Yen sira kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, aja sira malah rumangsa pinter, jalaran menawa Gusti mundhut bali ngelmu kang marakake sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah bisa aji godhong jati aking.(Bila anda mendapat anugrah ilmu yang membuat banyak orang senang, janganlah kamu merasa pintar, sebab apabila Tuhan mengambil lagi ilmu yang menyebabkan anda terkenal itu, anda akan menjadi orang biasa lagi, malah lebih bermanfaat daun yang kering)
Saturday, December 27, 2008
Sejarah Wayang Kedu
Dalam Serat Centhini, disebutkan bahwa Ki Panjangmas adalah seorang dalang wayang gêdhog purwa dari Desa Kedu pada zaman pemerintahan Sri Surya Anyakrawati atau Pangeran Seda Krapyak di Mataram tahun 1601-1613 Masehi. Keterangan ini terdapat pada pupuh ke 139 yaitu pupuh Salisir, pada pada ke 35-41, 53 dan 54, yang berbunyi sebagai berikut.
35. Ing sajumênêngnya nata, Sri Surya Anyakrawatya, rama dalêm Sri Naréndra, ingkang jumênêng samangkya.
Ketika bertahtanya raja, Sri Surya Anyakrawatya ayahanda raja yang memerintah sekarang.
36. Amamangun wayang purwa, baboné Kidang Kêncana, jinujud mung sawatara, sasigaring palêmahan.
Membuat wayang purwa bersumber Kidang Kencana yang dipanjangkan separuh dari palêmahan.
37. Arjunané pinaringan, panêngran Kiyai Jimat, iku wiwité kang wayang, purwa lan gêdhog sinungan,
tokoh Arjuna diberi nama Kyai Jimat, inilah awal mula wayang purwa dan gedhog diberi
38. bau lan tangan pinisah, tangan cinampuritan, myang winuwuhan dhagêlé, myang winuwuhan gagaman.
bahu dan tangan dipisah, tangan diberi cempurit serta ditambah wayang dhagel dan senjata.
39. Panah kêris sapadhanya, bangsaning landhêp sadaya, paripurna karsa nata, banjur ana uwong manca.
Panah keris dan sebagainya yang berupa senjata tajam, setelah selesai keinginan raja itu, kemudian ada orang dari luar negara
40. Saka Kêdu asalira, bisa dalang gêdhog purwa, banjur kaabdèkake dadya, dalang sajroning nagara.
dari Kedu asalnya, mahir mendalang gêdhog purwa, yang kemudian menjadi abdi dalang kerajaan.
41. Kaparêngé Sri Naréndra, wayang bèbèr pangruwatan, sinalinan wayang purwa, katêlah têkèng samangkya.
Oleh karena perintah raja, wayang bèbèr pangruwatan diganti dengan wayang purwa, berlaku hingga sekarang.
53. Lah mung niku kawruhingwang, crita witing ana wayang, kang miyarsa samya girang, matur pundi turun dalang.
Hanya demikian pengetahuan saya mengenai cerita adanya wayang, yang mendengarkan merasa gembira serta bertanya, yang mana dalang itu.
54. Ki Sumbaga astanira, anudingi lah kaé ta, kang sèndhèn saka rawa, Ki Panjangmas
Ki Sumbaga tangannya menunjuk, itu orangnya yang bersandar saka rawa, namanya Ki Panjangmas.
Kutipan di atas menerangkan, bahwa pada zaman pemerintahan Sri Surya Anyakrawati atau Pangeran Seda Krapayak di Mataram tahun 1602-1613 Masehi, pernah hidup seorang dalang dari Kedu bernama Ki Panjangmas yang kemudian diangkat menjadi abdi dalang pangruwatan dalam lingkungan istana kerajaan Mataram.
Dalam buku Kota Jogjakarta 200 Tahun, diterangkan bahwa bentuk wayang Kedu dibuat pertamakali oleh seorang bernama Ki Atak dari Desa Danaraja, Kabupaten Wonosobo pada zaman perang Giyanti sekitar tahun 1755 Masehi. Pada masa perang Giyanti, Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I) lolos dari Surakarta diikuti oleh abdi pênatah bernama Ki Jayaprana dan anak Ki Jayaprana yang bernama Jaka Penatas menuju daerah Kedu. Di daerah tersebut Ki Jayaprana dan Jaka Penatas menginap di rumah Ki Atak di Desa Danaraja. Selama tinggal di rumah Ki Atak kebutuhan hidupnya dicukupi oleh Ki Atak. Sebagai balas budi, Ki Jayaprana memberi pelajaran membuat wayang pada Ki Atak. Persaudaraan menjadi erat setelah Jaka Penatas dikawinkan dengan Sutiyah anak Ki Atak. Dari perkawinan itu lahir Bagus Riwong yang pada waktu berikutnya menurunkan dalang-dalang daerah Yogyakarta. Setelah perang Giyanti berakhir, Ki Jayaprana dan Jaka Penatas mengabdi di Yogyakarta, sedangkan Ki Atak melanjutkan membuat wayang. Wayang buatan Ki Atak ini berciri kak-kong dan merupakan awal mula bentuk wayang Kedu. Kata kak-kong berasal dari bahasa Jawa tungkak-bokong, yang dalam bahasa Indonesia berarti tumit-pantat. Maksud kata kak-kong disini adalah jarak antara tumit dengan pantat dekat. Lawan kata kak-kong adalah kong-ngêl (pantat-tengkuk), artinya jarak pantat dekat dengan tengkuk.
Tiga sumber sejarah di atas memiliki perbedaan versi. Pertama, perbedaan pencipta bentuk wayang Kedu. Sri Soedarsono menyebutkan, bentuk wayang Kedu pertamakali merupakan hasil karya Ki Panjangmas dan Ki Morowongso. Buku Kota Jogjakarta 200 Tahun menyebutkan, bentuk wayang Kedu merupakan hasil ciptaan Ki Atak murid dari Ki Jayaprana. Kedua, perbedaan waktu kejadian dari kedua sumber tersebut. Keterangan Sri Soedarsono menyebutkan saat itu Ki Panjangmas dan Ki Morowongso dipanggil ke Surakarta, dengan demikian penciptaan wayang Kedu ada dalam peristiwa sesudah perang Giyanti tahun 1755 Masehi. Buku Kota Jogjakarta 200 Tahun diterangkan, Ki Atak sebagai pencipta wayang Kedu berkarya di tengah-tengah peristiwa perang Giyanti. Ketiga, perbedaan mengenai kehidupan Ki Panjangmas, ada selisih waktu antara keterangan Sri Soedarsono dan Serat Centhini. Keterangan Sri Soedarsono tidak menyebut secara jelas tahun berapa saat kehidupan Ki Pannjangmas, hanya disebutkan bahwa Ki Lebdajiwa atau Ki Panjangmas adalah seorang dalang dari Desa Kedu. Dalam Serat Centhini secara jelas disebutkan, pada saat pemerintahan Sri Surya Anyakrawati atau Pangeran Seda Krapyak memerintah di Mataram (1601-1613 Masehi), pernah hidup Ki Panjangmas seorang dalang dari daerah Kedu.
Ki Panjangmas adalah seorang dalang dari Kedu. Dalam penelitian Groenendael yang bertolak dari Serat Pakem Sastra Miruda, disebutkan seorang laki-laki dari Kedu yang memiliki kepandaian sebagai dalang, atas perkenan raja diangkat menjadi abdi dalêm, yaitu pada masa pemerintahan Sudha Anyakrawati yang wafat di Krapyak 1613 Masehi. Keterangan ini mirip dengan Serat Centhini, walaupun tidak disebutkan siapa nama dalang itu, jelas yang dimaksud Serat Pakem Sastra Miruda adalah Ki Panjangmas. Alasan itu berdasarkan dengan mengkaitkan keterangan tersebut pada syair-syair Serat Centhini pada pupuh Salisir, pada ke 35-41, 53 dan 54.
Menurut R. Tanaya seperti yang dikutip Groenendael menyebutkan, pada masa pemerintahan Susuhunan Anyakrawati yang wafat di Krapyak, ada seorang bernama Pangeran Panjangmas alias Mufti Mandika. Ia mempunyai tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua perempuan. Pada waktu itu seorang dalang dari Kedu bernama Lebdajiwa datang di istana dan didudukkan di bawah pengayoman Pangeran Panjangmas. Kemudian Lebdajiwa dikawinkan dengan anak Pangeran Panjangmas yang bernama Retna Juwita. Pada tahun 1627 Masehi dalam masa pemerintahan Sultan Agung tahun 1613-1645 Masehi, dalang Lebdajiwa mendapat perintah mendalang untuk Ratu Kidul (permaisuri gaib raja-raja Mataram yang berdiam di Laut Selatan). Ketika itu anjang yang digunakan menaruh sesaji pertunjukkan berubah wujud menjadi emas. Oleh karena itu Lebdajiwa diberi nama Anjangmas. Sesudah ayah mertuanya meninggal iapun dikenal sebagai Kyai Panjangmas II.
Sumber sejarah di atas akan lebih simpang siur lagi untuk diluruskan, jika kita melihat sejarah lisan yang berasal dari dalang pewaris tradisi Kedu. Berdasarkan cerita lisan, sejarah perkembangan wayang kulit tradisi Kedu pada awal-mulanya diciptakan oleh Ki Lebdajiwa atau Ki Panjangmas yang berasal dari Kedu. Sumber cerita lisan ini, seperti apa yang dituturkan oleh Ki Wasana seorang dalang pewaris tradisi Kedu yang tinggal di Desa Kaligalang, Ngadireja, Temanggung. Ki Wasana ini adalah satu-satunya dalang pewaris tradisi Kedu yang masih hidup di Kabupaten Temanggung. Ia merupakan generasi ke sembilan dari Ki Panjangmas. Garis keturunan tersebut, Ki Lebdajiwa atau Ki Panjangmas, Ki Marawangsa, Ki Patemon, Ki Maya Trunagati, Ki Citragati atau Ki Ciptagati, Ki Resasana, Ki Karsana, Ki Ganda Hadiwirya, Ki Wasana. Ki Wasana menuturkan awal-mula terjadinya bentuk wayang Kedu sebagai berikut.
Rikala Ki Lêbdajiwa wontên ing Dêmak, piyambakipun gadhah tékad agêng nyinau bab ringgit. Saéngga sagêt ngringgit lan damêl ringgit cucal. Sadèrèngè wangsul ing Kêdu, ringgit-ringgit Dêmak kasêbat dipun conto lan dipun gambar ing slumpring. Sasampuné ing Kêdu gambar-gambar ringgit ing slumpring kasêbat dipun wujudaken mawi cucal kêbo, éwadéné anggènipun damêl corèkan ngagêm pangot, nyunggingipun ngagêm tlutuh lan ron-ronan. Pramila kathah para sanak-kadang ingkang kapéngin sinau lan dados muridipun. Lan ing wêkdal salajêngipun murid-murid ugi sagêd damêl ringgit lan ngringgit. Ananging simbah-simbah rumiyin ugi nyariosaken bilih sakdéréngipun ringgit Kêdu punika kadamêl saking cucal kêbo, langkung rumiyin dipun damêl ngagêm blabag utawi kajêng tipis, lajêng ringgit blabag kasêbat wontên ing Kêdu katêlah ringgit Gêdhog.
(Ketika Ki Lebdajiwa berada di Demak, dia bertekad mempelajari wayang, sehingga ia dapat memainkan dan membuat wayang. Sebelum kembali ke Kedu, wayang-wayang Demak dicontohnya dengan digambar pada pelepah bambu. Setibanya di Kedu diwujudkan pada kulit kerbau, adapun cara pembuatannya dengan menggunakan pangot, serta pewarnaannya menggunakan getah dan daun-daunan. Akhirnya banyak sanak saudaranya yang ingin mempelajari serta menjadi muridnya. Pada waktu selanjutnya murid-muridnya dapat pula membuat dan memainkan wayang. Akan tetapi menurut nenek moyang dulu juga menceritakan, bahwa sebelum wayang Kedu ini dibuat dari kulit kerbau, lebih dahulu dibuat dari kayu tipis, kemudian wayang tersebut di Kedu disebut Wayang Gedog....)
Berdasarkan keterangan Ki Wasana ini diperoleh keterangan bahwa sebelumnya wayang Kedu dibuat dari bahan kayu, dan disebut wayang gêdhog. Data lisan ini dapat dibandingkan dengan Serat Centhini, yang keduanya menyebut wayang gêdhog. Meskipun tidak terlalu akurat dapat ditarik satu kesimpulan, bahwa apa yang dimaksud wayang gêdhog purwa dalam Serat Centhini sama dengan wayang gêdhog menurut Ki Wasana.
Sumber dan data historis di atas rupanya perlu dicermati lebih lanjut dengan melibatkan ilmu sejarah, sehingga pada penelitian selanjutnya akan didapatkan suatu kesimpulan yang lebih akurat.
B. Bentuk dan Ciri Wayang
..., bentuk manusia itu dalam wayang kulit dipilin-pilin sedemikian rupa sehingga disatu pihak bentuk keseluruhannya menjadi pipih dan cocok untuk dimainkan di layar, dan di lain pihak rupanya ada keinginan untuk mencari posisi yang memberikan kesempatan kepada si pembuat agar dapat menunjukan tubuh manusia secara utuh; mata dua (kalau dirasa perlu nyatanya dibuatlah begitu, seperti halnya yang tampak pada tokoh Hanoman gaya Yogyakarta atau Bali), bahunya juga dua, kaki dua dengan telapak kaki yang masing-masing mempunyai lima jari kaki, dan seterusnya.
Mengenai bentuk wayang kulit purwa gaya Kedu pada dasarnya hampir sama dengan gaya-gaya lain, khususnya yang ada di Jawa. Adanya macam-macam gaya tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor tertentu yang mencampuri proses pembentukan dan perkembangannya, sehingga munculah ciri-ciri dalam bentuk wayang yang antara daerah satu dengan lainya berbeda. Untuk mengetahui ciri bentuk wayang Kedu, pada penelitian ini akan dibandingkan dengan bentuk yang ada pada daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Wayang kulit Kedu terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan, ditatah sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Unsur-unsur yang membentuk wayang adalah tatahan, sunggingan, warna dan satu hal yang erat kaitannya dengan keberadaan wayang ialah wanda. Untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut dapat diterangkan sebagai berikut.
1. Unsur tatahan
Istilah tatahan dalam seni wayang adalah hasil pahatan pada wayang itu sendiri. Istilah tersebut berasal dari bahasa Jawa tatah yang berarti pahat. Jadi tatahan berarti hasil pahatan pada wayang kulit. Ada beberapa jenis motif tatahan yang semuanya mempunyai nama. Menurut S. Haryanto, jenis motif tatahan wayang gaya Surakarta, yaitu:
a. Bubukan b. Tratasan
c. Untu Walang d. Lanjuran
e. Bubuk Iring
f. Êmas-êmasan
g. Sumbulan
h. Gubahan
i. Intên-intênan
j. Srunèn
k. Srunèn Utuh
l. Kêmbang Katu
m. Patran
n. Sêritan
o. Sêmbulihan
Pada wayang kulit gaya Yogyakarta, sebagian besar motif tatahan sama dengan yang ada di Surakarta. Namun demikian ada beberapa motif yang tidak terdapat di Surakarta, sehingga ini merupakan ciri khas wayang gaya Yogyakarta. Motif tatahan itu adalah:
a. Êmas-êmasan
b. Êmas-êmasan Intên
c. Kêmbang Cêngkèh
d. Êmas-êmasan Cucuk
e. Langgat Bubuk
f. Langgatan
g. Intên-intênan
h. Wajik
i. Êmas-êmasan Rangkêp
j. Sêmutdulur
k. Sêmèn
Tatahan yang terdapat pada wayang kulit gaya Kedu pada dasarnya sama dengan tatahan wayang kulit di Jawa pada umumnya. Secara tekhnis perbedaan itu terletak pada bentuk tatahan yang dihasilkan dengan peralatan yang masih sederhana. Konon alat yang digunakan untuk memahat adalah pangot, sehingga hasil pahatannya kelihatan besar-besar. Jika dilihat dari bentuk fisik, wayang kulit gaya Kedu lebih cenderung dekat dengan gaya Yogyakarta, namun bentuk dan susunan tatahan yang diterapkan lebih banyak kesamaannya dengan gaya Surakarta, hanya saja tatahan gaya Kedu jenisnya tidak selengkap seperti pada gaya Surakarta. Sebagai contoh corak tatahan seperti bubuk manis pipil, intênan pipil, srunèn pipil tidak ditemui pada wayang kulit gaya Kedu. Selain itu belum banyak penerapan dan perlengkapan busana wayang.
2. Unsur sunggingan dan warna
Sunggingan adalah hasil pewarnaan pada wayang kulit. Melihat secara langsung dari dekat wujud wayang kulit gaya Kedu, akan diketahui yang sebenarnya mengenai sunggingan dan warna yang diterapkan pada wayang tersebut. Pengerjaan sunggingan dan pewarnaan belum halus dan rapi. Sunggingan byor (gradasi warna) pada perpindahan tingkatan warnanya sangat tegas, sebab sebagian besar bentuk sunggingan byor hanya terdiri dari dua tingkatan saja, bahkan ada bidang yang seharusnya dibyor hanya disungging polos dengan satu warna (tidak bergradasi). Pada wayang kulit gaya Kedu tidak ada unsur sunggingan drênjêman dan cawèn. Menurut para pengamat dan ahli wayang, bahwa wayang kulit yang tidak memiliki drênjêman dan cawèn menandakan wayang tersebut berusia tua. Hal ini menegaskan secara fisik wayang gaya Kedu lebih tua dari pada gaya Yogyakarta maupun Surakarta.
Bahan pewarna yang digunakan untuk sunggingan masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Ki Wasana memperoleh warisan resep bahan-bahan pewarna tradisional. Bahan-bahan tersebut antara lain:
a. Warna hitam terbuat dari oyan (langês, Jw.).
b. Warna merah terbuat dari bijih gêndhulak yang dijadikan tepung.
c. Warna hijau terbuat daun kara yang diambil sari warna daunnya dengan cara ditumbuk.
d. Warna kuning terbuat dari serbuk batu-batuan.
e. Warna prada terbuat dari serbuk emas.
f. Warna putih terbuat dari tepung bijih cêplikan, atau dari abu tulang kerbau.
g. Warna biru kurang bisa dijelaskan, sedangkan untuk warna lain merupakan pencampuran warna-warna di atas.
sebagai bahan pencairnya digunakan getah pepaya muda.
C. Perlengkapan Pertunjukan
Pementasan wayang gaya Kedu, diperlukan perlengkapan-perlengkapan lain sebagai pendukungnya. Perlengkapan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Gawangan dan Kêlir
Gawangan adalah sarana untuk membentangkan kêlir yang terbuat dari kayu atau bambu. Pada masa dahulu gawangan dipersiapkan secara mendadak. Ini dapat dimengerti, karena pertunjukkan wayang pada masa-masa itu masih sederhana, serta perlengkapan pembuatan gawangan mudah di dapat di setiap tempat. Berbeda dengan pertunjukkan wayang masa sekarang yang segalanya telah dipersiapkan matang-matang, sehingga gawangan banyak yang bersifat permanen. Ukuran gawangan, panjang kurang lebih 3 meter dan tingginya 2,5 meter. Ukuran ini disesuaikan dengan ukuran pintu gêbyog perumahan zaman dahulu. Kêlir atau layar terbuat dari kain blaco berwarna putih dengan ukuran menyesuaikan ukuran gawangan, bagian tepi kêlir diberi kain berwarna merah atau hitam selebar kira-kira 20 cm sebagai pasitèn dan pêlangitan. Penerapannya kêlir direntangkan pada gawangan. Di bawahnya dibujurkan gêdêbog yang disusun sedemikian rupa untuk menancapkan wayang. Penataan semcam ini dalam tradisi pedalangan disebut panggungan.
2. BléncongBléncong yaitu sebuah lampu berbentuk seperti cèrèt terbuat dari bahan kuningan dengan sumbu benang lawé, dan untuk bahan bakar digunakan minyak kelapa. Bléncong ini digantungkan, diatur sedemikian rupa sehingga posisinya berada di antara dalang dan kêlir. Selain untuk alat penerangan, cahaya bléncong diarahkan menuju kêlir sehingga wayang yang dimainkan dalang jika dilihat dari balik kêlir akan menghasilkan suatu pertunjukan bayangan. Pada masa sekarang nyala api bléncong telah digantikan oleh lampu listrik.
3. Kothak
Kothak adalah kotak penyimpanan wayang terbuat dari kayu. Ada beberapa jenis kayu yang dianggap memiliki kualitas bagus untuk kotak wayang. Kualitas ini berdasarkan kekuatan kayu dan suara yang dihasilkan ketika kotak dipukul dengan cêmpala. Jenis kayu ideal yang memenuhi standar adalah kayu surèn dan nangka. Ukuran kotak kira-kira panjang 2 meter, lebar 0,75 meter dan tinggi 0,5 meter. Dalam pertunjukan kothak ini diletakkan di sisi kiri dalang, sedangkan tutupnya diletakkan di sisi kanan. Wayang-wayang yang akan digunakan dalam pementasan diletakkan dalam kothak dan di atas tutup kothak.
4. Cêmpala dan Kêprak
Cêmpala adalah alat yang digunakan dalang untuk memukul kothak. Cêmpala dibuat dari bahan kayu, tanduk atau besi sebanyak dua buah. Satu untuk cêmpala tangan yang lain untuk cêmpala kaki. Cêmpala tangan lebih besar dari pada cêmpala kaki. Cêmpala tangan digunakan untuk platukan, cêmpala kaki untuk memukul kotak dan kêprak. Kêprak terbuat dari bahan baja atau kuningan berjumlah tiga keping. Kedua alat ini dimainkan oleh dalang untuk mendukung suasana adegan pada pakêliran.
5. Ricikan Gamêlan
Gamêlan yang digunakan sebagai iringan, yatiu satu perangkat gamêlan Laras Sléndro dengan instrumen sejumlah 14 buah, yaitu sebuah kêndhang, gambang, rêbab, dêmung, saron, bonang barung, bonang pênêrus, slênthêm, gong laras nêm, kêmpul laras nêm, kêthuk, kênong laras nêm, kêcèr, dan suling. Keempatbelas instrumen tersebut dimainkan oleh sebelas orang pêngrawit, masing-masing memainkan satu instrumen. Tiga orang pêngrawit masing memainkan dua instrumen, yaitu gong laras nêm dan kêmpul laras nêm, kêthuk dan kênong, serta kêcèr dan suling.
D. Struktur Adêgan Pakêliran
Pakêliran adalah bentuk pergelaran wayang dalam sebuah ceritera utuh, baik semalam maupun siang hari atau kurang dari itu. Dalam buku Pedoman Wayang Gaya Kedu dijelaskan suatu pedoman pelaksanaan sebuah pakêliran satu malam. Urutannya terbagi menjadi tujuh jêjêr yang dirangkai dengan delapan adêgan yang keseluruhannya terbagi dalam tiga pathêt.
1. Pembagian dan Peralihan Pathêt
Arti pathêt di sini adalah pembagian waktu dalam sebuah pakêliran satu malam. Pakêliran dibagi menjadi tiga bagian pathêt, yaitu:
a. Pathêt Nêm, dimulai dari pukul 21.00 sampai dengan pukul 24.00.
b. Pathêt Sanga, dimulai dari pukul 24.00 sampai dengan pukul 03.00.
c. Pathêt Manyura, dimulai dari pukul 03.00 sampai dengan pukul 06.00.
Tanda peralihan pathêt adalah posisi kayon pada kêlir. Pada waktu Pathêt Nêm posisi kayon miring ke kiri, Pathêt Sanga posisi kayon tegak lurus, dan pada waktu menginjak Pathêt Manyura posisi kayon miring ke kanan. Selain posisi kayon, instrumen dêmung dan rêbab berperan penting untuk memulai peralihan pathêt dengan grambyangan pathêt yang diinginkan sebelum dalang melagukan sulukan.
2. Urutan Jêjêr dan Adêgan
Pakêliran satu malam, biasanya terdapat tujuh jêjêr yang terangkai dengan delapan adêgan. Sebelum pertunjukkan dimulai, lebih dahulu pêngrawit memainkan gêndhing talu yaitu Ladrang Gègèr Sêkutho. Pakeliran diawali oleh jêjêr suatu negara, di mana seorang raja dihadap para pegawainya membicarakan satu masalah. Terjadi dialog untuk memecahkan masalah tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk mengambil langkah pemecahan masalah, kemudian pertemuan dibubarkan dengan masing-masing tugasnya. Raja pulang masuk ke istananya. Kepulangan raja disambut permaisuri. Raja mengabarkan hasil pertemuan. Kemudian raja bersama permaisuri menuju ruang makan atau raja menuju tempat semedi. Adegan ini diakhiri oleh dialog abdi permaisuri (Cangik dan Limbuk). Patih raja tersebut menuju paséban jawi untuk mengabarkan hasil pertemuan kepada para panglima, dilanjutkan penggambaran keberangkatan para prajurit.
Jêjêr kedua melukiskan suatu negara di mana seorang raja dan patihnya sedang membicarakan suatu masalah. Biasanya masalah itu berkaitan dengan jêjêr pertama. Kemudian diputuskan untuk memberangkatkan prajurit menuju suatu tempat. Perjalanan prajurit dari negara jêjêr pertama berpapasan dengan prajurit dari jêjêr kedua. Kedua belah pihak saling berebut jalan yang menyebabkan pertempuran. Pertempuran ini tidak ada yang menang. Akhirnya prajurit pihak jêjêr kedua mencari jalan lain. Pertempuran ini diistilahkan sebagai pêrang simpang.
Jêjêr ketiga melukiskan suatu tempat atau negara di mana ada tokoh yang memiliki permasalahan yang berkaitan dengan masalah jêjêr terdahulu. Tokoh-tokoh pada jêjêr ketiga ini kemudian bertemu dengan prajurit jêjêr pertama. Terjadi perselisihan yang dilanjutkan peperangan. Peperangan ini dimenangkan pihak prajurit jêjêr pertama. Adegan perang ini diistilahkan pêrang gagal.
Gara-gara merupakan adegan panakawan yang sedang bersenda gurau. Panakawan ini adalah abdi seorang satria. Gara-gara dilanjutkan jêjêr keempat yang menggambarkan satria menghadap pendeta atau satria sedang berkelana di hutan. Selanjutnya satria bertemu prajurit dari jêjêr kedua (biasanya prajurit raksasa). Terjadi perang antara satria melawan raksasa. Perang ini disebut pêrang bégal.
Jêjêr kelima melukisakan suatu tempat. Tokoh pada jêjêr ini kemudian bertemu dengan satria. Terjadi perang yang disebut pêrang panggah.
Jêjêr keenam melukiskan suatu tempat di mana ada permasalahan berkaitan dengan masalah pada jêjêr sebelumnya. Akhirnya pihak-pihak yang bersangkutan pada masalah cerita bertemu yang menyebabkan perang besar. Perang ini dimenangkan oleh pihak satria. perang ini disebut pêrang agêng. Akhir perang ditutup tayungan, yaitu tarian yang dilakukan pihak pemenang. Tayungan biasanya dilakukan oleh tokoh Werkudara untuk cerita yang mengambil siklus Mahabharata, Batara Bayu untuk siklus dewa-dewa, dan Anoman untuk siklus Ramayana. Jika dalam cerita tidak menampilkan tokoh-tokoh tersebut, tayungan dilakukan oleh Petruk.
Jêjêr ketujuh melukiskan negara yang berhasil dalam perebutan kepentingan pada cerita tersebut. Jêjêr ini ditutup dengan golèkan, yaitu tarian wayang yang terbuat dari kayu dan bentuknya seperti boneka.
Pola rangkaian ini tidak selalu berlaku pada setiap pakêliran. Penerapannya disesuaikan dengan jalan ceritera lakon yang dipentaskan. Secara ringkas urutan jêjêr dan adêgan pada pakêliran Kedu dapat dirangkum sebagai berikut.
a. Jêjêr pertama, merupakan penggambaran satu istana, di mana pada waktu itu raja dihadap segenap hulubalang membicarakan suatu masalah.dirangkai dengan adêgan kêdhatonan dan paséban jawi.
b. Jêjêr kedua, dirangkai dengan adêgan pêrang simpang.
c. Jêjêr ketiga, dirangkai dengan adêgan pêrang gagal, dilanjutkan gara-gara.
d. Jêjêr keempat, dirangkai dengan adêgan pêrang bégal.
e. Jêjêr kelima, dirangkai dengan adêgan pêrang panggah.
f. Jêjêr keenam, dirangkai dengan adêgan pêrang agêng, diakhiri tayungan.
g. Jêjêr ketujuh, merupakan jejer terakhir, ditandai dengan golèkan dan tancêp kayon.
Urutan ini akan menampakkan ciri Kedu jika dibandingkan dengan yang ada pada pakêliran Surakarta dan Yogyakarta. Pada pakêliran Surakarta istilah jêjêr hanya menunjuk pada adegan pertama. Istilah jêjêr Yogyakarta pengertiannya sama dengan gaya Kedu, yaitu suatu penggambaran suatu tempat atau negara yang diiringi dengan gêndhing tertentu dan dalang memberikan narasi pada adegan tersebut saat gêndhing sirêp. Untuk lebih jelasnya lihat tabel perbedaan struktur pakêliran dibawah:
Tabel 1. Perbedaan Struktur Pakêliran Yogyakarta, Kedu, dan Surakarta.
Pakêliran Yogyakarta | Pakêliran Kedu | Pakêliran Surakarta |
Jêjêr pertama: - adêgan kêdhatonan - adêgan muja sêmèdi - adêgan pasowanan jawi - adêgan bidhalan - adêgan pêrang ampyak | Jêjêr pertama: - adêgan kêdhatonan - adêgan paséban jawi | Jêjêr: - adêgan kêdhatonan - adêgan paséban jawi - adêgan kapalan - adêgan pêrang ampyak |
Jêjêr kedua Adêgan pêrang simpang | Jêjêr kedua Adêgan pêrang simpang | Adêgan Sabrang, pêrang gagal |
Jêjêr ketiga Adêgan pêrang bégal | Jêjêr ketiga Adêgan pêrang gagal | Adêgan sabrang rangkêp |
Gara-gara | Gara-gara | Gara-gara (tidak setiap lakon) |
Jêjêr keempat Adêgan pêrang bégal | Jêjêr keempat Adêgan pêrang bégal | Adêgan pandhita
|
Jêjêr kelima Adêgan pêrang tanggung | Jêjêr kelima Adêgan pêrang panggah | Adêgan raksasa punggawa Pêrang kêmbang |
Jêjêr keenam Adêgan pêrang tandang | Jêjêr keenam Adêgan pêrang agêng, tayungan | Adêgan sanga pindho Sintrèn |
Jêjêr ketujuh Adêgan pêrang agêng, golèkan. Tancêp kayon. | Jêjêr ketujuh, golèkan. Tancêp kayon
| Adêgan Pêrang Brubuh, tayungan. Tancêp kayon. |
Struktur adegan pada ketiga gaya di atas berdasarkan pada pedoman umum, namun pada penerapannya disesuaikan dengan lakon yang disajikan. Pada masa sekarang struktur adegan seperti itu hampir tidak ada lagi dalang yang menerapkan, baik itu dalang Kedu, Yogyakarta maupun Surakarta. Umumnya mereka mulai berani merubah. Hal ini dikarenakan kehendak masing-masing seniman dalang untuk memuaskan selera seninya dan menuruti minat penonton.
E. Unsur-unsur Pakêliran
Unsur-unsur pakêliran tradisi Kedu hampir sama dengan yang ada pada pakêliran tradisi Surakarta dan Yogyakarta. Ada beberapa perbedaan untuk menyebut suatu istilah, misalnya istilah kandha yang menyangkut semua ucapan dalang pada tradisi Surakarta disebut catur. Istilah suluk pada tradisi Kedu, di Yogyakarta disebut lagon. Untuk lebih memperjelas selanjutnya dideskripsikan unsur-unsur tersebut.
1. Kandha
Kandha adalah semua yang diucapkan dalang. Kandha meliputi janturan dan pocapan. Janturan adalah semua narasi dalang untuk menggambarkan suatu keadaan, sedangkan pocapan adalah dialog antar tokoh wayang. Pada tradisi Yogyakarta, istilah kandha disebut carita yang meliputi, a) janturan, yaitu narasi dalang dengan disertai gêndhing sirêp, b) kandha, yaitu narasi dalang disertai penggambaran di kêlir, c) carita, yaitu narasi dalang sebagai penggambaran cerita sebelum atau sesudahnya, dan d) pocapan, yaitu dialog antar tokoh wayang. Pada tradisi Surakarta, istilah kandha disebut catur yang meliputi, a) janturan, b) ginêm, c) pocapan, d) carita, e) antawacana, dan f) banyol.
Dalam pakêliran satu malam, terdapat sembilan janturan yang semuanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan lakon. Contoh dari kesembilan janturan itu seperti tulisan Sri Soedarsono adalah,
a. Janturan jêjêr I
Hong Wilahèng awigêna mastuti purnama sidhêm. Suh rêp data pitana anênggih nêgari pundi ingkang kaéka adi dasa purwa. Adi linuwih, dasa sêpuluh, purwa wiwitan. Sênajan kathah titahing déwa ingkang kasangga ing pêrtiwi, kasongsongan ing ngakasa, kapit ing samodralaya, sami anggana raras, botên wontên kados nêgari pundi ta ingkang kinarya bêbukaning cariyos, inggih nêgari ing ...........Dhasar wêgig tur awingit, bêbasan angin apiyak méga, ngèmpèr angungkuli Kraton Praja ing ....... bêbasan manuk mabur angungkuli kraton, dhawah luntak ludira dadi lan sirnané.
Pramila ngupaya nêgari satus datan antuk kalih, sèwu tan antuk sadasa ingkang kados ing nêgari .......... Dhasar nêgari panjang apunjung, pasir wukir, loh jinawi, gêmah aripah, karta raharja. Panjang dawa pocapané, punjung luhur kawibawané. Pasir samodralaya, wukir gunung. Tata rakiting praja angungkurakên pagunungan, angéringakên patêgilan, nêngênakên pêsabinan, ngayunakên bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murang kang sarwa tinuku. Gêmah kang sarwa lampah dagang labêt tan wontên kasangsayaning margi. Ripah jalma ingkang samya gêgriya salêbêting praja, jêjêl pipit cukit têpung tritis. Papan wiyar katingal rupak, saking aripahing praja.
Karta têntrêm pangulahing têtanèn, bapa tani biyung tani samya mungkul siyang pantara ratri. Botên wontên ingkang samya kekirangan. Bêbasan randha kèwèr madhêp sêmungkêm sadé godhong lan dhêdhak, cukup rina lan wenginé. Kêbo sapi, pitik iwèn yèn rina aglar ing pangonan, wanci dalu mulih marang kandhangé dhéwé-dhéwé. Raharja têbih ing parangmuka, saking punggawa mantri, bupati, samya sêkti sudibya mandraguna. Putus wajib pangrèhing praja. Datan wontên sulayèng batos. Dhasar nêgara padhang jagadé, dhuwur kukusé, adoh kuncarané, gêdhé obore. Ugi-ugi nêgari kanan kéringipun ingkang cakêt samya manglung ingkang têbih tumiying, awit kayungyun pepoyaning kautaman. Samya asok bulu bêkti glondhong pêngarêng-arêng asok putri kinarya panungkul, kêpéngin dados sudarmaning prajurit.
Pinunggêl sêmantên caritané nêgari ing ..... Gantya ingkang winursita anuju ari ..... wanci jam sêdasa ingkang sinuwun karsa miyos siniwaka. Apa pêrtandhané. Angungêlakên bêndhé, gong, bèri, tambur, suling, slomprèt. Swara gumuruh. Kêrsa lênggah wontên dhampar dhênta. Dhampar palênggahan, dhênta gadhing. Lênggah kursi gadhing linêmékan babud prang wêdani, sinêbaran ganda wida. Ngagêm busana kêprabon. Jamang mas sungsun tiga, makutha mas bungkul intên, gurda ngarah gurda mungkur, badhong bandawara sinung tali pékak sinangga praba kêncana. Ngagêm sumping ukêl tlalé. Ulur-ulur naga mangsa kêlat bahu naga ngangrangan. Ngagêm nyamping dara muluk sabuk lakên kamalon abang, nyêngkêlat duwung ladrang, ukir tangis pêlok tinata, pêndhok mas, gamparan waja, bungkul kêncana, ngagêm ganda jêbat kasturi, angambar-ambar gandanya. Yèn sinawang saking mandrawa sirna kamanungsané lir Bathara Wisnu angéjawantah.
Sintên ta jejulukipun nata ing nêgari ..... Kadherékaken êmban cèthi manggung kêtanggung, bocah bucu, bocah dhèmpèt, bocah wandan, bocah bulé, ingkang samya ngampil upacaraning kêprabon, banyak dhalang, sawunggaling, banyak modang, paidon kêncana, sawunggaling, hardawaléka.
Rêp sidhem prêmanêm tan wontên sabawané walang alisik. Amung kapirêng swarané pêpêthètan dalêm pêksi kênari, gurdaya, putêr sabrang, jalak menco, pêrkutut manggung. Pating jarêngglèng swarané gêmblak kêmasan.
Sintên ta ingkang kêparêng marak séba pasowanan, inggih ....... Jêjêl uyêl ingkang samya mara séba mblabar munggwing paséban jawi andhoyongna ringin kurung sakêmbaran. Ngagêm busana manéka warna. Ingkang busana cêmêng jajar cêmêng pindah gagak lêlumbungan. Busana abrit jajar abrit pindha giri pawaka. Giri gunung, pawaka gêni. Kaya gunung gêni. Busana pêthak jajar pêthak pindha krêndha wirawa. Krêndha kuntul wirawa lèlèran. Pindha kuntul nêba lèlèran. Yèn sinawang saking mandrawa pindha klana kukila pujangga. Klana paksi, kukila glathik, pujangga alap-alap. Pating rêpèpèh munggwing ngarsa dalêm. Ingkang wontên wingking njawil ingkang wontên ngajêngipun, badhé mangertosi wontên karsa punapa ta ngawontênakên pasowanan agung.
Wau ta sang nata badra irawan. Badra mêndhung, irawan wulan. Pindha wulan kahirip mêndhung. Rêmu-rêmu pênggalihira Sang Prabu ......
b. Janturan kondur ngêdhaton
Purna sabdané ingkang sinuwun, sabda pandhita ratu mandi mawali-wali. Tandhané naréndra nyabda sakêcap warata sanêgara. Sabda pandhita saklimah pindha mangsi tumamèng dêlancang tan kêna wola-wali. Sang prabu arsa kondur ngêdhaton. Mulat ngiwa mulat nêngên. Mulat ngiwa tinampi Tumênggung Sêtyanama, mulat manêngên tinampènan Tumênggung Sêdhamirah. Jlog têdhak saking dhampar dhênta ora mantra-mantra naréndra angêdhaton. Kadya pêngantên dèn bojakramani, gumrubyug swaranya ingkang samya andherékaken tindaké ingkang sinuwun.
c. Janturan kêdhatonan
Kocapa sri naréndra wontên salêbêting dhatulaya, lukar busana kêprabon, ngrasuk busana kapandhitan gya minggah sanggar palanggatan. Nêdya muja sêmadi nêgês karsané bathara. Sêdhakêp saluku tunggal. Mêpêti babahan hawa sanga. Nglarung ponang pancadriya watak sanga, papat njaba, lima ing njêro. Punapa ta ingkang dèn kêrsakakên. Têlasing cipta pêlênging pandulu. Sinarêngan mbêsmi dupa ratus ingkang saklapa dalah taboné. Gêngira kukusing dupa ngalad-alad sumundhul angkasa, tandha katarimah ingkang dados sêdyanira.
d. Janturan badhé paséban njawi
Kocapa paséban njawi. Budhaling para wadyabala kêna cinandra kadya pinusus pindha gabah dèn interi. Pindha sapu sada pêdhot suhé. Kêmlawéné asta rêkyana patih ...... Kumêlapé wadyabala pindha kukila mandraguna. Kukila paksi, mandra barat, pujangga alap-alap. Pindha paksi alap-alap katêmpuhing marura, pating blêbêr kang wadyabala.
e. Janturan sêsampunipun prang ampyak
Wau ta yèn cinandra budhaling wadyabala saking nêgari .... lumusup têpining wana bana wasa, andadosakên gègèring para buron wana. Panggêmpranging sima, panggêbanging kidang nyabrang jurang curi, ajrih pangaribawaning para wadyabala. Wadyabala ingkang nitih dipangga kadya anggé-anggé katoyan. Ingkang nitih turangga pindha maésa sapangènan. Kandhêg têpining bêngawan kalikuda tuksipari gêlis. Nêngna gupita cinékak ponang kandha. Gancange carita, amêngkêrakên nêgari ing ..... ngayunaken nêgari ..... Minangka sambeting carita tunggal tanah séjé kandha. Sêpira dohé panggung kiwa lawan têngên. Sintên ta ingkang nuwangani, ya prabu .... kaadhêp ......
f. Janturan badhé gara-gara
Kocapa, anggênipun samya pasulayan wadyabala saking nêgari ...... miwah wadyabala saking nêgari ...... saklangkung ramé dènira ngêtok sudibya. Datan kuwawa ngêmbat kasudibyané wadya saking nêgari ..... pramila samya nyimpang marga, saking sungkawaning para ingkang kalindhih yuda, andadosakên gara-gara.
Apa ta pratandhané gara-gara. Langit kêndho kêncêngana, lindhu sêdina kaping pitu, grahana srengéngé grahana rêmbulan. Horêging bawana anjalari risaking pasabinan tuwin pêkarangan, anjalari larang sandhang klawan pangan. Katamaning pagêblug dadi dêdêring pepati. Horêging bumi mahanani tarungé gunung padha gunung. Watu tarung padha watu. Saka wantêring gara-gara, nganti nyundhul Kahyangan Suralaya. Kataman gara-gara dadya moyag-mayig. Balé Marcukundha Kaya njomplang-njomplanga. Ranté banaspati kaya pêdhot-pêdhota. Gègèr para widadara-widadari, samya ngungsi ing ngarsanira Sang Hyang Lodrapati. Saéngga krodha Sang Hyang Nilakantha kalindhih gara-gara. Ingkang dumunung ing Kahyangan Rênyêptala, kahyangané Sang Hyang Anantaboga. Krodha ngakak tutukira, kumitir pêthitira.
Gara-gara anêmbusi Guwa Sigangga, kahyanganira mina. Tirta samodralaya umob sakalangkung bêntèr. Para mina, lodan, cucut, mangut, jaka tambra, yuyu kangkang ingkang botên sagêt mijah lan nêla dados lan sirnanira.
Krodha Sang Hyang Baruna, ngubêk sawiyaring jaladri. Wantêring gara-gara ingkang dumunung wontên samodralaya, ngancik minggah pucaking hardi Merapi. Manggut-manggut dhèdhèt érawati ngakak Hyang Baruna.
g. Janturan ngajêngaken jêjêr pertapan
Kacarita, para wadyabala danawa ingkang samya munasika satriya lan panakawan sampun samya sirna marga layu. Ingkang taksih gêsang sami lumajar gêmbrung jurang curi. Kandhêg datan kacarita. Nêngna gupita, cinêkak kandha gancanging carita, mêngkêraken jroning wana, ngayunakên pacrabakan. Anênggih ing pêrtapan ...... Sintên ta ingkang anglênggahi pêrtapan ..... Apêparab Sang Begawan ..... Pandhita sidik paningalira. Pana pangandikanira. Wikan jroning nala, buntasing kawruh nyata, wasis ulahing tapa, putus wajib ulahing tata kapandhitan. Hamung sajuga ingkang datan linampahan kridhaning pêpêt loka. ..... Lênggah munggwing pacrabakan, kasowanan para cantrik puthut manguyu jêjanggan, ingkang samya ngudi ulah kaprigêlan, kasampurnan, ing têmbé yèn wus ngancik mancating ariloka, ingajab wus datan kasamaran. Pramila sidhêm tan ana sabawané nggènya para cantrik ngadhêp ngarsané sang bêgawan. Bawané pandhita ingkang lagya winongwong jawata, prêsasat saciptané tansah sêmbada.
h. Janturan satriya kandhêg têngahing wana
Kocapa tindakira satriya ing ..... ingkang kadherékaken para panakawan, kandhêg praptané wana. Anulya kèndêl sangandhaping wrêksa agung. Wrêksa kayu agung gêdhé. Kèndêl sangandhaping kajêng gendhayaan. Kukila samya macar woh-wohan dèn dhawahakên munggwing ngrasané sang bagus kinarya asung pakurnmatan. Namung amung tansah dèn kèndêlaken kabêkta saking èmênging panggalih. Sêlaning panakawan agung damêl suka rênaning ingkang bandara. Mêgêr jumênêng kèndêl, sanalika katêmpuhing sara maruta. Sara landhêp, maruta barat. Barat têmpuk sangka wêtan, kulon, lor lawan kidul lêlumbungan ana ngarsané sang abagus. Ilang pêsaté barat. Kocapa wadyabala saking .....
i. Janturan jêjêr pindhah pathêt manyura
Kacarita plajênging para wadya ingkang sami kasoring pancakara, sigêg datan kinocap. Gantya ingkang winursita nênggih nêgari ing.... ingkang ndhêpani praja ajêjuluk ..... animbali sagung para wadyanira, sumêdya ......
2. Sulukan
Pengertian sulukan adalah nyanyian yang dilakukan dalang pada pakêliran untuk mendukung suasana adegan waktu itu. Sulukan terdiri dari suluk, sêndhon, dan ada-ada. Syair sulukan disebut kawin. Isisnya disesuaikan dengan tokoh wayang yang sedang beraksi, sebagai contoh ketika adegan menekankan tokoh Kresna maka digunakan kawin Kresna.
Krêsna rumekeping cakranira, gelar, jana, ring wang wang, Wisnumurti Narayana, o
Lagu dari suluk, sêndhon dan ada-ada terdapat pada masing-masing pathêt, seperti yang ditulis Sri Soedarsono.Macam sulukan pada pathêt Nêm, sebagai berikut.
a. Suluk Pathêt Nêm Wetah.
3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 123 216 2.123
Sudana tri suka ngalêkasi prang a - pa - muk, o
2 2 2 23 35 5 5 5 5 5 5 5 5
tumbak warêgu songkokira kadi lumiyat
3 3 3 3 35 2 1 6 1.2
Pandhuputra ngêntènana o
6 6 6 6 6 6 6 6 61 6.5
dina kasihan banjaran sa-ri
35 32 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 6.5
lintang tinira gung tinira gung abancana
1 1 1 1 1 1 1 2 2 2.3 1.6
Sêngkuni jinambaka rikmanira
3 3 3 3 3 35 2 1.653
dinugang ala baskara
6 6 6 6 6 6 2 2 2 2 2 1 6.5
bidêman ngarabi Bima nglangga ludira
3 3 3 3 3 35 2 1.6
sudirèng andudut usus
1 1 1 1 6 53 5 3.2
awèh ujar si dhusta wo
b. Sêndhon Lasêm Jugag
3 3 3 3 2 2 2 21 2 1 6 2 . 3
Bogadhênta satru lêlayungan
2 2 2 2 2 23 3 . 5
ndêmakaken turangga
3 3 3 3 5 2 16 6 6
risang Bima Gathutkaca
1 1 1 1 1 1 1 3 2 2 1 . 6
Sadéwa Nakula mara tan kari
c. Ada-ada Paséban Njawi
6 6 1 5 5 5 56 6
Karna pamingit narpati
2 2 2 2 2 2 2 2 26 12
tabo longgar Bomandratmaja
35 5 5 5 5 5 5 5 53 3
nétra dhadahutan Suryaputra
2 2 2 2 2 2 21 6
Jayajatra layap layon
d. Ada-ada Pathêt Nêm
23 5 5 5 5 5 5 5
Énjang budhal wadya bala
2 2 2 2 2 2 26 12
gong kêndhang kêlawan bèri
1 1 1 1 1 1 15
têtêg kadya butula
5 5 3 1 5
untab wor suh, o
Macam lagu sulukan Pathêt Sanga, sebagai berikut.
a. Suluk Pathêt Sanga
2 2 2 2 2 2 2 2 2 1
Loganggo walungsunganira, o
1 1 1 61
ana naga
3 3 3 3 56 1 53 2
ana naga mawa wisa
23 5 5 5 5 5 5 5 1
kacaryan lungsunganira, o
2 2 2 2 2 2 2 21 6
Abimanyu rêbut nusula
235 5 5 5 5 5 5 5 23 21
mbaléla lawan sanjatanira
2 2 2 2 216 6 5
hangajab Hudawa, o
b. Sêndhon pathêt Sanga jugag
6 6 6 6 6 6 6 6 6
Mulat mara risang Harjuna
2 2 2 2 2 2 2 21
trenyuh manah ing tumingal
2 2 2 2 2 2 21 16 5
mungsuh lawan sami kadang, o
c. Ada-ada Sanga
2 2 2 2 2 2 2 1 12
Wéwé gung tumandanga tarung
5 5 5 5 5 5 23 32
kêblak malang ngadhang dalan
6 6 6 6 6 1 65
cicir nêmbanga titir
2 2 2 2 1 1 6 65
ilu-ilu banaspati
1 1 1 1 5
ancak ogra, o
Macam lagu sulukan pathêt Manyura, sebagai berikut.
a. Suluk Manyura wêtah
3 3 3 3 3 3 3 3 3
Pacar banyu sêkaring taman
35 32 2 2 2 2 2 12
taman thathit sumêrlaya
5 5 5 5 5 6 616 53
kayu mati babar wit - é
3 5 6 6 6 6 6 6 216
sêsêmi anèng galihé, o
3 3 3 3 3 21 1
ron mawur nèng karangan
32 2 2 2 2 2 2 2 3216
nèng karangan sélarata, o
1 1 1 1 1 1 1 1 21653 6
kasiliring samirana, o o
b. Sêndhon Manyura jugag
1 1 1 1 1 1 1
Ascarya Parta wékas
3 3 3 3 3 3 2
maékatana yèku
3 3 3 3 32 21 6
Wisanggêni Sang Hyang, o
1 1 1 1 1 21653 6
Basu pratipta, o o
c. Ada-ada Manyura
3 3 3 3 3 35 32
Sêcaka nora pêksa
1 1 1 1 26 3 5 32
ing mayang sampun kangèlan
3 3 3 3 3 3 3 3 35 32
Dhêsthajumêna milang milajêng
1 1 1 12 6 6 3 1 236
sar-saran mawurahan o o
d. Sêndhon Galong
63532 6 3 5 5 5 5 5 5
o sariginging bang-bang hawa
3 3 3 3 2 2 2 2 2
katiga kêtali bêbayu
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 21 1 5
sing nonton mulih ing asal kamulyanira, o
1 1 1 1 1 1 1
sing tuwa mulih mukti
2 2 2 2 2 2 232 16 3 3
sing anom priya lan putri, bandon
6 6 6 6 6 6 6 6 6
ramé ngarêp sêpêné mburi
2 2 2 2 2 2 2 12 65
ramé mburi sêpêné ngarêp
3 3 3 3 3 3 3 532 16
sêpêné sabuwana kabèh
1 1 1 1 12
dhandhangan layung
2 2 2 12 6 6 35 5
sumiyatan méga mêndhung
3 3 3 3 3 3 21 6 1653
mangsané ganti rahina, o
3. Gêndhing
Arti gêndhing di sini adalah permainan lagu pada gamêlan. Gêndhing dalam pertunjukkan wayang berfungsi sebagai pendukung suasana adegan. Macam gêndhing yang digunakan sebagai iringan pementasan wayang Kedu masih sangat terbatas, tidak seperti yang ada pada gaya Surakarta maupun Yogyakarta. Sebelum pementasan dimulai, dimainkan Ladrang Gègèr Sekutha, Ladrang Gonjang-ganjing dilanjutkan Srêpêg sebagai talu, sedang macam gêndhing yang digunanakan dalam pakêliran adalah sebagai berikut.
a. Bagian pathêt Nêm: Ayak-ayak Lasêm, Bondhet Jantur, Sri Katon, Laras Madya, Srêpêg Lasêm, Gangsaran.
b. Bagian pathêt Sanga: Ayak-ayak Sanga, Pangkur, Clunthang, Gagak Sétra, Gandasuli, Srêpêg Sanga.
c. Bagian pathêt Manyura: Ayak-ayak Manyura, Gunungsari, Surèngrana, Gambuh, Ginonjing, Srêpêg Manyura, Ganjur.
d. Menjelang Galong sampai tayungan: Maskumambang, Sumirat, Srêpêg Saradatan, Sampak Manyura, Orong-orong Bangkong, Cangklèk, Gangsaran.
Nama-nama gêndhing Kedu ini juga ditemukan pada gaya Surakarta maupun Yogyakarta. Meskipun nama gêndhingnya sama, namun alur melodinya berbeda. Hampir semua gêndhing memiliki perbedaan alur melodi. Sebagai contoh srêpêgan Lasêm.
Notasi balungan srêpêgan Lasêm gaya Kedu.
Buka kêndhang: 5
6 5 6 5 6 5 2 3 5 6 5 1 6 5
2 1 2 1 2 3 1 2 3 5 6 5 2 3 5 6
1 6 1 6 [ 5 3 2 3 6 5 3 2 5 6 5 3
5 6 5 3 6 5 2 6 5 2 3 5 1 2 3 2
5 6 5 3 5 3 5 3 5 2 3 5 1 6 5 3
5 3 5 3 1 2 3 2 6 6 1 2 5 2 3 5
2 3 2 1 2 1 3 2 6 3 5 6 ]
suwuk: 1 1 2 1 3 2 1 6
Notasi balungan srêpêgan Lasêm gaya Yogyakarta
Buka kêndhang: 5
6 5 6 5 6 5 6 1 5 6 1 6 5 6
2 3 5 3 2 1 2 1 3 5 6 5 2 3 5 6
1 6 5 6 [ 5 3 2 3 6 5 3 2
5 6 5 3 5 6 5 3 6 5 2 6 5 2 3 5
1 2 3 2 6 5 2 3 5 3 5 3 5 2 3 5
1 6 5 3 6 5 3 2 6 6 1 2 3 5 6 5
2 3 2 1 2 1 3 2 6 3 5 6 ] suwuk: 1 1 3 2 1 6
Notasi balungan srêpêgan Lasêm gaya Surakarta:
Buka kêndhang: 5
[ 6 5 6 5 2 3 5 3 5 3 5 3 5 2 3 5
1 6 5 3 6 5 3 2 3 2 3 2 3 5 6 5
2 1 2 1 3 2 1 2 5 6 1 6 1 6 5 3
2 3 2 1 3 2 6 5 3 2 3 5 ]
Contoh notasi ini, secara jelas dilihat hanya ada sedikit perbedaan alur melodi srêpêg Lasêm Kedu dengan srêpêg Lasêm Yogyakarta. Srêpêg Lasêm Surakarta melodinya lebih pendek.
4. Dhodhogan dan kêprakan
Dhodhogan dan kêprakan adalah tehnik permaian cêmpala dan kêprak. Jenis-jenis permainannya sebagai berikut.
a. Nêtêg: cêmpala dipukulkan ke kotak satu kali, berbunyi dhog.
b. Mlatuk: cêmpala dipukulkan kotak dua kali secara cepat, berbunyi dhêrog
c. Gêtêr: cêmpala dipukulkan kotak secara bergetar, berbunyi dhog dhog dhog dhog dhog dhog dhog dhog dhog dhog dhog. Tehnik ini bila dilakukan dengan kêprak disebut nisir.
d. Mbanyu tumètès: seperti gêtêr namun iramanya lambat, berbunyi dhog - dhog - dhog - dhog - dhog - dhog - dhog.
e. Nduduk: berbunyi dhêrog dhog - dhog.
Tehnik-tehnik ini dipadukan sedemikian rupa untuk mendukung suasana pakêliran.
F. Lakon
Kata lakon berasal dari kata dasar laku yang berarti jalan, mendapat akhiran an, artinya perjalanan. Maksud kata lakon pada seni pewayangan adalah judul ceritera dan dapat pula menunjuk pada tema ceritera. Isi lakon tersirat pada judul, misalnya lakon yang menceritakan gugurnya Gathutkaca dalam perang besar Baratayuda, lakon ini berjudul Gathutkaca Gugur. Sumber lakon wayang sebagian besar mengambil epos Ramayana dan Mahabharata yang aslinya dari India. Lakon-lakon tersebut dalam pewayangan telah mengalami berbagai saduran maupun perubahan sehingga lebih bersifat kejawaan.
Lakon-lakon Kedu bersumber pada epos Ramayana dan Mahabharata. Ada pula beberapa lakon yang bersumber pada mitologi daerah setempat, misalnya lakon Sri Mulih. Lakon ini bersumber dari mitologi Dewi Sri dewi kesuburan. Lakon jenis ini banyak ditemui di Jawa. Seperti tradisi wayang Jawa pada umumnya, lakon wayang tradisi Kedu bersumber pada epos Ramayana dan Mahabharata. Selain bersumber pada kedua epos tersebut, wayang tradisi Kedu mempunyai lakon khusus sebagai ciri khas daerah Kedu yang disebut lakon Kedu. Kekhususan ini berhubungan erat dengan tradisi kehidupan masyarakat setempat dan ada pula kaitannya dengan perkembangan seni dan budaya pada zaman kerajaan Islam di Demak Beberapa lakon Kedu yang masih terlihat, seperti lakon Dewi Laraupas, mengisahkan terjadinya kelapa muda yang dapat digunakan sebagai penawar bisa. Lakon Semar Khitan, mengisahkan Semar melakukan supit. Lakon Makukuhan, mengisahkan peperangan Ki Ageng Kedu melawan Prabu Juragan Dampoawang. Mengenai Lakon Makukuhan ini akan dibahas secara khusus pada bab selanjutnya.
Sri Soedarsono, Sekilas Pengertian dan Tata Cara Pokok-pokok Pedalangan Gaya Kedu, Depdikbud., Temanggung, 1988, pp. 6-8.
Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, Kota Jogjakarta 200 Tahun, Sub Panitya Penerbitan, Jogjakarta, 1956, pp. 132-133.
Soedarso Sp., "Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit Dipandang Dari Jurusan Bentuk", Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis II ISI, Yogyakarta, 25 Juli 1987, p. 6.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.