, beliau menghadap raja, mengabdi kepada Sri Aji Dalem Sagening, selanjutnya dikumpulkannya dengan putra para Arya lainnya, yang sama-sama mengabdi.

Tiba-tiba malam hari, ketika orang-orang tertidur lelap dalam istana, kebetulan Sri Aji Dalem keluar dan ruangannya, disertai oleh sang permaisuri, kelihatan oleh beliau berdua, ada sinar suci menandakan prabawa, pada kepala salah seorang abdinya, yang sedang tidur, terkejutlah beliau berdua, selanjutnya diperiksalah keadaan abdi yang sedang tidur itu, setiba beliau di sana, tiba-tiba sinar itu menghilang, selanjutnya anak yang bercahaya suci itu ditandailah dengan kapur oleh beliau Sri Aji Dalem Sagening.

Keesokannya, ternyata Ki Barak Panji tersurat kapur, di sanalah Sri Aji Dalem Sagening percaya akan kata-katanya Ki Gusti Ngurah Jarantik, bahwa benar ubun-ubun anak itu keluar sinar, hati beliau menjadi murung, hati beliau Dalem sangat kasih sayang, akan tetapi ada yang ditakutkan dalam hati, mungkin Ki Barak Panji, nantinya akan mengalahkan putranya, yang diharapkan akan menggantikan menjadi raja. 

Lama-kelamaan, kira-kira sesudah dua belas tahun umumnya Ki Barak Panji, khawatir dan curiga hati Dalem, beserta permaisuri baginda, demikian juga pikiran Ki Gusti Ngurah Jarantik, termasuk isterinya, sehingga berunding beliau Dalem, diiringi oleh Ki Gusti Ngurah Jarantik, mencari akal upaya, berusaha agar lepas dari mala petaka, setelah pembicaraan selesai, Ki Barak Panji disuruh pulang ke daerah ibunya di desa Panji, Den Bukit.

Menjelang keberangkatannya ke desa Panji, beliau Sri Aji Dalem Sagening, sudah siap dengan pengiring putra baginda, empat puluh orang banyaknya, telah teruji keberaniannya, sebagai pimpinannya, bernama Dumpyung, beserta Ki Dosot, dan lagi ada hadiah, memberikan pengiringnya senjata keris, Semuanya yang berjumlah empat puluh, sama-sama satu bilah, akan tetapi ketika Dalem memberikan keris pembagian kepada para pengiringnya satu demi satu, ternyata ada masih tertinggal sebilah, berupa Mundarang Cacaran Bangbang (sejenis bentuk keris).

Selanjutnya kembali dikumpulkan keris itu bersama, setelah terkumpul cukup empat puluh itu, selanjutnya lagi keris itu dibagi-bagikan, sebanyak empat puluh itu, setelah mendapat bagian satu demi satu, lalu ada lagi sisanya satu bilah, berupa Mundarang Cacaran Bangbang, seperti tadi, bingung hati Beliau Dalem Sagening, beserta Ki Gusti Ngurah Jarantik, dan setelah selesai diulang-ulang lagi, terus-menerus keris itu dibagikan, ada juga sisanya keris sebilah, seperti semula. 

Setelah demikian baru teringat dalam hati beliau Sri Aji Bali, terpikirkan bahwa keris itu yang tertinggal, pusaka buat Ki Gusti Panji (Ki Barak Panji) sebenarnya, itulah sebabnya keris yang tersisa, selanjutnya diberikan Ki Gusti Panji, sudah merupakan pusaka Dalem diberikan kepadanya, lain dari pada itu , ada pemberian Dalem lagi berupa sebilah tombak, bernama Ki Tunjung Tutur, Ki Pangkajatatwa nama lainnya.
Setelah beliau Dalem menganugerahi Ki Gusti Panji, pada saat hari yang baik , beliau Ki Gusti Panji mohon diri, selanjutnya beliau pergi ke Den Bukit, dengan membawa keris pemberian Dalem, disertai oleh ibunya, diiringi oleh Ki Dumpyung yang membawa Ki Pangkajatatwa, serta Ki Dosot, beserta pengiring abdi yang lain berjumlah tiga puluh.

Diceritakan perjalanan Ki Gusti Panji, setelah beliau pergi dari kota Gelgel, mampir di Jarantik, mengadakan pemujaan di bagian kota Jarantik, selanjutnya pergi menuju arah utara, selanjutnya ke barat, memasuki daerah Samprangan, selanjutnya terus ke barat, memasuki daerah Kawisunya, dicapai wilayah Bandana itu, selanjutnya beliau menuju ke arah barat laut, menuju daerah Danau Pabaratan, setelah empat hari perjalanan Beliau Ki Gusti Panji, menginap dalam perjalanan, ketika matahari sudah condong ke barat, , mendaki bukit Watu Saga, wilayah Den Bukit, berhentilah beliau di sana, seraya makan bekal beliau berupa ketupat, lalu beliau tersedak-sedak waktu makan (kilen-kilen), kemudian Ki Dumpyung disuruh pergi jauh untuk melihat air di bawah, dan senjata Ki Pangkajatatwa, diterima oleh Si Luh Pasek Panji, lalu pangkal tangkainya ditancapkan di tanah, maksudnya untuk menaruhnya, nyata-nyata terbukti Hyang Widi murah hati beliau, lalu memancar keluar air suci dari dalam tanah, yang ditancapi itu, kira-kira sebesar bejana mata air itu keluar, akan tetapi tidak ada yang mengalir ke luar dari lubang itu, hanya tetap berada seperti semula, sangat luar biasa kesucian air itu, tak terkira senang hati mereka semua, terutama beliau Ki Gusti Panji, lalu beliau minum air itu, demikian ceritanya air itu dahulu, selanjutnya diberi nama Banyu Anaman, Toya Katipat nama lainnya, hingga sampai sekarang.

Setelah Semuanya selesai makan, beserta pengiringnya semua, selanjutnya kembali beliau melanjutkan perjalanan, membelok ke barat, ketika hari sudah sore, matahari pun sudah condong ke barat, dan tenggelam ke laut. Beliau Ki Gusti Panji kebetulan berada di dalam perjalanan, di atas Danau Bubuyan, tiba-tiba datang berupa manusia kelihatannya, bernama Ki Panji Landung, langsung dicegat Ki Gusti Panji, diusung ke atas, tak terkira tingginya Ki Panji Landung, setelah terasa langit itu bagaikan disundul pikirnya, lalu Ki Gusti Panji disuruh melihat ke timur, kelihatan oleh beliau Ki Gusti Panji gunung Toya Anyar, disuruh melihat ke utara, tidak kelihatan apa-apa, hanya kelihatan samudera luas, kemudian beliau disuruh melihat ke barat, kelihatan membiru gunung Banger yang tinggi, selanjutnya lagi beliau disuruh menghadap ke selatan, selanjutnya Ki Gusti Panji menyuruh agar diturunkan, sebab beliau tak kuasa mendengar tangis ibunya memandang ke udara, sendirian di bawah berbaring di tanah, disertai pengikutnya semua.


Itu sebabnya Ki Gusti Panji diturunkan dari atas, lalu sambil berkata menyatakan anugerah Ki Panji Landung, hanya sedemikian kemampuanmu melihat, dapat anda kuasai kemudian, sebagai pemimpin di daerah Den Bukit, anda kuasai sampai ke pelosok-pelosok semua, demikian kata-kata Ki Panji Landung, memberi anugerah Ki Gusti Panji, setelah Ki Gusti Panji menginjak tanah, gaiblah Ki Panji Landung, segera timbul girang hati ibundanya, beserta pengikutnya semua, selanjutnya semua berjalan, tak menghiraukan siang malam, sebab hampir tiba tempat yang dituju, sama-sama mengharapkan supaya segera tiba di daerah Panji, kenyataannya berkat anugerah dewata, supaya tidak mendapat halangan dan lain-lainnya, dan beliau selamat dalam perjalanan, keesokannya pagi-pagi terang-terang tanah, tiba-tiba Beliau Ki Gusti Panji sudah sampai di daerah Panji, menuju rumah sanak keluarga ibunya, sangat senang hati sanak keluarganya semua, bergegas-gegas menjemput, menyiapkan suguhan selengkapnya, tak lama beliau Ki Gusti Panji ada di daerah Panji, pengiringnya sebanyak tiga puluh delapan kembali pulang ke Swecanagara, hanya yang masih ikut Ki Dumpyung beserta Ki Dosot, karena terikat oleh cintanya bertuan, tidak pernah berpisah mereka berdua, mengikuti perjalanan beliau Ki Gusti Panji, ke mana-mana pun bercengkrama, membawa keris pemberian

Diceritakan mereka yang sudah berhasil menjadi pemimpin daerah Panji, yang bernama Ki Pungakan Gendis, beristana di Desa Gendis, semua orang yang masuk ke daerah Gendis menjadi terdiam, Semuanya terdiam dan tunduk menghormat kepada Ki Pungakan Gendis, pada saat hari yang baik, beliau pergi bersabung ayam ke desa lain, mengendarai kuda berbulu coklat tua (kuda gendis), sungguh banyak prajurit beliau mengiringi, diapit kanan kiri, beserta di belakangnya, dilengkapi dengan payung kebesaran, beserta kendi berbentuk angsa tempat air, puwan berperada dengan indahnya, seperti tingkah lakunya dahulu, perjalanan beliau lurus ke utara, mengikuti jalan besar, kebetulan I Gusti bermain-main, dengan diiringi oleh dua orang abdinya, mencari-cari umbi ketela pada tegalan di bagian barat jalan, dan keris pemberian Dalem tidak lepas dibawanya, dipakai mencungkil ketela, tiba-tiba ada terdengar sabda dari angkasa di dengar oleh Ki Gusti Panji, adapun sabda itu,





"Ai Barak Panji, jangan kamu syak wasangka kepada Kakek, tidak pantas perbuatanmu mencari ubi rambat, jangan kamu ragu-ragu kepadaku, sebab ada yang utama dalam dirimu, suatu saat kamu menjadi pemimpin di sini, sebab berbakat dicintai oleh rakyat dalam dunia, dan lihatlah keutamaanmu sekarang, tunggulah sebentar, ada sebagai musuhmu, bernama Ki Pungakan Gendis, yang berkuasa di Desa Gendis, wajib kau bunuh, jangan kamu ragu-ragu dalam hati, tudingkan saja aku ke arahnya, berkat aku terjadi kematiannya, 



demikian terdengar sabda itu, didengar oleh Ki Gusti Panji, beserta abdinya berdua, dihentikanlah keris itu dijadikan main-mainan, kemudian selanjutnya disarungkan.

Diceritakan Ki Pungakan Gendis, setelah laju perjalanan beliau, melewati jalan, dilihat oleh Beliau Ki Gusti Panji, timbullah marah beliau dalam hati, akibat dari pengaruh kekuatan keris itu, oleh karena belum tercapai tujuannya, sebab sudah lewat kepergiannya Ki Pungakan Gendis, lalu dinantikan saat kepulangannya dari sabungan ayam. 

Diceritakan setelah bubarnya orang-orang dari sabungan ayam, Ki Pungakan Gendis kemudian pulang, dilihat oleh Ki Gusti Panji, Ki Pungakan Gendis sudah hampir tiba di tempat penantiannya, lalu Ki Gusti Panji segera, berlindung naik ke pohon leca, yang tumbuh di pinggiran jalan, seraya menghunus keris pemberian Dalem, kemudian datang Ki Pungakan Gendis, sudah dekat dengan pohon leca itu, lalu diacungkan keris ke arahnya oleh Ki Gusti Panji , lalu Ki Pungakan Gendis meninggal, masih dalam keadaan menunggang kuda, akan tetapi tidak diketahui oleh pengikutnya, hanya berjalan dan berjaga di sana-sini.

Setelah itu tiba Ki Pungakan Gendis, di hadapan rumahnya , setelah kudanya berhenti yang dikekang oleh pengikutnya, Ki Pungakan Gendis juga tidak turun, teguh bagaikan lukisan, badannya kaku bagaikan mayat, matanya mendelik sayu, saat itu baru diketahui, jika Ki Pungakan Gendis, sudah meninggal, akan tetapi tidak ada yang mengetahui sebab kematiannya.

Ada anak Ki Pungakan Gendis, perempuan seorang diri, bernama I Dewa Ayu Juruh, mungkin barn akan menjelang dewasa, sangat cantik tanpa ada celanya, membuat orang jatuh cinta, sedangkan adiknya yang laki-laki masih kanak-kanak, yang diharapkan menggantikan kedudukan ayahnya, oleh karena ia belum tahu mencari akan akal upaya, lalu dimandatkan pada Ki Bendesa Gendis, memerintah desa Gendis.

Entah berapa lama, tiba-tiba ada perahu dari luar daerah, terdampar di pesisir Panimbangan, sangat susah hati Ki Mpu Awwang, kemudian meminta bantuan kepada Ki Bendesa Gendis, untuk menarik perahu itu, dan membuat perjanjian, jika tujuan berhasil, semua isi perahu hadiahnya, sebab perahu itu sarat dengan muatan segala ragam yang indah-indah, seperti pakaian, cangkir, piring, pinggan, serta bermacam-macam ramuan, menyebabkan tertarik hasrat Ki Bendesa Gendis, lalu beliau bersedia membantunya, lalu mereka menyuruh terus menerus menabuh kentongan, mendatangkan pengikutnya semua, membawa tali, bambu, beserta alat perlengkapan untuk menarik, setelah Semuanya sudah datang, segera serempak pergi ke laut, sesampainya semua saling bantu penuh usaha untuk menolong, saling mengeluarkan gagasan / ide, akan tetapi tidak berhasil, sedikit pun perahu itu tidak bergerak, mereka semua merasa malu dan marah, akhirnya semua pulang ke rumahnya masing-masing.

Setelah itu lalu didengar oleh I Gusti Panji, jika demikian keadaannya, selanjutnya beliau pergi ke tempat perahu yang terdampar itu, tidak lupa beliau membawa keris pemberian Dalem itu, serta diiringi oleh Ki Dumpyung beserta Ki Dosot, setelah beliau tiba di pesisir pantai, dijumpainya Ki Dampu Awwang, sedang menangis meratap-ratap, sambil berkata berkaul , siapa gerangan yang mampu menolong perahunya, supaya berhasil melaju ke laut, semua isi perahu ini hadiahnya, oleh karena demikian didengar oleh Ki Gusti Panji, lalu beliau bersedia untuk menarik perahu itu, seraya keris itu dihunusnya, setelah keris itu diacungkan, terdengarlah sabda, jangan khawatir, demikian didengar sabda itu oleh Ki Gusti Panji, beserta dua orang abdinya, lalu percayalah beliau dalam hati, berhasillah perahu itu didorong, dihempaskan oleh keris itu, bagaikan diberi kekuatan beliau oleh Hyang Widhi, berhasil perahu itu bergerak, ke tengah laut, tak terkira larinya ke tengah samudera,


selanjutnya kembali perahu itu ke pinggir, ditambatkan di air, Ki Mpu Awwang tidak lupa akan janjinya, seluruh isi perahu itu, Semuanya sudah diberikan Ki Gusti Panji, setelah selesai, perahu itu kembali pulang ke Jawa, tak terkira senang hatinya Ki Mpu Awwang. Mulai saat itulah Ki Gusti Panji dipenuhi oleh kekayaan, serta mulai saat itu pula keris pemberian Dalem yang tampak keutamaannya, selanjutnya diberi julukan Ki Semang.


Setelah selama dua puluh tahun usia Ki Gusti Panji, semakin terkenal di Gendis serta keutamaannya menurut tata krama, perkataan beliau manis, membuat hati semua orang senang, membuat tertarik hati penduduk desa Gendis, selanjutnya semua hormat dan tunduk kehadapan Ki Gusti Panji, luar biasa baktinya menghamba, tetua (walaba) beserta rakyat sama-sama membela, tidak merasakan panas dan dingin, menghamba kepada Ki Gusti Panji, selanjutnya dinobatkan bergelar Ki Gusti Ngurah Panji, selanjutnya orang-orang desa Gendis, beserta parahyangan agung di bagian barat desa Gendis, dipindahkan ke desa Panji, oleh Ki Gusti Ngurah Panji, sesuai dengan kesepakatan orang-orang desa semua, selanjutnya banyak tempat tinggal, berbondong-bondong menggotong rumahnya, dan tempat suci Ki Gusti Ngurah Panji, sudah selesai dikerjakan oleh rakyat semua, setelah kedudukan Ki Gusti Ngurah Panji kokoh, berkat dukungan baik seluruh desa-desa, kawinlah beliau dengan Ki Dewa Ayu Juruh, seia sekata beliau dalam bersuami istri, oleh karena keduanya sama-sama mencintai.

Konon setelah beliau kaya, akhirnya beliau membuat kepala keris dari emas, berbentuk Ratmaja diisi dengan permata Mirah Adi bertatahkan Zamrud (air Lembu). diberi seragam delapan sangat menarik bagaikan hidup kelihatannya, diberi nama Ki Awak, oleh karena jiwanya sendiri merasuk dalam keris kepala itu. Tidak ada yang menyamai, telah sesuai keindahannya dengan sarung gading yang diukir, putih tidak bercela, diberi sarung dari kain halus, bagaikan menambah keutamaannya keris Ki Semang.

Entah berapa lamanya, berhasil terkenal di dunia, kewibawaannya Ki Gusti Ngurah Panji, sebagai penguasa desa Panji, lalu tak terkirakan berbondong-bondong datangnya orang-orang dari Lor Adri, selanjutnya tinggal di desa Panji, mengabdi ke hadapan Ki Gusti Ngurah Panji, segera penuh sesak, tertib, indah kelihatan desa itu, oleh karena ditambah oleh orang-orang keturunan utama dari Ler Adri, sama-sama taat menghamba kehadapan Ki Gusti Ngurah Panji.

Entah berapa tahun lamanya, tidak menyimpang anugerah Ki Panji Landung, lalu tunduk orang-orang dari timur sungai We Nirmala, sampai di ujung desa Toya Anyar, dari pesisir laut sampai ke pegunungan, seperti Kyai Alit Menala, dari Kubwan Dalem, sama-sama tunduk mengabdi, tidak ada yang berniat jahat dalam hatinya, setelah Semuanya setuju, lalu Ki Gusti Ngurah Panji, membangun daerah, selanjutnya memindahkan pusat kerajaannya, dari Sangket Sukasada, disebut Sukasada karena merupakan tempat kedudukan, sebab selalu menimbulkan kesenangan sang raja beserta semua abdi dan rakyatnya.

Beberapa lama kemudian, keadaan desa di barat We Kulwan menjadi kalah tenteram, kagum dan tunduk, semua penguasa, beserta rakyatnya, semua kelurahan tunduk mempertuan Ki Gusti Ngurah Panji, ada yang bernama Kyayi Sasangkadri beristana di Tebu Salah, buyut dari Kyayi Cili Ularan, tidak mau tunduk, itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji, pergi untuk menyerang, diiringi oleh banyak prajurit ramai keadaan perang itu, sama-sama hebat berani dalam peperangan, selanjutnya kalah beliau Kyayi Sasangkadri, tunduk menyerahkan dirinya, selanjutnya beliau menghamba, berjanji beserta anak cucunya semua, sebesar-besarnya keturunan beliau supaya tidak ada yang berani menentang selama-lamanya terus-menerus, senanglah hati Ki Gusti Ngurah Panji, lalu Kyayi Sasangkadri, ditempatkan sebagai tetua Tebu Salah, sebab demikian keutamaan Ki Gusti Ngurah Panji, sangat berani dalam medan perang, disenangi oleh rakyat, sebagai pemimpin daerah Den Bukit, sebagai pemimpin berkat keris Ki Semang, beserta tombaknya Ki Pangkajatatwa,


itulah sebabnya tenteram penduduk di daerah Ler Gunung, mulai saat itu diberi julukan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti oleh rakyat, karena kesaktiannya luar biasa, sesudah memimpin di Ler Gunung, sebagai pemimpin menetap di istana Sukasada, sebab dahulu orang-orang di sana selalu bersenang-senang, menikmati kegembiraan hatinya, mengikuti pemimpinnya, penuh sesak sampai ke balai rung, sesuai dengan tingkah lakunya yang baik, tidak ada yang berani menentang perintah beliau raja.

Diceritakan beliau raja membuat seperangkat gamelan kerajaan, penuh dengan perlengkapannya, terompong di depan dan di belakang, diberi nama Juruh Satukad, oleh karena suaranya sangat manis, bagaikan banjir aliran madu, memenuhi sungai umpamanya

Gongnya dua buah, diberi nama Bentar Kadaton, sebab bagaikan belah Keraton itu saat ditabuh (ginuwal) suaranya mendengung. Dan lagi disebut Ki Gagak Ora waktu berbunyi, bagaikan suara gagak beribu-ribu. Serta petuk kajarnya, terkenal bernama Ki Tundung Musuh mengagumkan diberi nama Glagah Katunuwan, suaranya seperti pohon gelagah yang kering terbakar, suaranya luar biasa bagaikan membelah telinga manusia, dan lagi gong kecilnya, suaranya sangat gemuruh, bagaikan guruh bertebaran umpamanya, itulah sebabnya diberi nama Gelap Kasangka, sebab bagaikan pergantian suara tatit pada saat bulan Kasanga (Maret/April) perumpamaannya, demikianlah keterangan gamelan kerajaan Sri Anglurah Panji Sakti, itulah sebabnya musuh dan pengacau menjadi takut, , tidak berani melihat kesaktian beliau, tidak diceritakan selanjutnya.

Diceritakan ada seorang brahmana, sangat hebat kesaktiannya, beliau sudah mencapai tingkat astaiswarya , Mpu Nirartha nama beliau, anak Dang Hyang Asmaranatha, Beliau Mpu Nirartha pergi ke Bali, setelah beliau tiba di Bali, beliau tinggal di Kemenuh wilayah Bala Batuh, ada anak beliau beribu brahmani dari Yawadwipa, yang tertua perempuan beliau lenyap ke alam gaib, tinggal di Melanting Mpu Laki sebagai Dewa di sana sampai sekarang, yang laki bernama Pedanda Kemenuh, banyak saudaranya lain ibu, brahmani dari Pasuruhan, ada yang beribu dari kesatria Blambangan, ada saudaranya beribu dari Bendesa Mas. Ada juga beribu Sudra, abdi dari Ki Bendesa Mas.

Beliau Pedanda Kemenuh sebagai putra laki-laki tertua, beliau pindah ke Ler Gunung, desa Kayu Putih, beliau memiliki pengetahuan yang tinggi sangat pandai dalam hal ilmu weda, sangat mahir membuat keris, keluhuran ilmu Pasupatinya, beliau sangat terkenal di masyarakat, oleh karenanya ada sebutan keris buatan Kayu Putih, demikianlah keutamaan beliau, lalu dimintalah beliau, oleh Ki Gusti Panji Sakti, beliau diberi kedudukan sebagai bagawanta, dinobatkan menjadi pendeta kerajaan, dan beliau disuruh mengalih ke banjar Ambengan, beliau diberi pengikut/abdi sebatas barat sungai Bok-Bok, lebih kurang, 3000 banyaknya, selanjutnya Pedanda Sakti Ngurah sebutan beliau di masyarakat, oleh karena sangat kasih sayang serta taat hati beliau ( Ki Gusti Panji Sakti ) kepada pendeta gurunya, dibuatkan rumah di Sukasada, sehingga saling berdekatan tempat tinggalnya, disebut Griya Romarsana,


Setelah saatnya tiba, akhirnya beliau dipanggil menuju alam baka, berada di pertapaan Kayu Putih, sebab beliau tidak menyadari akan tibanya ajal, ada putra beliau yang menggantikan, seperti kedudukan bapaknya, sebagai bagawanta baginda raja, lalu mengumpulkan rakyat, Pedanda Sakti Ngurah juga namanya oleh baginda raja, beliau tak mengenal lelah meniru keahlian ayahnya untuk menyenangkan baginda raja, selanjutnya mempunyai kegemaran membuat keris, sangat luar biasa keris buatannya, itulah sebabnya ada sebutan keris buatan Banjar, senjata tajam mengandung kesaktian, demikian Pedanda Sakti Ngurah sangat cintanya, sebab beliau ingat akan leluhurnya, tidak ada lain asalnya memang bersaudara, pada saat masih berada di daerah Yawadwipa, itulah sebabnya ada perjanjian beliau berdua ada di desa Romarsana, agar tidak berpisah, saling menjaga, dalam suka duka, sama-sama senasib dan seperjuangan, satu bersenang semuanya bersenang, satu bersedih semuanya bersedih, sehingga bagaikan tingkah laku persaudaraan, lalu ditiru oleh masyarakat, demikianlah perjanjiannya, semua sudah bahagia.

Itulah sebabnya desa Romarsana disebut Sangket, sebab dipakai sebagai tempat mengikat perjanjian, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dengan beliau yang dihormati Pedanda Sakti Ngurah, lanjut serta anak cucu beliau, agar meniru kebiasaan baik leluhurnya. dari putra yang tertua Sri Bagawan Dwijendra, Pedanda Sakti Wawu Rawuh nama lain beliau, sebab beliau mengawali datang ke Pulau Bangsul / Bali.

Kembali diceritakan, putra Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, lahir dari I Dewa Ayu Juruh, kedudukannya sebagai putra mahkota, yang tertua bernama Ki Gusti Ngurah Panji, seperti nama ayah beliau, dan yang kedua bernama Ki Gusti Ngurah Panji Made, serta yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala, sama-sama tampan tak tercela keadaannya, amat tenteram hati beliau raja, ada terbetik dalam hati, bersiap untuk menyerang menuju daerah Brambangan, daerah Yawadwipa, sebab beliau ingat akan anugerah Ki Panji Landung, pada saat dulu, lalu beliau membuat akal-upaya selengkapnya, seluruh prajurit pemberani dipanggil, yang sudah sering menyerang musuh, Semuanya prajurit yang perwira sebagai pimpinan, dua puluh jumlahnya, sama-sama keturunan pemberani, diajak bermain gagak-gagakan, oleh baginda Raja Panji Sakti, dan mereka semua bergilir menjadi burung gagak, ditanya oleh baginda Raja,


"Gagak apa yang kamu harapkan?" Si gagak kemudian menjawab, ada yang meminta makanan, minuman, anak gadis, mas permata, busana, serta manikam, bermacam-macam permintaannya masing-masing, semua sudah dipenuhi permintaan goak itu, sama-sama senang hati gagak itu menikmati makanan dan minuman, sandang, pakaian dan pangan, tidak jemu-jemu sama-sama memenuhi keinginan, setelah demikian, selanjutnya beliau Raja menjadi gagak, ditanya oleh para patih semua, "Gagak apa keinginanmu?", Si gagak lalu menjawab, "gagak, goak, gak, keinginanku menundukkan Brambangan", semua prajurit bersorak, sebab penuh sesak para prajurit yang menonton. Setelah selesai, bersiap-siap mengatur para prajurit itu, penuh dengan persiapan, beserta perahu sudah banyak disiapkan, sudah siap ditambatkan tinggal menunggu komando baginda Raja, berayun-ayun dalam samudera sampai ke sungai pelepasan.

Pada saat hari yang baik, yang disarankan oleh Sri Bagawanta, beliau Sri Bupati berangkat, dengan menaiki perahu, diiring oleh rakyatnya banyak, adapun jalur yang dilalui perahu itu, menuju Candi Gading daerah pinggiran pantai Tirta Arum, selanjutnya menyerang ke daerah Banger, disergap oleh Dalem Brambangan, luar biasa ramainya pertempuran itu, jenazah bagaikan gunung, berlautan darah, di medan pertempuran, selanjutnya beliau bertemu dengan Dalem Brambangan, yang berada di tengah medan laga, selanjutnya satu demi satu mengadu kekuatan di medan laga, sama-sama ikhlas berani dan tangkas bertarung, entah berapa lama perang itu berlangsung, lalu terjebak Dalem Brambangan , dadanya ditikam oleh beliau Sri Panji Sakti, dengan keris Ki Semang, lalu beliau Dalem Brambangan terjerembab, selanjutnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, akhirnya kekuasaan Brambangan jatuh menjadi tunduk, Semuanya tunduk memohon supaya tetap hidup.

Didengarlah oleh Baginda Raja Solo, akan kehebatan Sri Panji Sakti, lalu beliau menjalin persahabatan berdua, selanjutnya beliau Sri Panji Sakti diberi gajah tunggangan, setelah Semuanya selesai, Sri Panji Sakti kembali pulang ke Bali, dengan membawa panji-panji hasil rampasan, segala macam yang utama, akan tetapi ada yang disakitkan dalam hati, sebab anaknya yang masih muda, yang bernama Ngurah Panji Nyoman, Danudresta nama lainnya, sudah gugur dalam medan pertempuran di Brambangan, tak lama berduka cita kemudian beliau kembali sukacita, seperti keadaan semula, sebab dihibur oleh Sri Maha Rsi Bagawanta, Pedanda Sakti Ngurah. Demikian kehebatan beliau Sri Panji Sakti terdengar

Diceritakan Sri Panji Sakti, merintis membangun kota (pura), di pategalan daerah Balalak, tempat orang menanam Buleleng, ada dijumpai di sana, ibu leleng, banyak orang-orang yang tinggal di sana, tempat tanah lapang itu, di bagian utara wilayah Sukasada, setelah menjadi besar tempat kota itu, banyak orang berbondong-bondong pergi pindah ke sana, akhirnya penuh dengan rumah tempat tinggal, selanjutnya diberi nama Kota Buleleng, dan istana tempat tinggal baginda raja, diberi nama Singaraja, sebab jelas bagaikan singa keberanian baginda Raja, serta gajah beliau yang bagaikan gajah Nirwana, dibuatkan kandang di bagian utara kota, itulah sebabnya bernama Petak desa itu, dan yang menggembalakan gajah, adalah tiga orang dari Jawa, pemberian raja Solo, dua orang bertempat di daerah bagian utara Petak, itu selanjutnya bernama Kampung Jawa, serta yang seorang lagi, bertempat di Lingga dekat dengan pesisir Toya Mala, sebab asalnya dari Prabulingga Yawadwipa, di antara desa Petak dan desa (Kampung) Jawa, bernama desa Paguyangan, sebab tempat gajah beliau berguling-gulingan digembalakan di sana, demikianlah ceritanya dahulu.

Setelah lama-kelamaan, orang Jawa di Kampung Jawa, mengembangkan keturunan, kemudian dibagi atas perintah baginda Raja, ditempatkan di hutan Pagatepan, selanjutnya juga diberi nama Pagayaman, sebagai penjaga benteng di daerah pegunungan. 

Entah berapa lama, kembali Sri Panji Sakti, pergi menyerang Jaranbana, oleh karena kehebatan keris Ki Semang, akhirnya hancur daerah Jaranbana, dapat ditaklukan oleh Sri Panji Sakti. 

Tak terhitung berapa lama kemudian, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, mendengar berita, ada seorang putri yang sangat cantik bernama Ki Gusti Ayu Rai, saudara dari Ki Gusti Ngurah Made Agung, yang berkuasa di Mengwi, beliau sekarang ingin melamarnya, akan dipakai sebagai istri, utusan pun sudah berjalan, lalu ditolak mas kawin beliau, akhirnya main beliau Ki Gusti Ngurah Panji, timbullah kemarahannya, ingin untuk menghancurkan wilayah Mengwi, oleh karena kewibawaannya dijadikan kebanggaan, setelah mampu menguasai daerah Banger, selanjutnya beliau mengirim utusan, menantang wilayah Mengwi untuk bertempur. Keinginan beliau untuk mengadu, prajurit andalan beliau yang berupa gagak-gagak itu, bersama prajurit Mengwi, sebab terkenal bernama Teruna Batan Tanjung, beserta Teruna Munggu, disanggupi oleh penguasa Mengwi, sama-sama mendorong prajurit beliau untuk bertempur, ramai pertempuran itu, saling amuk, sama-sama tikam, menikam, sama-sama pemberani, dilihat oleh beliau berdua, lalu disuruhnya untuk mengakhiri perang itu, oleh karena keinginan beliau Ki Gusti Ngurah Made Agung, mencoba keberanian dan kehebatan orang-orang Ler Gunung, sekarang telah beliau ketahui benar-benar keberaniannya dalam pertempuran, ikhlas hatinya memberikan adiknya, pada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, tidak diceritakan perundingan beliau berdua, setelah sama-sama sepakat, maka sebagai raja yang berwibawa, baginda di atas singasana,


Selanjutnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta Ki Gusti Ayu Rai dinikahkan, setelah demikian keadaannya, kembali beliau penguasa Den Gunung, diiringi istri beliau Ki Gusti Ayu Rai, sebagai balas jasa cinta kasih beliau kepada raja Mengwi, diserahkan daerah Brambangan, beserta Jaranbana, oleh baginda penguasa Ler Gunung.

Setelah beliau tenteram berada di daerah Buleleng, tidak ada yang berani menentang atau melawan keinginannya, sehingga Ki Ngurah Panji Sakti memikirkan ingin menghadapi dengan alasan untuk bertempur, maka Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, pergi ke gunung Batukaru, daerah kekuasaan Bandana, diiringi banyak prajuritnya, dilengkapi dengan senjata, setiba beliau di sana, segera beliau merusak parahyangan Agung Batukaru, semua bangunan suci dirusaknya, dipindahkan dari tempatnya, tiba-tiba ada lebah berpuluh-puluh jumlahnya, masing-masing segenggam besarnya,


tidak diketahui dari mana asal mulanya, bagaikan kehendak dewata, berhamburan menyerang beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, bagaikan bencana dari Dewata pikirnya, tidak tertahan oleh beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, selanjutnya beliau lari beserta dengan prajuritnya, tidak melihat lagi ke belakang, sebab beliau sudah merasa dalam hati, bahwasanya itu kutukan Dewata pada dirinya.

Lama-kelamaan, kembali Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, menantang perang, datang ke wilayah Badeng, beserta dengan prajurit serta perlengkapannya, dengan menunggangi gajah besar, setiba beliau di daerah bagian utara tempat suci ( pura Satria ) Badeng, dihadang oleh banyak prajurit dari daerah Badeng, perangpun terjadi , tikam-menikam, namun akhirnya berdamai juga dengan penguasa daerah Badeng, daerah tempat pertempuran itu selanjutnya diberi nama Taensiat, sampai sekarang, oleh karena tempat permulaan terjadinya perang antara prajurit Den Bukit, melawan prajurit Badeng. Selanjutnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, mengambil istri dari golongan Wesya dari Banjar Ambengan Badung.

Beberapa lama kemudian, ada terdengar berita, oleh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, bahwa cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik, di daerah Jarantik dikecewakan oleh Dalem Bali, di daerah Gelgel, kesalahannya karena tidak memberikan keris pusakanya, yang diinginkan oleh Dalem, itu yang menyebabkan beliau sedih dalam hati, beliau ingin meninggalkan daerah Jarantik, berusaha menyelamatkan diri, oleh karena terpikir pasti mati, jika tidak pergi dari daerah Jarantik, pergi jauh, terdorong atas kejengkelannya Ki Gusti Ngurah Agung, yang begitu iri hati ke hadapan Ki Gusti Ngurah Jarantik, oleh karena demikian keadaannya, beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera, pergi ke daerah Jarantik, didapatkan orang-orang yang berada dalam istana sangat sedih dalam hati, terutama Ki Gusti Ngurah Jarantik, menceriterakan kesusahannya, setelah selesai daya upayanya, akhirnya mereka serempak pergi dari daerah Jarantik, mencari tempat menuju ke desa Tojan daerah Bala Batuh, atas perintah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, selanjutnya beliau mengantarkan, lalu beristirahat di daerah utara desa Beng Gianyar,


ada tanaman-tanaman penduduk di sana berupa kacang tanah, dimakan oleh gajah tunggangan beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, karenanya ada wilayah yang bernama Kacang Bedol, sampai sekarang, oleh karena gajah tunggangan beliau memakan kacang yang ada di sana, tidak diceritakan perjalanan beliau yang mengungsi, lalu tiba di daerah Tojan, dijemput oleh Ki Bendesa Wayan Karang, yang menguasai daerah Tojan, selanjutnya beliau membangun istana, tunggangan beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, digembalakan di daerah bagian barat laut daerah Tojan, itulah sebabnya bernama daerah Angon Liman, Bangun Liman nama lainnya sampai sekarang, dan di bagian timurnya ada semak belukar, tempat beliau Panji Sakti berburu, dinamakan Buruwan sampai sekarang.

Entah berapa lama beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti berada di Tojan, oleh karena sudah handal kedudukan Ki Gusti Ngurah Jarantik, bukan main senangnya beliau berdua dalam hubungan keluarga, sama-sama memperingatkan perjanjian, sehingga tidak luntur rasa cinta kasih dan keteguhan ikatan kekeluargaannya, serta keturunannya, suatu kedudukan untuk cucunya kemudian, sesudah sama-sama menyepakati ikrar itu, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, menunjukkan kebesarannya, lalu menghadiahkan tombak Ki Pangkajatatwa, kepada cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik, sebagai pemberian resmi kepada cucu, tujuannya sebagai tanda sampai di kemudian hari, setelah beliau selesai memberikan wejangan kepada anak cucunya tentang ajaran Kamahayanikan, serta tata cara memimpin wilayah, lalu beliau kembali pulang ke Den Gunung, demikian ceritanya.

Entah berapa lamanya, oleh karena sudah kehendakNya, terjadilah kehancuran di daerah Gelgel, ketika itu Sri Dalem Dewa Agung Jambe masih kecil, oleh karena sifat loba dan durhakanya Kyayi Agung Maruti, mengharap-harapkan akan menggantikan raja Gelgel, serta sudah banyak para menteri dan rakyat yang senang menghamba kepadanya ( Kyayi Agung Maruti ), oleh karena kelicikan Kyayi Agung, merangkul semua orang, perkataannya sangat manis, dan lembut, akan tetapi banyak juga para Arya kesatria bujangga, tidak menyenangi tingkah laku Kyayi Agung, menyebabkan pikiran orang menjadi berbeda-beda, sama-sama mencari pemimpinnya yang disenangi sendiri-sendiri, sehingga terjadi keributan di wilayah Gelgel, Sri Dalem Cili, dilarikan oleh para menterinya, dibawa bersembunyi ke Singharsa, disangga selengkapnya oleh beliau Ngurah Singarsa, berkat baktinya bertuan.

Tidak lama kemudian, terjadilah persidangan para punggawa agung, yang masih tetap setia kepada Dalem, sebagai pemimpin beliau Ngurah Singharsa, setelah selesai memberikan surat kepada para manca semua, sampai ke Ler Gunung serta ke daerah Badung, semua menyetujui dan satu tujuan dengan Ngurah Singharsa, hendak menghancurkan Kyayi Agung Maruti, setelah mufakat sama-sama berangkat dari daerahnya masing-masing, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sudah berangkat, lengkap dengan segala macam senjata, tak terhingga banyaknya, memenuhi jalan dengan riuhnya, bermarkas di desa Panasan sebelah barat Toya Jinah, oleh karena sangat kesusahan masyarakat di sana, oleh senjata dari Ler Gunung, oleh karenanya disebut Desa Panasan sampai sekarang,


kemudian bertemu dengan prajurit Kyayi Agung dari Gelgel, sebagai senapati Ki Dukut Kerta, dihadapi oleh Ki Tamlang, patih beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, luar biasa ramai pertempuran itu, saling sergap, kemudian kalah pertahanan Ki Padang Kerta, dadanya tertikam, kepalanya dipenggal, matilah Ki Padang Kerta, oleh Ki Tamlang, kacau balau prajurit Ki Gusti Agung Maruti menjadi bubar, tak mampu bertahan, sehingga Ki Gusti Agung terpengaruh, ikut lari, melarikan diri dari pertempuran, seraya dikejar oleh prajurit dari Ler Gunung,


seperti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, dengan mengacungkan keris yang terbuat dari baja, bergagang kayu pelet berbentuk babodolan, yang sudah dihunus dari sarungnya, seberapa jauhnya Ki Gusti Agung Maruti lari, terus juga dikejar, lalu dibanjiri kanan kiri oleh prajurit dari Ler Adri, sehingga beliau ibarat anjing terpukul, oleh karena tidak ada jalan, sehingga beliau berbalik bersama prajuritnya, keinginannya untuk sekaligus dengan bertempur habis-habisan, mencari jalan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang ditujunya, beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti penguasa dari Ler Adri sangat hati-hati, keinginannya untuk menandingi dalam pertempuran, ketika bersikap akan berbuat, kemudian tangkai keris itu pecah menjadi dua, tangkai keris yang berbentuk babodolan, rusak pukuh kerisnya, sehingga Ki Gusti Ngurah Panji Sakti kaget terhenti, selanjutnya mengganti senjata, mengambil keris pusaka Ki Semang, saat itu Ki Gusti Agung Maruti dapat kesempatan menghindar bersama prajuritnya, haripun menjelang malam, maka tidak dapat dikejar oleh Ki Gusti Panji Sakti, selanjutnya menuju Gelgel, di sana beliau mengutarakan sumpahnya, semua keturunannya sampai kemudian hari, tidak boleh mempergunakan senjata yang berkepala/berbentuk babodolan, oleh karena sangat tidak berguna, demikian ceritanya.

Entah berapa lamanya, pemerintahan Sri Panji Sakti, beliau tetap tinggal di istana Sukasada, beliau menurunkan banyak putra serta cucu, tidak ada yang berani menentang perintah beliau raja, Semuanya diam tunduk dan setia, masing-masing melakukan kegiatannya, dan entah berapa lamanya, setelah tiba ajalnya, akhirnya beliau Ki Gusti Ngurah Panji moksah, menuju alam Nirwana, meninggalkan sanak keluarga, meninggalkan banyak putra laki perempuan, masing-masing namanya, yang tertua Ki Gusti Ngurah Panji Gede, yang berhasil menggantikan menjadi raja Den Bukit, beliau tinggal di istana Sukasada, adiknya bernama Ki Gusti Ngurah Panji Made, satu ibu lahir dari I Dewa Ayu Juruh. 

I Gusti Alit Oka, I Gusti Made Padang, satu ibu lahir dari golongan Wesya yang berasal dari Banjar Ambengan Badung. Beliau I Gusti Made Padang, mengambil istri I Gusti Luh Abyan Tubuh, anak Ki Gusti Sakti, raja Tabanan.
Ki Gusti Wayan Padang, Ki Gusti Made Banjar, satu ibu berasal dari desa Panji. Dan lagi I Gusti Ayu Panji, beribu Ki Gusti Ayu Rai, putri raja dari Mangwi, dipakai istri oleh Ki Gusti Anom dari Kapal Mangwi. 

I Gusti Ngurah Panji Cede, mempunyai seorang putri, bernama I Gusti Ayu Jelantik Rawit, I Gusti Ngurah Panji Made, berputra I Gusti Ngurah Panji Bali, beristri I Gusti Ayu Jelantik Rawit, I Gusti Panji Tahimuk, I Gusti Made Munggu, I Gusti Nyoman Panji, I Gusti Oka paling kecil. 

I Gusti Alit Oka, mempunyai seorang putri, bernama I Gusti Ayu Nambangan Mas, nama lain beliau I Gusti Ayu Den Bukit, dipakai istri oleh beliau Dalem Dewa Agung Made, yang berhasil melahirkan Dewa Agung Panji beserta keturunannya.

I Gusti Made Padang berputra Ki Gusti Gede Jelantik, beliau pindah ke Jineng Dalem. I Gusti Wayan Padang, berputra Ki Gusti Lanang Jelantik, I Gusti Panji Dalugdag. I Gusti Made Banjar, berputra tiga laki-laki, Semuanya ikut mengiringkan Ki Gusti Ayu Nambangan Mas Den Bukit, ke Klungkung. I Gusti Ayu Panji, kawin ke Mangwi daerah wilayah Kapal.

Sesudah sama-sama pergi ke alam baka, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Gede, beserta Ki Gusti Ngurah Panji Made, lalu digantikan oleh Ki Gusti Ngurah Panji Bali, menjadi raja di daerah Den Bukit, selanjutnya beliau beristana di Sukasada, akan tetapi istana di Singaraja dipelihara sebagai tempat bersenang-senang, karena dibuat oleh leluhurnya, supaya tidak hilang dan hancur, tetap handal selama pemerintahan beliau, tidak ada yang berani berbuat durhaka. 

Ada putranya Ki Gusti Ngurah Panji Bali, dua orang laki-laki berlainan ibu, yang tertua bernama Ki Gusti Ngurah Panji, beliau sebagai raja di istana Sukasada. Adiknya, bernama Ki Gusti Ngurah Jelantik, beliau yang menjadi raja di Singaraja, oleh karena sudah dibagi daerah Lor Adri oleh dua bersaudara itu, sama-sama lahir dari permaisuri.

Adapun I Gusti Made Munggu, berputra Ki Gusti Wayan Panji. Ki Gusti Wayan Gulyang, sama-sama berada di Singaraja, I Gusti Made Ksatra, I Gusti Made Ino, serta I Gusti Ketut Intaran Kawan, yang pergi ke Patemon, dan lagi I Gusti Nyoman Patandakan, yang pergi ke Bon Tihing. I Gusti Nyoman Panji, berputra I Gusti Wayan Ksatra; I Gusti Made Ino, dan I Gusti Ketut Intaran Kawan, sama-sama di Sukasada. I Gusti Oka, beliau tidak berputra. Adapun Ki Gusti Gede Jelantik, beliau mempunyai dua orang putri, bernama I Gusti Ayu Raka yang tertua, dipakai istri oleh beliau yang berkuasa di Sukasada, dan yang kedua, I Gusti Ayu Rai, dipakai istri oleh beliau yang berkuasa di Singaraja.


Adapun tiga orang yang mengikuti I Gusti Ayu Nambangan Mas, di Klungkung, pindahnya dari Banyuning, mereka menetap tinggal di Banjar Lebah Klungkung, mereka menurunkan banyak keturunan di sana, tunduk setia kepada beliau yang diikutinya. Ki Gusti Lanang Jelantik, berputra Ki Gusti Alit Ksatra. Ki Gusti Panji Dalugdag, berputra Ki Gusti Bagus Panji Celuk, beserta saudaranya di Banyuning. Demikian beliau pergi mencari tempat tinggal, sebab rakyatnya sama-sama bakti menghamba. 

Lama-kelamaan, sebagai manusia yang tidak luput dari kesulitan dan penyakit, tak terduga takdir Yang Maha Kuasa, terjadilah perselisihan di dalam keluarga, yang berkuasa di Sukasada, dengan yang berkuasa di Singaraja, semakin lama semakin keras bentrok mereka, tidak ada yang berani menghalanginya, sebab sama-sama sangat mempercayai fitnah, sehingga yang berkuasa di Singaraja, meminta bantuan kepada Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasern, Raja di Amlapura, sebagai pengatur siasat I Gusti Nengah Sibetan Wiweka, sebagai penguasa desa Selat, apa yang dikatakan, Raja di Singaraja Ki Gusti Ngurah Jelantik, membuat perjanjian imbalan terlebih dahulu, jika sudah mencapai tujuan, menyebabkan tunduk kakaknya, yang berkuasa di Sukasada, bersedia akan membagi pajak bumi Den Gunung, sama-sama memimpin bumi Buleleng, sebagai pemimpin hanya Ki Gusti Ngurah Jelantik, sebagai lambang adapun Sri Bupati dari Amlapura sebagai raja muda (iwaraja), sebagai pemimpin taktik dan strategi pemerintahan (makocering niti), maka perjanjiannya disetujui oleh beliau yang memimpin Karangamla, segera berkemas prajurit itu lengkap dengan senjata, lengkap dengan segala perlengkapan, seluruh pasukan Karangasern, siap untuk berangkat ke Den Gunung, menuju kota Singaraja.

Tidak lama kemudian, didengar oleh kakaknya, jika adiknya meminta bantuan dari Karangasern, telah semua prajuritnya sampai di sana, luar biasa marahnya kepada adiknya, sehingga semua prajuritnya dipanggil dikumpulkan, disertai dengan senjata yang bertubi-tubi tan putus-putusnya, dengan maksud mendahului menyerang kota Singaraja, para prajurit menyebar menyerbu riuh rendah, hal itu diketahui oleh beliau penguasa Singaraja, sehingga sama-sama bersiaga, kemudian terjadilah perang, antara kedua istana itu, menjadi medan perang, setelah kedua belah pihak sama-sama melakukan pertempuran, saling berguguran. dorong mendorong, tikam-menikam, saling tombak, adapun sebagai pimpinan I Gusti Ngurah Jelantik, sehingga prajurit Sukasada menjadi terdesak, oleh karena kebanyakan musuh, dengan dibanjiri keberanian, tiba-tiba sama-sama melarikan diri bubar serta mundur,


ada yang dirasakan dalam hati, akan hal kematiannya hampir tiba, itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji menjadi marah, menerobos ke tengah-tengah medan laga, ke depan dengan membawa keris pusaka Ki Semang, mengamuk dengan sangat hebatnya, banyak musuh beliau yang terbunuh, oleh karena kebanyakan lawan, sama-sama tidak hendak mundur, akhirnya kedua belah pihak Karangasern dan Singaraja berkumpul, menyerang mengurung, sehingga Ki Gusti Ngurah Panji dapat dikerubut, diusahakan merebut kerisnya, sehingga dapat diambil oleh musuhnya, akhirnya setelah lepas senjatanya beliau pun ditikam, darah beliau memancur, sehingga gugurlah beliau yang beristana di Sukasada, prajurit beliau semuanya tunduk memohon perlindungan, akhirnya semua prajurit Ler Gunung berkumpul menghamba kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik, sebagai pemimpin daerah Den Bukit, beristana di Singaraja, sebagai raja muda beliau yang bergelar I Gusti Nyoman Karangasern, keturunan Arya Patandakan, sama-sama beristana di Singaraja, yang pindah dari Karangasern, atas perintah beliau Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasern. 

Lama-kelamaan, setelah tiba ajalnya, beliau I Gusti Ngurah Jelantik wafat, namun karena liciknya daya upaya beliau raja Amlapura, akhirnya tersebar pula diketahui oleh rakyat, timbul pikiran loba dan tamak pada kawan, dengan mengandalkan kekuatan senjata dan rakyat, serta kereta perang dan perbekalan, di balik isi perundingan dulu, I Gusti Nyoman Karangasern dinobatkan menjadi raja Singaraja.
Adapun anak beliau I Gusti Ngurah Jarantik, yang tertua bernama Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar, berkedudukan sebagai patih di istana Bangkang, di bagian barat We Mala. 

Tak lama kemudian, Ki Gusti Nyoman Karangasern, memerintah sebagai raja wilayah Den Bukit, beliau meninggal karena diserang oleh penyakit, kemudian digantikan oleh Ki Gusti Agung Made Karangasern Sori, keturunan Karangasern, lebih kurang selama tiga tahun lamanya beliau berkuasa, beliau turun dari singgasana, oleh karena beliau tidak tegas memerintah rakyat, sehingga beliau memilih muka, tidak adil kepada rakyat.

Adapun yang menggantikan beliau, bergelar Ki Gusti Ngurah Agung, mulanya juga dari Karangasern, sejak lama mengembara di Jembrana, sehingga beliau meninggal di Pangambengan Jambrana, diserang oleh prajurit penuh dengan senjata, oleh karena rakyat Jambrana tidak setuju menghamba kepada beliau.

Kembali diceritakan, Ki Gusti Ngurah Panji, raja di Sukasada, yang meninggal di medan pertempuran dahulu, karenanya ada bernama desa Baratan, sampai sekarang, adalah bekas dua orang saudara bertempur, yang meninggal dalam pertempuran, meninggalkan putra, bernama Ki Gusti Ketut Panji, yang kalah dalam pertempuran dan masih hidup, selanjutnya beristana di Sukasada. 

Adapun yang menang dalam pertempuran, mempunyai putra bernama Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, beliau berkedudukan sebagai patih di istana Bangkang, ketiganya sama-sama meninggal karena tanah longsor, pada Isaka 1737 (1815 M), sebab lumpur dari gunung mengalir melaju ke wilayah Sukasada serta Bangkang, banyak rakyat yang meninggal terbenam oleh lumpur itu.

Ada adik beliau Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, bernama Ki Gusti Ketut Jlantik, tidak meninggal oleh banjir lumpur itu, sebab beliau sudah pindah ke daerah Kubutambahan, serta adiknya yang bernama Ki Gusti Made Jlantik, mengungsi desa Pereyan Tabanan, beliau meninggal di sana, adapun yang bungsu bernama Ki Gusti Ketut Panji, beliau masih tetap tinggal di Singaraja.

Adapun anaknya Ki Gusti Wayan Ksatra, yang bernama Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Panebel, serta Ki Gusti Nyoman Panarungan, sama-sama masih di Sukasada, Semuanya meninggal terbenam dalam lumpur pada tahun Isaka 1737 (1815 M).

Adapun Ki Gusti Ayu Den Bukit, yang diambil sebagai istri oleh beliau Dalem Smarapura, berputra Dewa Agung Panji, beliau yang menurunkan Cokorda Agung Mangwi, beserta Dewa Agung Putu di daerah Getakan, serta Cokorda Mayun Giri, di daerah Nyalian.

Adapun sanak saudaranya, beliau Ki Gusti Ayu Den Gunung, yang mengikuti beliau di Klungkung dahulu, yang paling tua menurunkan mereka yang berada di Gunung Rata, adiknya berputra yang menurunkan mereka yang berada di Sampyang Gianyar, sedangkan yang paling kecil berputra yang berada di daerah Lebah Klungkung.

Kembali diceritakan, Ki Gusti Ketut Panji, berputra Ki Gusti Gede Panji, Ki Gusti Made Clagi, serta Ki Gusti Nyoman Pinatih, sama-sama berada di Sukasada. Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, berputra Ki Gusti Bagus Suwi, serta Ki Gusti Made Akeh, sama-sama berada di Bangkang.

Adapun Ki Gusti Made Panji Muna, berputra Ki Gusti Bagus Jlantik Kalyanget. Ki Gusti Ketut Jlantik, berputra Ki Gusti Wayan Ksatra, berada di Kubutambahan, adiknya Ki Gusti Made Jlantik, berada di Panarukan.

Adapun Ki Gusti Made Jlantik, yang meninggal di Pereyan, berputra Ki Gusti Wayan Jlantik, berada di Sasak. Sedangkan Ki Gusti Ketut Panji di Singaraja., sama-sama berada di Singaraja.

Ada saudara beliau pergi ke Patemon, serta ke Bon Tihing, dan ke Depaha. Adapun Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Panebel, dan Ki Gusti Nyoman Panarungan, sama-sama menurunkan keluarga, selanjutnya dari Sukasada pindah ke Singaraja.

iceritakan Ki Gusti Gede Panji, berputra Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Made Kari, dan Ki Gusti Ketut Panji, sama-sama berada di Sukasada. Ki Gusti Made Celagi beliau banyak menurunkan putra. Ki Gusti Nyoman Pinatih, mempunyai seorang putri bernama I Gusti Ayu Rai, serta saudara laki-lakinya. Ki Gusti Bagus Suwi, di Bangkang, mempunyai seorang putri Ki Gusti Ayu Made Ayu, beserta saudara laki-laki. Ki Gusti Made Akeh, di Bangkang, berputra I Gusti Nyoman Panji, I Gusti Ketut Jlantik Sangket, beserta saudaranya di Bangkang. Ki Gusti Bagus Jlantik Kalyanget, pindah dari Tukad Mungga, putra beliau Ki Gusti Bagus Jlantik Batupulu, adiknya Ki Gusti Made Batan, sama-sama di Tukad Mungga. Adapun Ki Gusti Wayan Ksatra di Kubutambahan, berputra I Gusti Putu Kari, Ki Gusti Putu Kebon nama lainnya, ada adiknya seorang wanita bernama Ki Gusti Ayu Made Batan. 

Adapun Ki Gusti Made Jlantik, di Panarukan, berputra Ki Gusti Ayu Putu Puji, Ki Gusti Ayu Jlantik, Ki Gusti Ayu Rai, dan Ki Gusti Ayu Putu Intaran Rudi. Selanjutnya I Gusti Wayan Jlantik yang berada di Sasak, berputra Ki Gusti Made Jlantik Jwala, serta Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali. Adapun Ki Gusti Bagus Ksatra, di Singaraja, berputra Ki Gusti Bagus Rai, serta saudaranya, tidak diceritakan selanjutnya.

Kembali diceritakan. setelah beliau Ki Gusti Ngurah yang wafat di Pangambengan , beliau digantikan, oleh yang bernama Ki Gusti Agung Pahang, pada saat Isaka 1751 (1829 M), beliau memindahkan istana Singaraja, ke sebelah barat jalan, entah berapa lamanya menjadi raja, terdorong oleh karena sudah kehendakNya, akhirnya keluar sifat angkara beliau, diduga tidak ada menandingi kewibawaannya, bertingkah laku tidak senonoh, sehingga melanggar tata susila yang sudah ada, gamya-gamana, serta berselingkuh dengan saudara perempuan beliau, hal itu diketahui oleh para menterinya, serta rakyatnya semua, akan tetapi Semuanya memendam dalam hati, tidak ada yang berani membuka mulut, akan kejahatan tuannya, akan tetapi semua sudah kentara bahwa semua mengetahui namun pura-pura tidak tahu, sehingga beliau Ki Gusti Ngurah Pahang menjadi was-was, mengira bukan mustahil rakyatnya semua akan menentang kekuasaannya, tetapi tetap niatnya berbuat ganas pada rakyatnya, terhadap tindak-tanduknya, belum pantas dihukum mati, dibunuhnya juga selalu memegang pentungan, tidak sedikit menyakiti rakyatnya, karena curiga pada diri atas perilakunya yang tidak senonoh. Kira-kira tiga tahun lamanya beliau menjadi raja, ada para arya bernama Ki Gusti Bagus Ksatra dari Singaraja, saudara beliau Ki Gusti Made Singaraja, anak beliau Ki Gusti Ketut Panji,


beliau Ki Gusti Bagus Ksatra, disuruh membunuh oleh Ki Gusti Agung Pahang, sebab memberikan hidangan ikan udang kepada beliau, disangka oleh beliau raja, akan menjadi sebab berhenti menjadi raja Den Bukit, ada pula yang bernama Wayan Rumyani, Pan Apus nama lainnya, ia rakyat yang dipercayai menjadi perbekel, ikut juga dibunuhnya, oleh karena kelihatan sebagai raja gila, disangkanya jelas akan mencelakakan.

Selanjutnya jenazah Ki Gusti Bagus Ksatra, ditambatkan di lapangan, telinganya kiri-kanan diberi bunga kembang sepatu merah, mayatnya menjadi tontonan orang banyak, dan adiknya Ki Gusti Made Singaraja, menghadap raja, memohon belas kasihan, memohon jenazah kakaknya, ternyata tidak diijinkan oleh beliau raja, setelah sore hari, barulah mayatnya diserahkan kepada sanak saudaranya.

Oleh karena demikian keadaannya, luar biasa marahnya Ki Gusti Made Singaraja, beserta sanak keluarganya semua, semua keturunan pemberani Sri Panji Sakti, lalu bersama-sama mengadakan perundingan, setelah memperoleh keputusan, memaksa menerobos masuk istana.

Pada saat hari baik, beliau raja < > Pahang mengadakan keramaian di istana, mengadakan pertunjukan wayang kulit, adapun sebagai Dalangnya bernama Ki Gulyang, dari desa Banjar, itulah kesempatan para arya semuanya, bermaksud ikut mengamuk di istana, sudah siap dengan senjata, hanya menunggu keluarnya beliau sang raja, menonton, sampai tengah malam, juga Ki Gusti Agung Pahang belum keluar, menonton wayang, adapun Ki Dalang Gulyang sedang memainkan perang wayang, akhirnya semua para arya kepayahan menunggu, akhirnya mereka menyebar mengacau, mengamuk orang-orang yang menonton wayang, ada yang menikam ke arah Dalang yang sedang memainkan wayang, layarnyapun robek, adapun sang dalang saat itu sedang memegang wayang Bima, serta wayang Tuwalen, serta membawa Capala, oleh karena kagetnya, lalu segeralah ia melompat mencari perlindungan, membawa wayang Bima dan Tuwalen, beserta capalanya. 

Tidak diceritakan banyaknya yang mati dan terluka di tempat orang menonton, kacau balau, mencari perlindungan, sehingga hiruk-pikuk mondar-mandir, di halaman kedua istana, disambut dengan suara kentongan bertalu-talu, luar biasa riuhnya orang-orang, seisi istana, sama-sama keluar dengan membawa senjata, sama-sama menunggu di jalan raya, sebab tidak ada yang berani masuk ke istana, oleh karena sangat gelapnya.

Diceritakan ada yang bernama Ketut Karang, sebagai kepala penjaga istana, bertempat tinggal di Panataran, ia berbicara, mengingatkan Ki Gusti Made Singaraja, beserta pengikutnya, menyuruh untuk kembali pulang, sebab beliau raja sudah pergi mengungsi meninggalkan istana, tidak akan berhasil jika langsung masuk ke dalam istana, mungkin tujuannya akan menemui bahaya, demikian cegahan Ketut Karang, lalu mereka yang menyerang kembali pulang semuanya, menuju rumahnya masing-masing.

Keesokan harinya, Ki Gusti Agung Pahang, dihadapkan dalam persidangan, dihadapkan oleh semua para manca, akan tetapi para arya Den Bukit tidak ikut, melakukan persidangan, tentang pemberontakan para arya Buleleng, durhaka mengamuk dalam istana, setelah kesepakatan raja selesai, sesudah disepakati oleh para arya keturunan Karangasern, bahwa akan membunuh semua para arya Buleleng, laki perempuan, tua muda, supaya tidak ada tersisa, sebab sangat besar dosanya terhadap sang raja, setelah demikian keadaannya, tidak menunggu sehari, seketika mendadak dikerahkan para prajuritnya lengkap dengan senjata, disuruh untuk menghancurkan para arya yang ada di Ler Adri, ternyata lamban tindakan para arya itu kurang cepat mengelak, sehingga hancur beserta dengan anak-anaknya (arare cili), oleh karena angkatan bersenjatanya sangat hebat jitu melaksanakan perintah sang raja, itu sebabnya berpuluh bahkan sampai ratusan mereka yang dapat ditikam dengan keris, serta tombak, segala yang mengakibatkan kematian, bagaikan bergunung mayat dan berlautan darah kenyataannya, demikian diceritakan.

Kenyataannya, sebab kehendakNya tidak dapat dilawan, untuk menciptakan kebesaran keturunan beliau Ki Gusti Ngurah Panji, walaupun beberapa banyaknya prajurit beliau, memporak-porandakan para arya Den Bukit, tetapi didorong oleh kekuatan suci beliau yang sudah mendahuluinya ( wafat), mereka tak mungkin sampai habis dihancurkan, ada juga yang tersisa, yang berhasil menurunkan keturunan sampai sekarang, bagaikan dilindungi oleh dewata persembunyiannya, sehingga terlepas dari kematian, siapakah itu yang masih hidup?, demikian kira-kira pertanyaannya, di antaranya, Ki Gusti Made Kari, Ki Gusti Ketut Panji, sama-sama ada di Sukasada, beliau sama-sama pindah ke wilayah Desa Kapal Mangwi, beliau yang menurunkan keturunan di Sukasada sampai sekarang. Adapun Ki Gusti Nyoman Panji, beserta saudaranya Ki Gusti Ketut Jlantik Sangket, sama-sama pergi menyelinap di hutan-hutan wilayah desa Panji, beliau yang menurunkan para arya di istana Bangkang sampai sekarang.

Adapun Ki Gusti Bagus Ketut Jlantik Batupulu, serta adiknya Ki Gusti Made Batan, sama-sama mengungsi menuju wilayah desa Soka Tabanan, beliau yang menurunkan sanak keluarga para arya Tukad Mungga, sampai sekarang.

Selanjutnya Ki Gusti Putu Kebon, Ki Gusti Putu Kari nama lain beliau, pergi ke desa Pakisan, dan berhasil menurunkan yang di istana Kubutambahan. Adapun Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali, menurunkan keturunan di Karang Buleleng Sasak sampai sekarang.

Pendeknya, apa sebab sama-sama masih hidup, karena ditolong oleh rakyatnya masing-masing, yang masih bakti menghamba, berusaha menyelamatkan diri.

Kembali diceritakan, tidak menyimpang akan titah Nya, perbuatan semasa hidup didorong oleh perbuatannya dahulu, sebabnya Ki Gusti Ngurah Pahang, semakin bertambah angkara murkanya, bagaikan malapetaka dari-Nya, segera semakin diketahui oleh rakyatnya semua, perbuatannya gamya-gamana dengan adik, menyebabkan panas pada saat musim hujan, hasil panen tidak berhasil, kebutuhan sehari-hari jarang, negara menjadi terpecah, sehingga orang-orang menjadi ribut, bertengkar berperang dengan sanak keluarga, sama-sama tidak tertahankan oleh para manca serta semua rakyat , selanjutnya K-i Gusti Agung Pahang dikepung oleh rakyat bersenjata, akhirnya lari ke wilayah Karangasern, setibanya beliau di sana, akhirnya beliau dibunuh oleh rakyat Karangasern.

Digantikan oleh beliau yang bernama Ki Gusti Ngurah Made, yang menggantikan kedudukan raja Buleleng, beliau juga keturunan Karangasern, dibantu oleh beliau yang bernama Ki Gusti Ketut Jlantik Gingsir, kedudukannya sebagai patih, diberi mandat memerintah negara Buleleng, keberanian beliau Ki Gusti Patih terkenal ke mana-mana sampai ke pelosok Pulau Bali, sebab beliau mengalahkan desa-desa yang ada di wilayah pegunungan Bangli, seperti Payangan, sangat luar biasa pujian rakyat, akan keberanian beliau menggempur musuhnya yang sakti.

Entah berapa tahun lamanya, tiba-tiba ada perbedaan pendapat Ki Gusti Patih Ketut Jlantik, berselisih dengan pemerintahan Belanda, menyebabkan terjadinya permusuhan, perangpun terjadi sangat hebat, antara Belanda dengan rakyat Bali, lamanya perang hingga tiga tahun, akhirnya rakyat Den Bukit mengalami kekalahan, oleh pemerintahan Belanda, pada Isaka 1768 ( 1846 M), adapun raja Ngurah Made, serta Ki Gusti Ketut Jlantik, disertai prajuritnya, lari pergi menuju wilayah Karangasern.

Setelah demikian, tidak ada lagi keturunan raja Karangasern yang memerintah di Buleleng, dan pemerintahan Belanda yang berhasil menang di Buleleng, untuk menjalankan pemerintahan, kembali mengangkat raja, memilih raja keturunan Den Bukit seperti dulu kala, setelah pembicaraan selesai, disetujui oleh para manca dan punggawa semua, diusahakan mencari yang benar-benar keturunan para arya, keturunan Sri Panji Sakti dahulu, yang memerintah di Den Gunung, sebab dipilih oleh semua orang yang menginginkan, sehingga dinobatkan bergelar Ki Gusti Made Rai di Sukasada, menjadi penguasa Den Bukit, beliau adalah putra dari Ki Gusti Made Kari, yang pergi ke daerah Kapal Mangwi, pada saat diserang oleh Ki Gusti Agung Pahang dahulu. 

Ada saudara tertua beliau Ki Gusti Made Rai seorang wanita, bernama Ki Gusti Ayu Pakisan, adiknya bernama Ki Gusti Ayu Rai, yang laki bernama Ki Gusti Made Panji, serta Ki Gusti Nyoman Panarungan.

Adapun adik beliau Ki Gusti Made Kari, yang bernama Ki Gusti Ketut Panji, beliau berputra Ki Gusti Ayu Griya, Ki Gusti Agung, serta Ki Gusti Ayu Bulan, sama-sama berada di Sukasada.

Adapun Ki Gusti Nyoman Panji, yang pergi menuju desa Alas Panji, berputra Ki Gusti Ayu Sekar, Ki Gusti Made Banjar, Ki Gusti Nyoman Banjar, serta Ki Gusti Ketut Tangkeban.

Adapun adik beliau Ki Gusti Nyoman Panji, yang bernama Ki Gusti Ketut Jlantik Sangket berputra Ki Gusti Wayan Jlantik, Ki Gusti Nyoman Oka, Ki Gusti Ketut Rai serta yang lain ibu dengan Ki Gusti Ayu Kompyang Panji, Ki Gusti Ayu Nyoman Rai, Ki Gusti Ketut Ksatra, Ki Gusti Ketut Banjar, serta Ki Gusti Ayu Kaler, sama-sama kembali ke Bangkang.

Adapun Ki Gusti Bagus Jlantik Batupulu, yang pergi ke desa pegunungan di daerah Soka Tabanan, berputra Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Ayu Mas, Ki Gusti Ketut Ksatra, serta Ki Gusti Ketut Jlantik, semua kembali ke wilayah Desa Tukad Mungga. 

Juga adik beliau yang bernama Ki Gusti Made Batan, berputra Ki Gusti Putu Batan, Ki Gusti Ayu Made Taman, Ki Gusti Nyoman Jlantik, Ki Gusti Ketut Kaler, Ki Gusti Ayu Rai, Ki Gusti Ayu Panji, Ki Gusti Bagus Jlantik, Ki Gusti Made Karang, Ki Gusti Ketut Banjar, serta Ki Gusti Ayu Nyoman Soka nama beliau, sebab lahir di desa Soka, pada saat mengungsi dahulu, itu Semuanya lalu bertempat tinggal di Tukad Mungga. Selanjutnya membangun tempat pemujaan di rumahnya di Tukad Mungga, meniru yang ada di istana Bangkang.

Adapun Ki Gusti Putu Kari, Putu Kebon nama lain beliau, yang pergi ke Desa Pakisan, beliau berputra Ki Gusti Bagus Panji Cuwag, Ki Gusti Ketut Kaler, Ki Gusti Ketut Jlantik, serta Ki Gusti Ayu Putu, Semuanya kembali ke Kubutambahan.
Juga beliau Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali, berputra Ki Gusti Bagus Jlantik, Ki Gusti Made Rai, serta Ki Gusti Nyoman Jlantik, sama-sama bertempat tinggal di Sasak.

Yang lainnya, ketika diserang oleh beliau Ki Gusti Agung Pahang, dahulu, oleh karena para Arya Buleleng sama-sama mencari keselamatannya masing-masing, ada para arya yang berbudi ingkar lupa akan leluhurnya, tidak mengetahui asal-usulnya, menuruti jalan hidupnya, sehingga tinggal di rumah orang yang beragama Islam di pesisir Singaraja, yang sudah jelas tidak setia pada agamanya, menjadi beragama Islam, ada keturunannya sampai sekarang, setelah bercampur dengan orang-orang yang beragama Islam. 

Entah beberapa lamanya, lebih kurang tiga tahun lamanya, Ki Gusti Made Rai menjadi raja Buleleng, akhirnya beliau turun dari singgasana, oleh karena tidak menghiraukan rakyat, didorong oleh nafsu, tenggelam dalam sabungan ayam, tidak ingat akan kewajibannya sebagai raja, beberapa bulan meninggalkan istana, tinggal diam di desa Panji, diiring oleh para penjudi, sangat keras mengikuti keinginan berjudi.

Setelah mendapat kata sepakat oleh pemerintahan Belanda, dibantu oleh para menteri, punggawa semuanya, sehingga dipilih beliau Ki Gusti Ketut Jlantik di Kubutambahan, putra beliau I Gusti Putu Kari, dinobatkan menjadi raja di Buleleng, sebab beliau memang benar-benar keturunan Sri Agung Panji Sakti, keturunan keempat dari Ki Gusti Agung Rai.

Kemudian dari hasil keputusan pemerintahan Belanda, pindah dari Kubutambahan beristana di Singaraja, bergelar Ki Gusti Nglurah Ketut Jlantik, dibantu oleh ayah beliau Ki Gusti Putu Kari, berkedudukan sebagai punggawa di Kubutambahan. 

Adapun ipar baginda raja, bernama Ki Gusti Putu Batan, raja muda dengan jabatan sedahan agung kedudukan beliau, dan Ki Gusti Bagus Jlantik, patih kedudukan beliau, semula berkedudukan di Tukad Mungga, selanjutnya pindah ke Singaraja, Puri Kanginan, lain dari itu, masih berada di Tukad Mungga, sama-sama diberi kedudukan oleh baginda raja, demikian keluarga raja keturunan istana Bangkang, serta yang berada di Sukasada, menyebabkan tenang dan sempurna baginda raja, dibantu oleh sanak keluarga dan tanda mantri serta punggawa.

Entah berapa lamanya, bagaikan kehendak-Nya, sebab sudah tiga giliran waktunya pembagian takdir Yang Maha Kuasa, disertai dengan perputaran jaman, menyebabkan keadaan menjadi kacau, menyebabkan banyak yang saling fitnah, diakibatkan oleh keinginan Belanda untuk menguasai negara, dengan cara-caranya sendiri, sehingga ada saja alasannya untuk menghukum, menyalahkan Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik, sehingga beliau diberhentikan menjadi raja, selanjutnya beliau dijadikan orang buangan di Pulau seberang yaitu wilayah Padang Pulau Sumatra.

Setelah keadaan demikian, selanjutnya Belanda sebagai penguasa daerah Buleleng, tidak ada rajanya lagi, hanya Ki Gusti Bagus Jlantik kedudukannya sebagai patih, sebagai pemimpin orang-Bali di Buleleng.

Kembali diceritakan, tentang keturunan beliau Ki Gusti Made Rai di Sukasada, beliau banyak menurunkan keturunan, yang tertua Ki Gusti Bagus Rai, adiknya Ki Gusti Made Ksatra, Ki Gusti Nyoman Karang, Ki Gusti Ketut Tangi, Ki Gusti Ketut Jlantik, Ki Gusti Bagus Dalang, Ki Gusti Ayu Ketut Rai, Ki Gusti Putu Gunung, Ki Gusti Nyoman Jlantik Ceples, Ki Gusti Ayu Jlantik, Ki Gusti Ketut Perasi, Ki Gusti Nyoman Jlantik, Ki Gusti Ketut Rai, Ki Gusti Ayu Putu, beliau dijadikan istri oleh Ki Gusti Putu Griya, di Singaraja.

Adapun Ki Gusti Made Panji, berputra Ki Gusti Ayu Turun. Adapun I Gusti Nyoman Panarungan, berputra Ki Gusti Bagus Bebed, sama-sama berkedudukan di Sukasada.
Adapun Ki Gusti Agung, pindah ke Depaha, berputra Ki Gusti Ayu Sekar, Ki Gusti Ayu Made Panji, Ki Gusti Ayu Made Rai Kebring, yang dijadikan istri oleh Ki Gusti Made Singaraja, di Singaraja, Ki Gusti Ketut Jlantik, Ki Gusti Putu Canang, Ki Gusti Made Togog, Ki Gusti Ayu Nyoman Tilem, Ki Gusti Ketut Panji, serta Ki Gusti Ayu Jlantik. 

Adapun yang berada di istana Bangkang, Ki Gusti Made Banjar, berputra Ki Gusti Ayu Dangin, istri beliau Ki Gusti Nyoman Gunung, di Tukad Mungga, Ki Gusti Ayu Mas, Ki Gusti Nyoman Jlantik, serta KI Gusti Made Panji. Adapun Ki Gusti Nyoman Banjar, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Panji, Ki Gusti Made Selat, serta Ki Gusti Ketut Putu. Adapun Ki Gusti Ketut Tangkeban, beliau tidak mempunyai keturunan.
Adapun Ki Gusti Wayan Jlantik, berputra Ki Gusti Putu Cede, Ki Gusti Made Jlantik, Ki Gusti Ayu Nyoman Ayu, istri beliau Ki Gusti Nyoman Jlantik, Ki Gusti Ayu Kajeng, Ki Gusti Ayu Rai, istri beliau Ki Gusti Putu Intaran, di Bangkang, Ki Gusti Ayu Ketut Panji,, istri beliau Ki Gusti Ketut Putra di Tukad Mungga, serta yang bungsu Ki Gusti Bagus Jlantik.

Adapun Ki Gusti Nyoman Oka, berputra Ki Gusti Putu Intaran, Ki Gusti Made Celagi, Ki Gusti Nyoman Jlantik Jebel, Ki Gusti Putu Gianyar, serta Ki Gusti Made Kaler. Kemudian Ki Gusti Ketut Rai, berputra Ki Gusti Ayu Jlantik, istri beliau Ki Gusti Bagus Rai dari Tukad Kemudian Ki Gusti Ketut Panji, berputra Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Ayu Kompyang Sekar, istri beliau Ki Gusti Made Jlantik, Ki Gusti Ayu Made Rai, istri beliau Ki Gusti Nyoman Jlantik Jebel.

Adapun Ki Gusti Ketut Kaler, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Jlantik, istri beliau Ki Gusti Bagus Jlantik dari Bangkang, serta adiknya Ki Gusti Made Raka. Adapun Ki Gusti Ketut Ksatra, berputra Ki Gusti Bagus Jlantik Dawuh. Kemudian Ki Gusti Ketut Banjar, berputra Ki Gusti Ayu Dalem, istri beliau Ki Gusti Ketut Putu di Bangkang, Ki Gusti Ayu Made Rai, Ki Gusti Panji Cuweh, Ki Gusti Ayu Made Ayu, Ki Gusti Ketut Ayu, Ki Gusti Ayu Selat, Ki Gusti Made Jiwa, Ki Gusti Nyoman Raka, serta Ki Gusti Ayu Ketut Griya, beliau Semuanya ada di Bangkang, satu tempat suci untuk pemujaan bagi beliau semua. Adapun yang ada di Tukad Mungga, yang bernama Ki Gusti Putu Panji, berputra Ki Gusti Bagus Rai, Ki Gusti Ayu Jlantik, istri beliau Ki Gusti Putu Intaran di Tukad Mungga, Ki Gusti Made Oka, Ki Gusti Ayu Nyoman Rempeg, istri beliau Ki Gusti Putu Gianyar di Bangkang, serta Ki Gusti Ketut Cede. Ki Gusti Ketut Ksatra, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Sekar, istri beliau Ki Gusti Ketut Cede, di Tukad Mungga, adiknya Ki Gusti Made Jlantik. Adapun Ki Gusti Ketut Jlantik, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Rai, istri beliau Ki Gusti Ketut Cede di Tukad Mungga.

Selanjutnya Ki Gusti Putu Batan, berputra Ki Gusti Ayu Putu Sekar, istri beliau Ki Gusti Ketut Ksatra di Bangkang, Ki Gusti Ayu Made Jlantik, istri beliau Ki Gusti Made Celagi di Bangkang, Ki Gusti Ayu Kompyang Ayu, istri beliau Ki Gusti Putu Griya di Singaraja, Ki Gusti Made Singaraja, Ki Gusti Ayu Nyoman Ayu, istri beliau Ki Gusti Nyoman Raka, Ki Gusti Ketut Bagus, serta yang bungsu Ki Gusti Ketut Putu.

Adapun beliau Ki Gusti Nyoman Jlantik, berputra Ki Gusti Putu Center, Ki Gusti Ayu Made Rai, istri beliau Ki Gusti Putu Cede di Bangkang, Ki Gusti Putu Selat, Ki Gusti Ayu Made Sekar, Ki Gusti Nyoman Jlantik Gunung, serta Ki Gusti Ketut Putra. Adapun Ki Gusti Ketut Kaler, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Kaler, serta Ki Gusti Ayu Made Griya, sama-sama diambil sebagai istri oleh Ki Gusti Ketut Jlantik.

Selanjutnya Ki Gusti Bagus Jlantik Patih, berputra Ki Gusti Putu Intaran. Serta Ki Gusti Made Karang, beliau tidak mempunyai keturunan. Selanjutnya Ki Gusti Ketut Banjar, putra beliau tertua bernama Ki Gusti Putu Griya, adiknya Ki Gusti Ayu Made Panji, istri beliau Ki Gusti Putu Selat di Tukad Mungga, Ki Gusti Nyoman Raka, Ki Gusti Ketut Jlantik, serta Ki Gusti Ayu Rai, istri beliau Ki Gusti Putu Intaran di Tukad Mungga. Demikian keturunan beliau yang ada di Tukad Mungga, Semuanya bersatu dalam satu tempat pemujaan masing-masing di desa Tukad Mungga.

Adapun Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik, bekas raja Buleleng yang terakhir, berasal dari keturunan di Kubutambahan, beliau mempunyai seorang putri, bernama Ki Gusti Ayu Kompyang, istri beliau Ki Gusti Made Singaraja, di Singaraja.



sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita kelainan kaki pada balita arrow
Ads orthoshop info

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.